Rabu, 13 November 2013

Potensi Bencana Jakarta

Potensi Bencana Jakarta
Admiral Musa Julius  ;   Peneliti BMKG
KORAN JAKARTA,  12 November 2013
  

 Badai magnet akan menjadi bencana serius bila sampai mengganggu sistem komunikasi, navigasi, satelit, pembangkit listrik, iklim, dan seterusnya. Kemudian, bila melihat data petir Jabodetabek yang dimiliki BMKG, kerapatan sambaran petir bervariasi di setiap wilayah Jakarta. Setiap bulan berubah tergantung musim. Aktivitas sambaran petir tertinggi terjadi pada masa peralihan musim yang puncaknya pada bulan November
Ibu Kota Jakarta memang selalu menarik dilihat dari berbagai sisi, misalnya DKI menarik bagi warga yang akan mengadu nasib. Namun begitu, di tengah daya tarik untuk mencari nafkah tersebut, ternyata Jakarta juga menarik untuk dicermati potensi bahayanya. Mungkin belum banyak yang menyadari bahwa ibu kota negara ini berada dalam wilayah yang sangat rawan bencana alam.

Dalam jumpa pers Rabu, 18 September 2013, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa kekeringan di beberapa provinsi merupakan dampak angin Monsoon Australia yang menyebabkan pengurangan curah hujan di wilayah selatan khatulistiwa seperti Jakarta.

Berita ini seperti menyampaikan ketidaksabaran warga Indonesia, khususnya DKI Jakarta, akan datangnya musim hujan. Melihat dampak musim hujan pada 20 tahun terakhir, justru ibu kota provinsi cenderung mendapat banyak kerugian karena banjir.

Untuk mengatasi banjir, Pemprov DKI Jakarta melibatkan berbagai lembaga interface seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta dan Badan SAR Nasional (Basarnas). Sekarang ini, zona musim dengan awal hujan jatuh pada November masih cukup banyak.

Secara detail, zona musim di antaranya meliputi Sumatra (Lampung Utara bagian selatan, sebagian Lampung Tengah, Metro, dan Lampung Timur), 43 zona musim di Jawa (Jawa barat bagian utara, Bagian utara Pemalang/Pekalongan, Demak, Jepara, Pati, Rembang, Yogyakarta, Jawa Timur bagian utara, dan Madura), serta 8 zona musim Bali.

Sebagai pusat pemerintahan dengan penduduk terpadat di Indonesia, sudah menjadi kewajiban Pemerintah DKI Jakarta memahami dan mengantisipasi fenomena alam melalui manajemen bencana yang terintegrasi. Di luar bencana banjir, perlu diketahui bencana lain yang sewaktu-waktu dapat melanda Jakarta.

Ibu Kota mempunyai luas wilayah 650 km2, termasuk wilayah daratan Kepulauan Seribu yang tersebar di Teluk Jakarta. Secara geografis wilayah DKI Jakarta terletak antara 106,22’42" BT sampai 106,58’18" BT dan -5,19’12" LS sampai -6,23’54" LS. Dilihat dari keadaan topografi, wilayah DKI Jakarta dikategorikan sebagai daerah datar dan landai.

Ketinggian tanah dari pantai sampai ke kanal banjir berkisar 0 hingga 10 meter di atas permukaan laut diukur dari titik nol Tanjung Priok, sedangkan dari kanal banjir sampai batas paling selatan dari wilayah DKI Jakarta antara 5 dan 50 meter di atas permukaan laut.

Daerah pantai merupakan rawa yang selalu tergenang air pada musim hujan dan pada saat air laut pasang. Selain itu, hampir seluruh wilayah Jakarta dikelilingi kerentanan geologis yang sangat tinggi. Juga ada zona sumber ancaman gempa dari berbagai arah, seperti dari zona kehancuran gempa di Palung Laut Jawa maupun aktivitas gempa yang tinggi di Pantai Barat Sumatra dengan lebih dari lima zona subduksi yang dapat memicu zona gempa terdekat.

Sejak lama, permukaan daratan di pantai wilayah utara Jakarta menurun, ditambah lagi kehancuran ekologi karena reklamasi pantai utara dan barat. Analisis ini didukung dengan penelitian BMKG bahwa ada anomali gravitasi tinggi yang mengindikasikan subsidensi, perubahan kondisi bawah tanah, dan dinamika fluida.

Anomali ini terdapat di kawasan Cilincing, Pulogadung, dan Kelapa Gading yang merupakan daerah banjir terbesar Jakarta. Wilayah itu memiliki tingkat kepayauan air cukup tinggi, melebihi standar baku mutu air bersih. Anomali tinggi lainnya terdapat pada daerah Setia Budi dan sebagian besar Jakarta Pusat yang memanjang ke arah barat. Daerah ini banyak gedung tinggi yang paling banyak mengindikasikan subsidensi.

Badai Magnet

Diperkirakan, jika proses ini terus-menerus, intrusi air laut akan semakin meluas dalam waktu relatif singkat. Tidak hanya sampai di situ, sepanjang tahun 2010 hingga 2012 terdapat 37 badai magnet yang terekam di Observatorium Geofisika Pelabuhan Ratu. Ini merupakan lokasi pengamatan magnet bumi terdekat dari Jakarta. Perinciannya, 17 badai magnet dengan klasifikasi lemah, 16 sedang, dan 4 badai magnet kuat.

Badai magnet akan menjadi bencana serius bila sampai mengganggu sistem komunikasi, navigasi, satelit, pembangkit listrik, iklim, dan seterusnya. Kemudian, bila melihat data petir Jabodetabek yang dimiliki BMKG, kerapatan sambaran petir bervariasi di setiap wilayah Jakarta. Setiap bulan berubah bergantung pada musim. Aktivitas sambaran petir tertinggi terjadi pada masa peralihan musim yang puncaknya pada bulan November. Terendah terjadi pada puncak musim kemarau pada bulan Agustus. Daerah yang memiliki kerapatan petir tertinggi antara Bekasi dan Karawang.

Di sisi lain, ada kabar baik untuk data gempa bumi dan tsunami di Jakarta. Data dari United States Geological Survey (USGS) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 1983-2012 hanya terjadi empat kali gempa bumi. Itu pun berkekuatan kecil. Pusatnya di wilayah daratan dan perairan Jakarta. Getaran yang dirasakan warga Jakarta didominasi gempa-gempa kuat dengan episentrum di luar DKI. Ini berkaitan dengan aktivitas lempeng tektonik di selatan Jawa dan kegiatan vulkanik gunung Krakatau di Selat Sunda.

Di lihat dari tingkat seismisitas dan sejarah gempa yang pernah terjadi, daerah selatan Jawa memunyai potensi tsunami cukup tinggi dengan maksimum (run-up) 3,85 meter. Jawa bagian selatan memiliki nilai percepatan tanah maksimum yang relatif lebih besar dari bagian utara.

Hal ini karena di Jawa bagian selatan memiliki aktivitas kegempaan lebih tinggi. Magnitudonya cenderung lebih besar, sedangkan sumber gempanya dangkal. Hal ini juga merupakan kabar baik mengingat lokasi ibu kota negara berada di Jawa bagian utara sehingga gelombang tsunami hampir mustahil sampai di Jakarta.

Seluruh perincian sederhana fenomena kebumian tersebut sekadar mengingatkan pentingnya manajemen bencana yang harus dilakukan secara kondusif oleh masyarakat Jakarta secara umum dan Pemerintah DKI Jakarta secara khusus. Reaksi yang cepat, tanggap, dan andal perlu dilatih sedini mungkin demi keselamatan seluruh warga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar