|
Ziarah
religius haji baru usai dilaksanakan. Sebulan penuh para jemaah haji menapakkan
kakinya di Tanah Suci. Dan, selama itu pula mereka mengikuti setiap ritual yang
menjadi rukun dan wajib dalam berhaji. Hal ini dimaksudkan agar ibadah yang
dijalankannya sampai pada kesempurnaan. Dan, jelasnya, para jamaah berharap
besar agar ritual hajinya sampai pada kemabruran.
Demi
kemabruran haji, tidak sedikit dari jamaah yang memforsir seluruh waktu dan
tenaganya untuk mengejar nilai-nilai sunah dalam berhaji. Sebagai contoh kecil,
yaitu keinginan kuat jamaah untuk bisa mencium hajar aswad. Tidak mudah untuk
bisa mencium hajar aswad, jamaah haji harus bersusah payah untuk bisa
menciumnya. berdesak-desakan dan terhimpit oleh jamaah lainnya. Hal inilah yang
menjadi inspirasi para joki dalam membantu jemaah haji untuk mencium hajar
aswad. Oleh karenanya, haji yang sarat akan pundi-pundi ibadahnya kini berubah
menjadi pundi-pundi uang.
Selama
berjalannya ritual ibadah haji, media nasional dan internasional ramai
memberitakan tentang kasus joki pencium hajar aswad. Sebut saja, kasus yang
terjadi pada seorang ibu yang berasal dari Jawa Barat. Ketika menjalankan
thawafnya, ada orang yang tidak dikenalinya menolong untuk mencium hajar aswad.
Seusai menciumnya, orang yang tidak dikenalinya itu membawanya ke samping area
thawaf untuk meminta imbalan (upah).
Bukanlah
hal rahasia, bahwa ibadah haji kini berubah menjadi sumber penghasilan yang
sangat menguntungkan. Pelaksanaan ibadah haji memberi keuntungan bagi negara,
perusahaan, dan siapa saja yang berkecimpung di dalamnya. Semakin besar jumlah
orang yang melaksanakan ibadah haji, semakin besar pula keuntungan yang
didapatkannya. Hal ini memang tidak diharamkan oleh agama, asal caranya dalam
kewajaran dan tidak melanggar etika agama.
Hedonisme
Religius?
Ibadah
haji merupakan ibadah tahunan yang tidak semua orang bisa melaksanakannya.
Ibadah yang merupakan rukun islam kelima ini wajib dilaksanakan hanya bagi yang
mampu. Kata 'mampu' di sini bukan hanya diartikan mampu untuk melunasi besarnya
biaya perjalanan haji ke Tanah Suci, melainkan juga harus mampu secara akal,
hati, dan fisik.
Semua
umat Islam berharap bisa cepat pergi melaksankan ibadah haji. Namun, keinginan
itu terbatasi oleh panjangnya daftar kuota haji. Untuk bisa pergi melaksakan
ibadah haji, rata-rata harus terlebih dahulu menunggu hingga sepuluh tahun ke
atas. Bahkan sebagian wilayah ada yang menunggu hingga duapuluh tahun ke atas.
Ramainya masyarakat yang melaksanakan ibadah haji, menunjukkan perekonomian
yang meningkat. Dengan meningkatnya ekonomi masyarakat, maka tidak jarang
jamaah haji melakukan ritual haji berkali-kali. Dan, akibatnya daftar kuota
haji membludak.
Ketika
orang selesai melaksanakan ibadah dan membuatnya terasa nyaman, maka orang tersebut
akan merindukan untuk bisa melakukannya lagi. Begitu pun dengan ibadah haji.
Maka, tidak jarang orang yang sudah melaksanakan ibadah haji kemudian ingin
pergi kembali untuk melaksanakannya. Hal ini menjadi perhatian kita. Ketika
seseorang sering melakukan haji berkali-kali, dan hal ini menyebabkan daftar
tunggu pergi haji semakin panjang. Maka, harus dipertimbangkan lagi untuk
mengerjakan haji yang terlalu sering. Padahal akan lebih besar manfaatnya jika
harta yang kita gunakan untuk berhaji diberikan kepada orang yang lebih
membutuhkannya.
Semua
orang mengetahui makna haji, namun jika kita flash back (kembali), beberapa tahun sebelum berlakunya dana
talangan haji, kebanyakan masyarakat di negeri ini berpandangan bahwa ibadah
haji merupakan ibadah yang sarat dengan materi. Tidak sedikit dari mereka yang
beranggapan bahwa orang yang sudah melaksanakan ibadah haji masuk dalam
golongan orang kaya. Maka, hal seperti ini sangat berpengaruh pada berubahnya
sikap orang yang ingin mencari status dalam kehidupan sosial.
Di
negri ini, orang yang sudah pergi haji diberi sandang predikat haji untuk pria
dan hajah untuk wanita. Pemberian predikat ini dimaksudkan agar dalam rutinitas
kesehariannya tetap dalam uforia melaksanakan ibadah haji sehingga mampu
meminimalisir perbuatan-perbuatan tercela. Tujuan itu berbalik 160 derajat dari
harapannya. Kini, banyak yang menjadikan predikat haji sebagai topeng
kemunafikan. Berubahnya maksud dan tujuan diberinya predikat haji menandakan
bahwa predikat haji sudah tidak lagi penting. Apa gunanya predikat itu jika
kualitas hajinya tidak ada. Kendornya kualitas itu disebabkan oleh niat yang
salah dalam pergi haji
Menurut
Quraisy syihab, dalam bukunya, Tafsir Almisbah disebutkan, dari kelima rukun
Islam, hanya haji yang digarisbawahi kata lillah. (Baca QS. al-Imran [3] : 97)
Ini disebabkan oleh pada masa jahiliyah dari golongan kaum musyrikin
melaksanakan ibadah haji dengan berbagai macam niat dan tujuan yang menyimpang
dari tuntutan Allah, mungkin saja tujuan mereka semata-mata berdagang, atau
sekedar berkumpul bersama.
Hal
di atas masih bisa terjadi pada sebagian jemaah haji hingga kini. Dengan gelar
haji yang disandang, maka bisa mengalihkan seseorang dari tujuan lillah itu,
mungkin tujuannya agar bisa menjadi tameng kebusukan hatinya, dan berharap agar
orang lain mengenalinya sebagai hamba yang religius dan patuh pada peraturan.
Maka, ada orang yang sudah melaksanakan haji dan tetap melakukan korupsi.
Perilaku
jamaah haji yang melenceng dari aturannya, dan dilatarbelakangi oleh niat
berhaji yang salah, menjadikan bumbu sebab tidak membekasnya nilai ritual haji
pada sikap dan perilaku para penyandang gelar haji. Negara yang terkenal dengan
jumlah umat Islam yang besar, namun perilaku Islamnya belum sebesar jumlahnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar