Sabtu, 09 November 2013

Tantangan Menuju Perjalanan Suci

Tantangan Menuju Perjalanan Suci
Ary Falwan Novriawinda; Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, Ketua Forum Mahasiswa Pemerhati Haji dan Umrah
SUARA KARYA, 08 November 2013


Ziarah religius haji baru usai dilaksanakan. Sebulan penuh para jemaah haji menapakkan kakinya di Tanah Suci. Dan, selama itu pula mereka mengikuti setiap ritual yang menjadi rukun dan wajib dalam berhaji. Hal ini dimaksudkan agar ibadah yang dijalankannya sampai pada kesempurnaan. Dan, jelasnya, para jamaah berharap besar agar ritual hajinya sampai pada kemabruran.

Demi kemabruran haji, tidak sedikit dari jamaah yang memforsir seluruh waktu dan tenaganya untuk mengejar nilai-nilai sunah dalam berhaji. Sebagai contoh kecil, yaitu keinginan kuat jamaah untuk bisa mencium hajar aswad. Tidak mudah untuk bisa mencium hajar aswad, jamaah haji harus bersusah payah untuk bisa menciumnya. berdesak-desakan dan terhimpit oleh jamaah lainnya. Hal inilah yang menjadi inspirasi para joki dalam membantu jemaah haji untuk mencium hajar aswad. Oleh karenanya, haji yang sarat akan pundi-pundi ibadahnya kini berubah menjadi pundi-pundi uang.

Selama berjalannya ritual ibadah haji, media nasional dan internasional ramai memberitakan tentang kasus joki pencium hajar aswad. Sebut saja, kasus yang terjadi pada seorang ibu yang berasal dari Jawa Barat. Ketika menjalankan thawafnya, ada orang yang tidak dikenalinya menolong untuk mencium hajar aswad. Seusai menciumnya, orang yang tidak dikenalinya itu membawanya ke samping area thawaf untuk meminta imbalan (upah).

Bukanlah hal rahasia, bahwa ibadah haji kini berubah menjadi sumber penghasilan yang sangat menguntungkan. Pelaksanaan ibadah haji memberi keuntungan bagi negara, perusahaan, dan siapa saja yang berkecimpung di dalamnya. Semakin besar jumlah orang yang melaksanakan ibadah haji, semakin besar pula keuntungan yang didapatkannya. Hal ini memang tidak diharamkan oleh agama, asal caranya dalam kewajaran dan tidak melanggar etika agama.

Hedonisme Religius?

Ibadah haji merupakan ibadah tahunan yang tidak semua orang bisa melaksanakannya. Ibadah yang merupakan rukun islam kelima ini wajib dilaksanakan hanya bagi yang mampu. Kata 'mampu' di sini bukan hanya diartikan mampu untuk melunasi besarnya biaya perjalanan haji ke Tanah Suci, melainkan juga harus mampu secara akal, hati, dan fisik.

Semua umat Islam berharap bisa cepat pergi melaksankan ibadah haji. Namun, keinginan itu terbatasi oleh panjangnya daftar kuota haji. Untuk bisa pergi melaksakan ibadah haji, rata-rata harus terlebih dahulu menunggu hingga sepuluh tahun ke atas. Bahkan sebagian wilayah ada yang menunggu hingga duapuluh tahun ke atas. Ramainya masyarakat yang melaksanakan ibadah haji, menunjukkan perekonomian yang meningkat. Dengan meningkatnya ekonomi masyarakat, maka tidak jarang jamaah haji melakukan ritual haji berkali-kali. Dan, akibatnya daftar kuota haji membludak.

Ketika orang selesai melaksanakan ibadah dan membuatnya terasa nyaman, maka orang tersebut akan merindukan untuk bisa melakukannya lagi. Begitu pun dengan ibadah haji. Maka, tidak jarang orang yang sudah melaksanakan ibadah haji kemudian ingin pergi kembali untuk melaksanakannya. Hal ini menjadi perhatian kita. Ketika seseorang sering melakukan haji berkali-kali, dan hal ini menyebabkan daftar tunggu pergi haji semakin panjang. Maka, harus dipertimbangkan lagi untuk mengerjakan haji yang terlalu sering. Padahal akan lebih besar manfaatnya jika harta yang kita gunakan untuk berhaji diberikan kepada orang yang lebih membutuhkannya.

Semua orang mengetahui makna haji, namun jika kita flash back (kembali), beberapa tahun sebelum berlakunya dana talangan haji, kebanyakan masyarakat di negeri ini berpandangan bahwa ibadah haji merupakan ibadah yang sarat dengan materi. Tidak sedikit dari mereka yang beranggapan bahwa orang yang sudah melaksanakan ibadah haji masuk dalam golongan orang kaya. Maka, hal seperti ini sangat berpengaruh pada berubahnya sikap orang yang ingin mencari status dalam kehidupan sosial.

Di negri ini, orang yang sudah pergi haji diberi sandang predikat haji untuk pria dan hajah untuk wanita. Pemberian predikat ini dimaksudkan agar dalam rutinitas kesehariannya tetap dalam uforia melaksanakan ibadah haji sehingga mampu meminimalisir perbuatan-perbuatan tercela. Tujuan itu berbalik 160 derajat dari harapannya. Kini, banyak yang menjadikan predikat haji sebagai topeng kemunafikan. Berubahnya maksud dan tujuan diberinya predikat haji menandakan bahwa predikat haji sudah tidak lagi penting. Apa gunanya predikat itu jika kualitas hajinya tidak ada. Kendornya kualitas itu disebabkan oleh niat yang salah dalam pergi haji

Menurut Quraisy syihab, dalam bukunya, Tafsir Almisbah disebutkan, dari kelima rukun Islam, hanya haji yang digarisbawahi kata lillah. (Baca QS. al-Imran [3] : 97) Ini disebabkan oleh pada masa jahiliyah dari golongan kaum musyrikin melaksanakan ibadah haji dengan berbagai macam niat dan tujuan yang menyimpang dari tuntutan Allah, mungkin saja tujuan mereka semata-mata berdagang, atau sekedar berkumpul bersama.

Hal di atas masih bisa terjadi pada sebagian jemaah haji hingga kini. Dengan gelar haji yang disandang, maka bisa mengalihkan seseorang dari tujuan lillah itu, mungkin tujuannya agar bisa menjadi tameng kebusukan hatinya, dan berharap agar orang lain mengenalinya sebagai hamba yang religius dan patuh pada peraturan. Maka, ada orang yang sudah melaksanakan haji dan tetap melakukan korupsi.

Perilaku jamaah haji yang melenceng dari aturannya, dan dilatarbelakangi oleh niat berhaji yang salah, menjadikan bumbu sebab tidak membekasnya nilai ritual haji pada sikap dan perilaku para penyandang gelar haji. Negara yang terkenal dengan jumlah umat Islam yang besar, namun perilaku Islamnya belum sebesar jumlahnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar