Sabtu, 09 November 2013

UMP dan Kesenjangan Lokal

UMP dan Kesenjangan Lokal
Redhi Setiadi  ;  Peneliti JPIP, Master dari School of Public Policy and Administration University of Delaware, AS 
JAWA POS, 08 November 2013


SAYA pernah mewawancarai beberapa pengusaha industri padat karya di area Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik untuk keperluan riset. Sebagian di antara mereka berpendapat bahwa daerah sekitar Surabaya seperti Sidoarjo, Gresik, dan bahkan Mojokerto, sudah tidak lagi kondusif untuk industri padat karya. Pernyataan tiga tahun lalu itu kian terasa relevan saat ini. 

Mereka menyebut, selain daerah-daerah tersebut sudah "terlalu demokratis", biaya hidup di Surabaya dan daerah sekitarnya sudah sangat mencekik bagi buruh dan keluarganya. Saat musim demo, aksi sweeping oleh para aktivis buruh untuk memobilisasi unjuk rasa dan mogok kerja menambah kekhawatiran pengusaha. 

Solusinya, beberapa industrialis memutuskan pemindahan lokasi pabrik ke daerah-daerah lain seperti Jombang atau ke luar Jawa Timur. Kabupaten Jombang dinilai relatif lebih kondusif karena jauh dari Surabaya, pusat hiruk-pikuk aktivisme politik buruh. Wilayah itu juga masih terjangkau infrastruktur yang lumayan. 

Selain relokasi, beberapa industrialis mengambil langkah ekstrem. Secara perlahan-lahan, mereka berubah haluan dari produsen menjadi pedagang (trader). Dulu mereka memproduksi sendiri barang-barang yang akan dijual. Beberapa tahun terakhir mereka hanya membeli dan melabeli barang-barang dari luar negeri, terutama dari Tiongkok, dengan merek dagang mereka. Ini bagian arus liberalisasi perdagangan dunia.

Pabrik-pabrik Indonesia kemudian hanya menempel merek lokal untuk produk asal Tiongkok tersebut. Cara ini, menurut beberapa pengusaha, jauh lebih menguntungkan. Risiko kerugian juga berkurang jika terjadi aksi buruh. Tetapi, konsekuensinya, banyak buruh kita yang kehilangan pekerjaan.

Invasi produk Tiongkok itu memang luar biasa, sampai-sampai Amerika Serikat pun limbung. Thomas L Freidman (New York Times) dan Michael Mandelbaum (John Hopkins University, AS) menulis bahwa Tiongkok telah menghancurkan kota-kota besar di seluruh AS dan dunia. Dalam buku mereka, That Used To Be Us: How America Fell Behind in The World It Invented and How We Can Come Back (2011), dipaparkan masuknya produk-produk negara panda tersebut, mulai dari peniti hingga chips komputer, telah menimbukan kebangkrutan industri-industri manufaktur di negara kiblat demokrasi itu. Angka penganggur pun meroket di negara Paman Sam itu.

Memperhatikan Lokalitas 

Di tanah air, cara bisnis imbas globalisasi itu makin menggoda ketika musim buruh menuntut kenaikan upah. Dalam demo kali ini, meski bernaung di bawah bendera yang berbeda-beda, pesan buruh sama: menolak Inpres 9/2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum. Mereka menuntut kenaikan gaji hingga 50 persen pada 2014. 

Di puncak demo buruh, Jawa Pos (30/10) memuat dua berita yang kontras. Berita utama menyebut tentang PHK sudah menembus angka 200 ribu karyawan hingga pertengahan tahun ini. Berita kedua di halaman ekonomi mengabarkan hasil riset Bank Dunia yang menaikkan peringkat Indonesia dalam hal kemudahan memulai usaha baru (Doing Business Report 2014). 

Dua berita "ironis" itu sejatinya merefleksikan dinamika ekonomi politik yang bergerak cepat. Gelombang besar demokratisasi yang dimulai sejak 1998 telah melahirkan derajat kebebasan tertinggi. Buruh bebas untuk berserikat dan menyatakan pendapat. Sebaliknya, para pengusaha bebas memutuskan nasib usahanya, termasuk relokasi industri dan PHK. 

Selain faktor demokratisasi, penerapan otonomi daerah yang setengah hati dan empasan gelombang besar liberalisasi perdagangan dunia berjalin kelindan menyumbang permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia. Kemudahan memulai bisnis ditantang siklus gelombang aspirasi buruh.

Dari sisi lain, hiruk-pikuk ini juga merefleksikan komitmen setengah hati pemerintah pusat dalam menjalankan otonomi daerah sejak 2001. Sebenarnya, urusan ketenagakerjaan dan investasi menjadi bagian dari sebelas urusan wajib yang diserahkan kepada kabupaten/kota, termasuk penetapan upah. Kesenjangan sosio-ekonomi antarkabupaten/kota, sekalipun dalam provinsi yang sama, sulit ditutup dengan menetapkan upah minimum provinsi (UMP). 

Lokalitas, termasuk dalam hal pengupahan, harus tetap diletakkan di level kabupaten/kota karena bergantung pada kondisi sosio-ekonomi setempat. Para buruh pun tidak perlu berbondong-bondong menyerbu ibu kota provinsi untuk berdemo.

Jelas, Inpres 9/2013 yang menginstruksikan penetapan upah minimum provinsi (UMP) terlebih dulu sebelum menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) adalah bentuk generalisasi yang mengabaikan perbedaan sosio-ekonomi kabupaten/kota. Kebijakan seperti ini hanya akan melahirkan situasi menang-kalah. Jika UMP lebih rendah dari kekuatan riil sosio-ekonomi daerah, pengusahalah yang akan bertepuk tangan. Sebaliknya, bila ditetapkan lebih tinggi, buruh yang menang. Tentu, bisnis yang normal bukan soal menang-kalah seperti bertarung. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar