Rabu, 06 November 2013

Open Access Pipa Gas, Konsumen Untung atau Buntung?

Open Access Pipa Gas,
Konsumen Untung atau Buntung?
Tulus Abadi   Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
KORAN SINDO, 06 November 2013


Permasalahan kebijakan gas di Indonesia hingga kini masih karut-marut. Bukan saja dari sisi hilir, melainkan juga hulu. 

Bukan hanya menyangkut pasokan, melainkan juga infrastruktur. Pasokan gas masih menyisakan persoalan sangat serius, khususnya untuk sektor industri dan utamanya untuk pembangkit PT PLN (persero). Dalam konteks rumah tangga, persoalan gas elpiji pun juga bak benang kusut; masih sering terjadi kelangkaan pasokan, dan atau kenaikan harga elpiji secara sepihak. Di sisi lain, ironisnya, PT Pertamina sebagai operator gas elpiji masih merugi hingga lebih dari Rp5,125 triliun per tahunnya. 

Bahkan karena kenaikan harga elpiji tahun ini ditolak pemerintah, konon kerugian PT Pertamina bisa mencapai Rp5,5 triliun. Kini sengkarut soal gas kembali menguat terkait rencana pemerintah yang akan memberlakukan pemakaian pipa gas secara bersama (open access) per 1 November 2013. Secara prinsip, perihal open access untuk pipa gas sudah diatur dalam UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas). 

Dan, kemudian secara teknis diatur via Peraturan Menteri (Permen) No 19 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa. Via permen dimaksud ditegaskan bahwa open access akan diberlakukan paling lambat Oktober 2011. Namun, tampaknya untuk mengimplementasikan aturan itu tak semudah membalik telapak tangan. PT Perusahaan Gas Negara (PGN), sebagai salah satu BUMN yang berbisnis gas berikut infrastrukturnya, menolak keras kebijakan open access pipa gas. 

PT PGN yang kini memiliki lebih dari 5.000 km pipa gas, menolak kebijakan open access karena akan sangat merugikan bisnisnya. Bahkan, konon PT PGN bisa bangkrut jika open access diterapkan! Benarkah? Pemerintah, khususnya Kementerian BUMN, memang memahami kondisi ini. PT PGN memang bisa dirugikan jika open access diterapkan. Namun, di sisi lain open access akan sangat menguntungkan bagi kepentingan negara secara keseluruhan. 

Dengan kondisi yang demikian, sangat wajar jika kebijakan open access harus dilakukan secara ekstra hati-hati. Alih-alih, jika salah formulasi bukan negara untung, BUMN (PT PGN) buntung dan justru para pedagang gas dan broker (calo) berpesta pora. Selain prinsip kehati-hatian, pemerintah juga harus menelaah ulang ketentuan pada Permen No 19 Tahun 2009 itu. Pasalnya, terdapat pasal yang kontradiktif sehingga tidak ada kepastian hukum implementasi permen tersebut. 

Pasal bermasalah itu adalah Pasal 19 ayat 1 yang mengatur agar pemerintah melarang adanya izin rangkap, yaitu izin usaha distributor di sektor hilir dilarang memiliki izin pemasok di sektor hulu. Sementara di Pasal 19 ayat 2 dan Pasal 29 ayat 2, justru memperbolehkan izin rangkap. Ketentuan itulah yang mengakibatkan PT PGN memakai aturan itu untuk menjadi trader di satu sisi, dan sisi lain juga bermain sebagai transporter. Selebihnya, bagi penulis yang terpenting apakah dengan kebijakan open access itu menguntungkan konsumen atau sebaliknya: konsumen buntung? 

Jika merujuk keterangan BPH Migas, open access pipa bagi konsumen rumah tangga tidak akan berdampak pada kenaikan harga gas, karena harga gas untuk rumah tangga sudah ditetapkan oleh BPH Migas. Dengan kata lain, bagi konsumen akhir tidak akan “merugikan”. Lalu bagaimana dengan konsumen sektor industri? Inilah yang masih meragukan, karena BPH Migas menegaskan “harganya akan dihitung ulang” pasca open access diterapkan. 

Dihitung ulang itu bisa bermakna ganda: harganya turun atau naik. Namun jika merujuk keterangan manajemen PT PLN, selaku pengguna gas terbesar, jika open access diterapkan pihaknya sangat diuntungkan. Pasalnya, selama ini pihaknya harus membayar sekitar USD10 per juta BTU, padahal kalau open access bisa lebih rendah jadi USD7,5–8 per juta BTU. Jika hitung-hitungan PT PLN benar, besaran tarif listrik pun bisa ditekan biaya pokoknya. 

Dan bisa jadi tarif tenaga listrik pada konsumen rumah tangga tak perlu dinaikkan lagi. Di atas kertas, memang adanya kebijakan open access ini akan mendorong pasar gas domestik lebih sehat, karena konsumen akan banyak memiliki lebih banyak pilihan pemasok gas. Ini sangat relevan dengan asas pada UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa salah satu hak fundamental konsumen adalah hak untuk memilih. 

Bahkan, bagi konsumen yang selama ini tidak mendapatkan gas berpeluang bisa memenuhi kebutuhan karena pemasok gas akan bertambah. Karena itu, open access pipa gas idealnya akan mengusung transparansi dan efisiensi, bukan ekonomi biaya tinggi. Pasalnya, dengan open access konsumen besar bisa membeli langsung gas kepada produsen sehingga lebih efisien. Bahkan, konsumen ritel bisa mendapatkan banyak pilihan pemasok karena terjadi gas to gas competition. 

Sejatinya, trader dalam bisnis gas masih diperlukan untuk menjembatani konsumen kecil yang tidak ekonomis apabila harus membeli langsung kepada produsen. Namun demikian, pemerintah harus dengan kuat untuk memberantas calo-calo dalam bisnis gas yang masih bergentayangan. Calo dan praktik multilayer trading muncul apabila terjadi barrier to entrypada pipa sehingga yang terjadi adalah adu kuat backing di antara para pelaku bisnis gas. 

Dengan posisi monopoli pipa PGN selama ini masih bebas merangkap menjadi trader dengan meraup margin minimal USD4 per juta BTU atau jauh lebih tinggi dari trader lainnya yang hanya USD1,5–2 per juta BTU. Artinya, apabila posisi rangkap peran PGN hilang karena open access, konsumen akan menikmati harga gas lebih murah sekitar USD2–2,5 per juta BTU. 

Cepat atau lambat, kebijakan open access pada pipa gas akan diterapkan. Selain sudah mengantongi norma yang sangat kuat pada UU tentang Migas, juga fakta empiris menuntut demikian. Di berbagai negara Eropa dan Amerika, open access pipa gas adalah hal yang lazim. Namun, sekali lagi, implementasi open access pipa gas harus dicarikan formulasi yang benar-benar win-win solution bagi semua pihak. 

Tidak ada pihak yang dirugikan, apalagi dimatikan. Dan, yang terpenting, kebijakan open access harus bernilai manfaat bagi konsumen gas, baik untuk konsumen sektor industri dan atau konsumen riteler (end user). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar