Jumat, 08 November 2013

Pilih Tata Ruang atau Tata Uang

Pilih Tata Ruang atau Tata Uang
Sudharto P Hadi  ;  Dosen Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 08 November 2013


HARI ini kita memperingati Hari Tata Ruang. Sebuah peringatan tentu dilandasi iktikad merefleksikan kinerja penataan ruang, sebagai tempat hidup kita semua.

Tata ruang adalah wujud struktur dan pola ruang. Adapun penataan ruang adalah proses perencanaan dan pemanfaatan, sekaligus pengendalian pemanfaatannya. Penataan ruang bertujuan mewujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan buatan, keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan.

Menata ruang juga dimaksudkan melindungi fungsi ruang untuk pelestarian lingkungan. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan ruang berasaskan bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya dan berhasil guna, serta selaras, serasi, dan seimbang.

Apakah ruang yang selama ini ditata sudah mengacu kaidah-kaidah itu? Dalam praktik, penyusunan tata ruang lebih mengedepankan aspek fisik dan lebih mendorong pertumbuhan ekonomi.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 mengamanatkan penyusunan tata ruang nasional, provinsi, dan kabupaten/kota harus mendasarkan daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan.

Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup mendukung peri kehidupan manusia dan makhluk hidup lain, serta keseimbangan di antara keduanya. Adapun daya tampung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

Sejauh ini peraturan pelaksanaan tentang daya dukung lingkungan baru mencakup lahan dan air. Daya dukung lahan memperhitungkan kekuatan geologis dalam mendukung beban bangunan. Kelebihan beban bangunan menyebabkan tanah ambles, sebagaimana fenomena di Semarang bagian utara, yang memicu rob.

Daya dukung air menghitung cadangan air untuk memenuhi kebutuhan air. Adapun daya tampung lingkungan menghitung kemampuan lingkungan untuk menerima limbah yang dibuang oleh kegiatan pada ruang yang dialokasikan. Konsekuensinya, daya tampung lingkungan akan membatasi kuota limbah yang dibuang dari masing-masing kegiatan yang ada di ruang tertentu. Ketentuan ini diperkuat oleh UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sejauh ini rencana tata ruang tidak dilengkapi dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 memberi kelonggaran sampai 31 Desember 2010 kepada pemerintah (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) untuk menyesuaikan dengan ketentuan dari UU itu. Regulasi itu berarti menginjak tahun ketiga batas kelonggaran.

Seiring dengan hal itu, banyak rencana tata ruang telah disahkan. Pertanyaannya, apakah semua rencana tata ruang tersebut dilengkapi daya dukung dan daya tampung lingkungan? Kemerebakan protes terhadap rencana tata ruang, misalnya terkait RTRW Jawa Tengah dan DKI Jakarta serta beberapa kabupaten/kota, mengindikasikan masih banyak rencana tata ruang belum memenuhi kaidah lingkungan.
Tidak berlebihan kalau kita menyebut banyak rencana tata ruang sudah cacat sejak lahir atau memiliki cacat bawaan. Rencana tata ruang demikian bisa dipastikan lebih banyak mengakomodasi kepentingan investor.

Ciri Inkonsisten

Ciri kedua dari rencana tata ruang adalah begitu mudah berubah dan menuruti keinginan pasar atau pemilik modal. Kita bisa menyaksikan dari kemasifan alih fungsi lahan. Lahan perkebunan, pertanian, dan hutan berubah menjadi perumahan atau industri.

Ruang terbuka hijau (RTH) dan taman kota beralih fungsi menjadi mal. Gedung-gedung bersejarah ditumbangkan dan digantikan ruko. Seorang warga Tasikmalaya Jabar, sebagaimana diberitakan media nasional pada Juni 2010, menumpahkan kekesalannya atas fenomena alih fungsi lahan dengan memasang spanduk bertuliskan, ”Dijual Segera Kota Tasikmalaya”.

Fenomena kota kecil Tasikmalaya yang berpenduduk sekitar 400.000 jiwa, sesungguhnya mewakili perkembangan kotakota lain, terlebih kota sekelas Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, dan Makassar. Mari kota simak sindiran terhadap perkembangan penataan ruang di Tanah Air.

Di Jambi konon dulu ada kata bijak ’’sepucuk jambi sembilan lurah’’, artinya pada tiap petak yang ada pohon jambi, di bawahnya terdapat lurah (sungai kecil) mengalirkan air. Sekarang pepatah itu berganti menjadi ’’sepucuk jambi sembilan ruko’’.

Bali dikenal sebagai Pulau Seribu Pura, sekarang bertambah julukan ’’Bali Pulau Seribu Ruko’’. Sajak nakal Remy Silado pun menyentil tata ruang dengan kata ’’banyak ruang banyak AC, banyak uang banyak acc’’. Semua sindiran itu mengilustrasikan betapa perkembangan kota sangat disetir oleh pemilik modal (market driven).

Alih fungsi lahan secara masif berimplikasi pada perubahan iklim mikro, banjir, dan tanah longsor. Anehnya, pada banyak kota perubahan yang disetir oleh pasar (tak sesuai dengan rencana tata ruang) tersebut malah dibenarkan oleh pemkab/pemkot dengan merevisi rencana tata ruang, disesuaikan dengan perubahan itu.

Undang-Undang tentang Penataan Ruang sebenarnya menetapkan bahwa baik bagi pemberi izin maupun penerima (juga yang mengajukan) izin pada ruang yang tak sesuai dengan peruntukan bisa dikenai sanksi pidana. Ironisnya, dengan sanksi demikian pun pelanggaran tentang rencana tata ruang terus terjadi.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar