Rabu, 13 November 2013

Negara, Superclass, dan Pemimpin Kita

Negara, Superclass, dan Pemimpin Kita
Laode Ida  ;   Wakil Ketua DPD RI
KORAN SINDO,  12 November 2013
  

 Kepemimpinan negara sekarang ini agaknya sudah dalam kondisi memprihatinkan. Tentu saja jika kita masih mempercayai “teori aktor”, di mana pemimpin memiliki peran krusial dalam menentukan arah dan capaian tujuan dari sebuah bangsa. 

Karakter, motivasi, orientasi, dan semangat para aktor pengendali negara dengan sendirinya akan terlihat dalam sistem dan kultur dalam mengelola negara; di mana celakanya saat ini memperlihatkan situasi yang tidak kondusif. Maka itu, agaknya cukup beralasan jika banyak kalangan merasa sangat menyayangkan kondisi bangsa terjebak atau dikendalikan oleh para aktor berkarakter buruk. 

Kepemimpinanbangsasepertisekarangini akan sulit mewujudkan ide dan tujuan dasar kemerdekaan yaitu mencerdaskan bangsa, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan keadilan sosial, serta berketuhanan atasdasarkemanusiaanyangadil dan beradab. Para pemimpin lebih mementingkan diri sendiri, keluarga, golongan, atau parpol masing-masing. Penilaian kondisional seperti itu memang sulit dibantah. Lihatlah, via media massa tiap hari kita menyaksikan adegan atau prilaku buruk dari para aktor pemimpin, di mana seolah kita sungguhsungguh berada dalam negara yang dikelola oleh para mafioso. 

Terbongkarnya jejaring kerja pemimpin pemerintahan berwatak dinastik di Banten, di mana keluarga Gubernur Ratu Atut digambarkan menguasai sejumlah jabatan strategis, termasuk menguasai proyekproyek dari APBD dan APBN, menunjukkan begitu mengguritanya korupsi dan kolusi berbasis nepotisme (nepotism based corruption and collusion) dipraktikkan oleh para pemimpin yang berkuasa di daerah pinggir Ibu Kota ini. Demikian juga terindikasi dan tersangkanya sejumlah kepala daerah terkait kasus korupsi. 

Tercatat 309 tersangkut kasus korupsi selama beberapa tahun terakhir. Itu pun yang baru terungkap karena jika jujur diakui semua kepala daerah memiliki masalah terkait penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan dan penggunaan anggaran atau korupsi. Petinggi parpol yang menyatakan diri “bernapaskan Islam” seperti dipertontonkan oleh Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) saat melakukan masih berposisi sebagai presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam kasus dalam impor daging sapi. 

Yang paling memprihatinkan adalah tertangkap tangannya Akil Mochtar (ketua MK) dalam kasus suap terkait sengketa pilkada. Semua itu tentu baru sebagian data empirik yang memberi isyarat kuat bahwa eksistensi sejumlah pemimpin di bangsa ini telah dan sedang bekerja untuk memenuhi kebutuhan syahwat materi bagi diri, keluarga, dan kroni. Lalu, apakah kita masih berharap tujuan kita bernegara seperti disinggung di atas dan secara tertulis dalam pembukaan UUD 1945 masih realistik untuk dicapai di bawah kendali aktoraktor penyelenggara negara yang korup dan nepotistik? 

Jelas “sangat sulit” karena pada era sekarang ini sebenarnya yang jadi ujung tombak penentu capaian program pembangunan adalah pemerintah daerah. Pada saat yang sama seharusnya presiden, baik sebagai kepala negara maupun pimpinan eksekutif, seharusnya menjadi pengarah dan pemandu bagi seluruh pejabat di negeri ini, termasuk memastikan atau mengoordinasikan secara paksa para pemimpin di daerah agar bekerja mewujudkan agenda peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun, ternyata terbukti tak sesuai harapan. 

Sebagian kalangan malahan menilai Presiden SBY pun tak bisa lepas dari jebakan “nepotistik”. Dalam kasus Bunda Putri seperti antara lain di-ungkap oleh LHI di Pengadilan Tipikor bahkan banyak orang melihat ada keterkaitan pihak Cikeas dengan figur yang hingga kini masih misterius itu. 

Tak berlebihan jika dikatakan bahwa sudah sangat langka pemimpin (atau pejabat) yang mau susah-susah berpikir atau berbuat untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Yang ada dan cenderung terus eksis adalah figur-figur pemimpin karbitan (instan) dengan orientasi fragmatis, hanya berpikir agar bagaimana karier politik mereka bisa terus eksis jangka panjang (pindah dari suatu posisi ke posisi strategis lain) sehingga bisa terus menimbun harta seraya mengupayakan terwariskannya tahta kekuasaan pada keluarga dan atau kelompoknya. 

Semasa berkuasa dengan suasana kejiwaan yang berkejaran dengan waktu (karena memang masa jabatan politik yang terbatas), berbagai modus canggih “mengejar dan menimbun harta” untuk bukan saja mengembalikan pengorbanan materi yang digunakan dalam proses-proses memperoleh atau mempertahankan jabatan, melainkan juga harus memperoleh untung berlipat ganda – layaknya pedagang di pasar. Kondisi dan kecenderungan seperti inilah barangkali bisa disebut sebagai the power of money seperti yang dikatakan David Rothkopf dalam bukunya, Superclass (2008). 

Para penentu kebijakan dan atau para pemimpin sangat rentan dipengaruhi uang dan pada saat yang sama menjadikan uang untuk mempertahankan jabatannya. Semakin strategis dan powerful suatu kedudukan, akan semakin banyak pula uang yang akan dikeluarkan untuk merebut dan mempertahankannya, di mana dalam kasus Indonesia selalu terkait kepentingan politik segelintir elite yang berkuasa—termasuk menguasai partai politik. Dalam konteks ini, jika suatu parpol mau eksis dan berkuasa, uang akan sangat menentukan. 

Tidak heran kalau sejumlah parpol tertentu menempatkan orang-orangnya jadi pejabat dari keluarga kaya alias berduit dan atau mereka yang memiliki “cara-cara canggih ilegal” untuk mengumpulkan uang donasi bagi kepentingan parpolnya. Celakanya, di negeri kita ini sumber rekrutmen pemimpin adalah parpol, di mana parpol dan jaringannya seolah mau mengunci erat-erat para “figur dari luar” untuk mengisi formasi jabatan pemimpin. Sementara jika jujur diakui, umumnya parpol kita sudah jauh dari nilai idealisme alias sudah terkontaminasi oleh soal-soal pragmatis materi. 

Kondisi dan kecenderungan seperti ini sungguh sangat berbahaya bagi masa depan bangsa dan generasi. Pertama, secara fundamental, bila bicara soal pemimpin, niscaya akan selalu terkait masalah nilai dan moralitas. Pemimpin adalah posisi yang mulia, tak ditakar dan atau dimunculkan hanya karena kepemilikan materi, melainkan lebih karena kefigurannya yang memperoleh pengakuan sosial dengan landasan moralitas dan orientasi kerakyatan yang kuat. 

Kehadiran pemimpin bukanlah untuk diri dan keluarganya, melainkan untuk orang banyak yang berada dalam ruang kepemimpinannya. Tak mungkin mengarahkan untuk agenda perbaikan kesejahteraan rakyat jika fokus pada diri, keluarga, dan kelompoknya— di mana inilah tampaknya yang terjadi di Indonesia saat ini. Kedua, jika pemimpin sudah keliru baik dari segi moralitas maupun orientasi, pada dasarnya sekaligus potensial merusak masyarakat bangsa. Ini seperti apa yang pernah dikatakan seorang filsuf China ternama, Confucius, bahwa karakter moral pemimpin adalah angin dan karakter moral yang di bawahnya sama dengan rumput. 

Ke mana angin bertiup ke arah itu pulalah rerumputan akan bergerak ikut mengarah (bend). Dalam masyarakat yang berwatak paternalistik seperti Indonesia ini, penjelasan seperti itu memang sangat relevan dan terasakan. Pemimpin bahkan bukan sekadar patron, melainkan penguasa yang mengarahkan kalangan aparat dan masyarakatnya. Maka itu, tidak heran kalau barisan pertama yang dirusak oleh pemimpin adalah jajaran birokrasi yang dikendalikan langsung oleh sang pemimpin alias aparat bawahan. 

Mereka harus bekerja dalam posisi untuk selalu “mengiyakan” kehendak pribadi, keluarga, dan atau kelompok sang pemimpin, di mana semua berujung pada “akumulasi uang”. Para bawahan yang mau bertahan pada jabatannya harus ikut kehendak pimpinan itu dan sekaligus juga jadi bagian dari penikmat. Rantai pengaruh negatif materi ini kemudian menyentuh rakyat bawah dengan wujud antara lain maraknya politik uang dalam pemilihan pejabat publik (kepala daerah, presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD). 

Persoalannya, untuk mengubah itu memang sungguh tidak mudah karena harus dimulai dengan keteladanan dari para pemimpin dimulai dari posisi tertinggi di negeri ini. “Tangan besi” demi perbaikan bahkan bisa sah-sah saja dilakukan di mana rakyat niscaya akan mendukungnya. Jika tidak, jangan bermimpi untuk ada perbaikan meski rezim akan terus berganti. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar