MK dalam
Bayang Ketidakpercayaan
Jamal Wiwoho ; Guru Besar Fakultas Hukum, Purek
II UNS
|
MEDIA
INDONESIA, 12 November 2013
RABU (6/11) merupakan era baru kepemimpin an Mahkamah Konsti
tusi (MK) setelah duet Hamdan Zoelva dan Arief Hidayat mengucapkan sumpah di
hadapan Majelis Hakim MK sebagai Ketua dan Wakil Ketua MK periode 2013-2016.
Lafal sumpah mudah diucapkan, tetapi amat berat konsekuensi hukumnya. Selain
mereka bertanggung jawab kepada rakyat Indonesia sebagai subjek pencari
keadilan, itu harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan YME. Harus
diakui bahwa kredibilitas dan kepercayaan MK pada saat ini berada pada titik
nadir setelah penangkapan Ketua MK Akil Mochtar (2/10) terkait dengan dugaan
suap dalam sengketa pemilu kada Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Lebak,
Banten.
Penangkapan itu mengguncang dunia hukum pada umumnya dan
kredibilitas MK sebagai lembaga bentukan Pasal 24 e ayat (1) UUD 1945 yang
punya tugas menguji UU terhadap UUD, menyelesaikan perselisihan antarlembaga
negara, menyelesaikan sengketa pembubaran partai politik, menyatakan
presiden/wakil presiden telah melanggar haluan negara, serta menyelesaikan
sengketa pemilu kada secara langsung.
Atas kejadian penangkapan tersebut muncul anggapan
ketidakpercayaan (distrust) atas
kinerja MK. Mampukah duet Hamdan dan Arif mengembalikan kembali citra serta
kehormatan MK yang bersih dan berwibawa dalam penegakan hukum, seperti yang
pernah dibangun Ketua MK sebelumnya, Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD?
Penulis berpendapat ada beberapa tantangan yang menghadang
atas kinerja duet `mantan' politikus dan akademisi itu, antara lain, pertama,
MK memerlukan dukungan seluruh kepentingan MK dan seluruh rakyat. Tugas
tersebut menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa, bukan hanya hakim
konstitusi. Secara teori dalam upaya mengembalikan wibawa dan kehormatan MK,
ada tiga hal yang harus dibenahi, yakni secara legal substansial.
Dalam hal itu perlu direnungkan kembali dan direalisasi
ide untuk melakukan penyempurnaan UU MK. Ada beberapa pasal krusial dalam UU
No 8/2011 sehingga perlu disempurnakan kembali. Misalnya soal persyaratan
menjadi hakim MK, sifat putusan MK, parameter kenegarawanan calon hakim MK,
majelis kode etik, Dewan Kehormatan Hakim MK, dan beberapa masalah krusial
lain yang berkait erat dengan pengaturan UU MK. Kemudian, secara legal
culture yang lebih ditekankan pada mentalitas dan integritas aparat birokrasi
MK yang meliputi birokrasi pada Setjen MK, para petup gas, dan mental para
hakim konstitusi yang merupakan kombinasi dan representasi dari triumvirat presiden,
DPR, dan MA. Sedikit menoleh ke belakang, kehancuran MK saat ini disebabkan
tidak saat ini disebabka adanya integritas dan terjadi demoralisasi oknum ha
kim di MK dengan putusan `pesanan'.
Faktor berikutnya pentingnya ialah legal culture, dengan suatu tradisi hukum masyarakat kita yang
sebagian suka mengganggu integritas dan kewibawaan lembaga peradilan (MK)
dengan berbagai cara untuk memengaruhi putusan hakim. Faktor budaya hukum
masyarakat itulah yang amat sulit untuk dibenahi.
Peran masyarakat
Dengan melihat konstruksi tiga pilar dalam sistem hukum
(substansi, struktur, dan kultur) yang saling berkait, tidaklah tepat hanya
menyalahkan struktur birokrasi MK. Sebagian besar `runtuhnya' struktur
birokrasi pengadilan tidak pernah lepas dari peran masyarakat dan para
pencari keadilan yang mencoba mengganggu lembaga peradilan.
Kedua, sambutan pertama kali Hamdan Zoelva sebagai Ketua
MK yang secara khusus diarahkan kepada pengacara untuk berhenti melontarkan
tuduhan dan analisis-analisis kepada hakim MK tanpa bukti karena bisa merusak
citra MK. Hamdan juga mengancam jika para pengacara terus merecoki kinerja
MK, dia akan melarang para pengacara untuk beracara di MK. Dalam perspektif
sosiologis jika hal itu benar dilaksanakan, ancaman tersebut sebagai bukti
bahwa dia menggunakan pendekatan kekua saan. Ketua MK telah melakukan kanalisasi
keberatan dan isu-isu yang berkembang saat para pihak sedang beracara di MK.
Ketiga, soal kedudukan Ketua MK karena Hamdan sebelum
menjadi hakim MK, pernah menjadi politikus Partai Bulan Bintang (PBB) dan
anggota DPR. Keadaan itu tentu terasa tidak begitu menguntungkan Hamdan,
terlebih bila melihat kepemimpinan Akil Mochtar yang juga mantan politikus
Partai Golkar. Hamdan harus sangat banyak belajar dan mengambil hikmah dari `keteledoran'
Akil dalam memimpin MK. Sampai kini masih ada sebagian masyarakat tidak
memercayai mantan politikus duduk sebagai hakim MK untuk bisa berbuat adil,
imparsial, dan tidak memihak.
Hal itu sangat bisa dipahami adanya usul revisi atas UU MK
yang menyarankan agar calon hakim tidak berasal parpol atau pernah aktif
sebagai anggota parpol. Berbekal itulah, Hamdan harus membuktikan kepada
publik dengan putusan-putusan yang membumi berdasarkan atas keadilan semata
dan bukan atas pertimbangan-pertimbangan perseorangan/golongan atau bahkan
kepartaian tertentu.
Memang perlu waktu cukup lama untuk dapat memulihkan
kepercayaan terhadap MK. Seandainya kekhawatiran publik itu terjadi pada diri
Hamdan, hal tersebut akan menambah catatan kelam hakim MK yang pernah jadi
politikus.
Keempat, terkait dengan adanya kemungkinan `perlawanan'
publik dan para pihak yang beperkara (terutama yang berkait dengan sengketa
pemilu kada secara langsung) yang pernah ditangani Akil selama menjadi hakim
MK.
Kemungkinan adanya cacat atau terjadi kekeliruan putusan berpotensi menyeruak ke permukaan karena putusan Akil pada kasus itu tidak memenuhi rasa keadilan. Namun, kekeliruan putusan, kalau memang ada, secara teoretis tidak mungkin diubah mengingat sudah final. Hanya, dalam rangka mencari keadilan yang tidak hanya bersifat prosedural, upaya korban putusan tersebut perlu diberi ruang untuk memperoleh akses keadilan yang substantif.
Kelima, posisi pembentukan Dewan Kode Etik yang bertugas
mengawasi hakim, menerima laporan pengaduan masyarakat, memeriksa hakim
terlapor, dan menjatuhkan sanksi hakim kecuali pemberhentian karena
pemberhentian hakim MK harus melalui mekanisme Majelis Kehormatan Hakim
(MKH). Peraturan MK No 2 Tahun 2013 tentang Dewan Etik tidak mengatur hal itu
dan menyerahkan sepenuhnya ke panitia seleksi.
Pemberian tugas Dewan Kode Etik dalam hal ini sangatlah penting untuk meningkatkan sistem pengawan internal dan eksternal guna meningkatkan kepercayaan kepada MK.
Keenam, suatu hal harus diketahui hakim MK dan pejabat publik
saat ini, mereka harus segera mengubah mindset untuk tidak korupsi dan
melakukan pencucian uang (money laundry)
karena pejabat publik merupakan politically
exposed person (PEP), atau orang yang diberi tanda bendera untuk
dicermati seberapa besar dan cepatnya transaksi keuangan yang dilakukan
olehnya. Secara baik sadar maupun tidak sadar, Akil telah nyata sebagai
seorang PEP yang dengan gampang diketahui PPATK dalam bertransaksi.
Tentu publik sangat berharap atas janji Wakil Ketua MK
Arief Hidayat yang diucapkan dalam uji kelayakan 5 Maret 2013, dengan
mengatakan untuk mendapatkan putusan hakim MK yang memenuhi rasa keadilan MK
harus independen dari intervensi politik. Selamat
bekerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar