Sabtu, 09 November 2013

Pengadilan Pilkada

Pengadilan Pilkada
Moh Mahfud MD ;   Guru Besar Hukum Konstitusi 
KORAN SINDO, 09 November 2013


Dalam penerbangan dari Gorontalo ke Makassar tanggal 26 Oktober 2013 yang lalu, saya membaca berita di sebuah koran bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mengusulkan agar pengadilan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak lagi diletakkan di bawah wewenang MK. 

Menurut berita itu, semua hakim yang tersisa, yakni tinggal delapan orang setelah hakim Akil Mochtar ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), secara aklamasi menyetujui agar MK tidak lagi menangani sengketa pilkada. Tidak dijelaskan, ke pengadilan mana para hakim MK itu mengusulkan penyelesaiannya jika sengketa pilkada benar-benar muncul. Pokoknya, mereka sepertinya sudah malas dan emoh menangani sengketa pilkada. 

Bisa diduga sikap hakim-hakim MK yang begitu kompak tak ingin menangani lagi sengketa pilkada itu, disebabkan oleh munculnya prahara karena tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK. Tertangkapnya Akil Mochtar yang mengguncangkan Indonesia dan menggetarkan negaranegara lain memang terkait erat dengan penanganan pilkada di MK dari berbagai tempat. Ada pilkada Gunung Mas, ada pilkada Lebak, ada pilkada Banyuasin, dan pilkada-pilkada lain. 

Tampaknya para hakim itu menjadi sadar betul bahwa penanganan sengketa pilkada itu sangat banyak godaan dan penuh dengan fitnah. Banyak godaan karena banyak orang yang beperkara di MK berusaha mencari jalan pintas dengan menggunakan pengaruh uang untuk memenangkan perkara. Serangan untuk menggoda hakim dengan suap itu dilakukan dengan berbagai cara karena biaya untuk pilkada di lapangan sudah sangat mahal, 

sehingga kalau pada akhirnya para calon kepala daerah bisa menang di MK dengan hanya menyuap beberapa miliar maka mereka siap melakukannya. Hakim yang lemah iman dan bermoral rendah akan mudah terjerumus melakukan korupsi atau menerima suap dari orangorang yang ingin menang secara haram itu. Jadi memang sangat mungkin ada hakim yang menerima suap, apalagi Akil Mochtar sudah ditangkap oleh KPK dengan sangkaan penyuapan dan tindak pidana lainnya. 

Namun, banyak juga isu suap terhadap hakim itu hanya sebatas fitnah dan permainan orang atau penipu-penipu ulung yang ingin mengambil keuntungan. Kerap terjadi ada orang menawarkan jasa kepada orang yang beperkara untuk memenangkan perkaranya di MK, asal membayar sejumlah uang. Para penipu ini mengaku punya hubungan dengan hakim MK yang bisa memenangkan perkara. Padahal, uang itu mereka makan sendiri tanpa ada hubungan apa pun dengan hakim MK. 

Karena ingin menang, biasanya orang yang beperkara percaya kepada orang yang mengaku bisa memenangkan perkaranya. Karena kalap ingin menang, kalau ada kambing yang mengaku bisa menolong untuk memenangkannya maka orang itu percaya pada kambing. Jangan heran kalau orang yang beperkara itu sering percaya kepada penipu-penipu, baik pengacara maupun orang lain, yang mengaku bisa memenangkan perkaranya. 

Para penipu itu sebenarnya hanya berspekulasi dan menebak mana yang akan menang berdasar bukti-bukti awal yang bisa dianalisis, kemudian menghubungi orang yang beperkara, menunjukkan kartu nama atau foto bersamanya dengan hakim MK, lalu meminta uang yang katanya akan diberikan kepada hakim MK. Saat perkara selesai, sang penipu ini mendapat uang miliaran rupiah dari yang menang, padahal yang bersangkutan memang menang sendiri karena posisi hukumnya memang kuat. 

Di sini kemudian dibangun fitnah, uang dari yang menang itu untuk disuapkan pada hakim. Perkembangan belakangan ini menunjukkan bahwa MK ditimpa oleh kedua-duanya, yakni adanya hakim yang memang disangka kuat menerima dan menghimpun suap dan adanya fitnah-fitnah bahwa hakim-hakim berkolusi menerima suap dalam kasus pilkada. Tertangkap tangannya Akil Mochtar oleh KPK adalah fakta tentang adanya hakim yang disangka kuat terlibat dalam kasus penyuapan dalam perkara pilkada. 

Tetapi adanya tuduhan-tuduhan tanpa indikasi bahwa hakim-hakim lain menerima suap beberapa perkara yang sudah lama diputus, dapat dilihat sebagai fitnah. Karena MK sekarang tertimpa oleh dua-duanya, yakni adanya fakta hakim yang tertangkap tangan dan adanya banyak fitnah, maka sekarang para hakimnya terlihat melempar handuk dan menyerah, tidak mau lagi menangani sengketa pilkada (pemilukada). Saya sendiri sejak tahun 2010 sudah menyuarakan agar MK tidak menangani sengketa pemilukada. 

Selain terlalu banyaknya godaan dan fitnah-fitnah, pekerjaan mengadili sengketa pilkada yang beruntun dan tak habis-habis itu sangat membosankan. Perkaranya begitu-begitu saja, tak mencerdaskan dan tak membuat kreatif karena tak menantang, malah menjenuhkan. Ketika pada tahun 2010 saya berteriak agar MK tidak lagi menangani sengketa pilkada, ada hakim yang setuju, tetapi ada hakim dan mantan hakim yang menegur saya. 

Tetapi sekarang ini, kalau berita yang saya baca dalam penerbangan Gorontalo–Makassar itu tidak salah tulis, semua hakim MK sekarang berpendapat sama dengan saya. Saya bahkan berpendapat lebih jauh daripada sekadar mengalihkan peradilan sengketa pilkada dari MK ke pengadilan lain. Saya justru sangat setuju agar pilkada di semua tingkatan dikembalikan saja ke DPRD agar tak perlu ada peradilan pemilukada. Pilkada langsung, menurut saya, lebih besar mudaratnya daripada manfaatnya. Tapi bola ada di legislatif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar