Selasa, 12 November 2013

MK dalam Bayang Ketidakpercayaan

MK dalam Bayang Ketidakpercayaan
Jamal Wiwoho  ;   Guru Besar Fakultas Hukum, Purek II UNS
MEDIA INDONESIA,  12 November 2013

  
RABU (6/11) merupakan era baru kepemimpin an Mahkamah Konsti tusi (MK) setelah duet Hamdan Zoelva dan Arief Hidayat mengucapkan sumpah di hadapan Majelis Hakim MK sebagai Ketua dan Wakil Ketua MK periode 2013-2016. Lafal sumpah mudah diucapkan, tetapi amat berat konsekuensi hukumnya. Selain mereka bertanggung jawab kepada rakyat Indonesia sebagai subjek pencari keadilan, itu harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan YME. Harus diakui bahwa kredibilitas dan kepercayaan MK pada saat ini berada pada titik nadir setelah penangkapan Ketua MK Akil Mochtar (2/10) terkait dengan dugaan suap dalam sengketa pemilu kada Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Lebak, Banten.

Penangkapan itu mengguncang dunia hukum pada umumnya dan kredibilitas MK sebagai lembaga bentukan Pasal 24 e ayat (1) UUD 1945 yang punya tugas menguji UU terhadap UUD, menyelesaikan perselisihan antarlembaga negara, menyelesaikan sengketa pembubaran partai politik, menyatakan presiden/wakil presiden telah melanggar haluan negara, serta menyelesaikan sengketa pemilu kada secara langsung.

Atas kejadian penangkapan tersebut muncul anggapan ketidakpercayaan (distrust) atas kinerja MK. Mampukah duet Hamdan dan Arif mengembalikan kembali citra serta kehormatan MK yang bersih dan berwibawa dalam penegakan hukum, seperti yang pernah dibangun Ketua MK sebelumnya, Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD?

Penulis berpendapat ada beberapa tantangan yang menghadang atas kinerja duet `mantan' politikus dan akademisi itu, antara lain, pertama, MK memerlukan dukungan seluruh kepentingan MK dan seluruh rakyat. Tugas tersebut menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa, bukan hanya hakim konstitusi. Secara teori dalam upaya mengembalikan wibawa dan kehormatan MK, ada tiga hal yang harus dibenahi, yakni secara legal substansial.

Dalam hal itu perlu direnungkan kembali dan direalisasi ide untuk melakukan penyempurnaan UU MK. Ada beberapa pasal krusial dalam UU No 8/2011 sehingga perlu disempurnakan kembali. Misalnya soal persyaratan menjadi hakim MK, sifat putusan MK, parameter kenegarawanan calon hakim MK, majelis kode etik, Dewan Kehormatan Hakim MK, dan beberapa masalah krusial lain yang berkait erat dengan pengaturan UU MK. Kemudian, secara legal culture yang lebih ditekankan pada mentalitas dan integritas aparat birokrasi MK yang meliputi birokrasi pada Setjen MK, para petup gas, dan mental para hakim konstitusi yang merupakan kombinasi dan representasi dari triumvirat presiden, DPR, dan MA. Sedikit menoleh ke belakang, kehancuran MK saat ini disebabkan tidak saat ini disebabka adanya integritas dan terjadi demoralisasi oknum ha kim di MK dengan putusan `pesanan'.

Faktor berikutnya pentingnya ialah legal culture, dengan suatu tradisi hukum masyarakat kita yang sebagian suka mengganggu integritas dan kewibawaan lembaga peradilan (MK) dengan berbagai cara untuk memengaruhi putusan hakim. Faktor budaya hukum masyarakat itulah yang amat sulit untuk dibenahi.

Peran masyarakat

Dengan melihat konstruksi tiga pilar dalam sistem hukum (substansi, struktur, dan kultur) yang saling berkait, tidaklah tepat hanya menyalahkan struktur birokrasi MK. Sebagian besar `runtuhnya' struktur birokrasi pengadilan tidak pernah lepas dari peran masyarakat dan para pencari keadilan yang mencoba mengganggu lembaga peradilan.

Kedua, sambutan pertama kali Hamdan Zoelva sebagai Ketua MK yang secara khusus diarahkan kepada pengacara untuk berhenti melontarkan tuduhan dan analisis-analisis kepada hakim MK tanpa bukti karena bisa merusak citra MK. Hamdan juga mengancam jika para pengacara terus merecoki kinerja MK, dia akan melarang para pengacara untuk beracara di MK. Dalam perspektif sosiologis jika hal itu benar dilaksanakan, ancaman tersebut sebagai bukti bahwa dia menggunakan pendekatan kekua saan. Ketua MK telah melakukan kanalisasi keberatan dan isu-isu yang berkembang saat para pihak sedang beracara di MK.

Ketiga, soal kedudukan Ketua MK karena Hamdan sebelum menjadi hakim MK, pernah menjadi politikus Partai Bulan Bintang (PBB) dan anggota DPR. Keadaan itu tentu terasa tidak begitu menguntungkan Hamdan, terlebih bila melihat kepemimpinan Akil Mochtar yang juga mantan politikus Partai Golkar. Hamdan harus sangat banyak belajar dan mengambil hikmah dari `keteledoran' Akil dalam memimpin MK. Sampai kini masih ada sebagian masyarakat tidak memercayai mantan politikus duduk sebagai hakim MK untuk bisa berbuat adil, imparsial, dan tidak memihak.

Hal itu sangat bisa dipahami adanya usul revisi atas UU MK yang menyarankan agar calon hakim tidak berasal parpol atau pernah aktif sebagai anggota parpol. Berbekal itulah, Hamdan harus membuktikan kepada publik dengan putusan-putusan yang membumi berdasarkan atas keadilan semata dan bukan atas pertimbangan-pertimbangan perseorangan/golongan atau bahkan kepartaian tertentu.

Memang perlu waktu cukup lama untuk dapat memulihkan kepercayaan terhadap MK. Seandainya kekhawatiran publik itu terjadi pada diri Hamdan, hal tersebut akan menambah catatan kelam hakim MK yang pernah jadi politikus.

Keempat, terkait dengan adanya kemungkinan `perlawanan' publik dan para pihak yang beperkara (terutama yang berkait dengan sengketa pemilu kada secara langsung) yang pernah ditangani Akil selama menjadi hakim MK.
Kemungkinan adanya cacat atau terjadi kekeliruan putusan berpotensi menyeruak ke permukaan karena putusan Akil pada kasus itu tidak memenuhi rasa keadilan. Namun, kekeliruan putusan, kalau memang ada, secara teoretis tidak mungkin diubah mengingat sudah final. Hanya, dalam rangka mencari keadilan yang tidak hanya bersifat prosedural, upaya korban putusan tersebut perlu diberi ruang untuk memperoleh akses keadilan yang substantif.

Kelima, posisi pembentukan Dewan Kode Etik yang bertugas mengawasi hakim, menerima laporan pengaduan masyarakat, memeriksa hakim terlapor, dan menjatuhkan sanksi hakim kecuali pemberhentian karena pemberhentian hakim MK harus melalui mekanisme Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Peraturan MK No 2 Tahun 2013 tentang Dewan Etik tidak mengatur hal itu dan menyerahkan sepenuhnya ke panitia seleksi.
Pemberian tugas Dewan Kode Etik dalam hal ini sangatlah penting untuk meningkatkan sistem pengawan internal dan eksternal guna meningkatkan kepercayaan kepada MK.

Keenam, suatu hal harus diketahui hakim MK dan pejabat publik saat ini, mereka harus segera mengubah mindset untuk tidak korupsi dan melakukan pencucian uang (money laundry) karena pejabat publik merupakan politically exposed person (PEP), atau orang yang diberi tanda bendera untuk dicermati seberapa besar dan cepatnya transaksi keuangan yang dilakukan olehnya. Secara baik sadar maupun tidak sadar, Akil telah nyata sebagai seorang PEP yang dengan gampang diketahui PPATK dalam bertransaksi.

Tentu publik sangat berharap atas janji Wakil Ketua MK Arief Hidayat yang diucapkan dalam uji kelayakan 5 Maret 2013, dengan mengatakan untuk mendapatkan putusan hakim MK yang memenuhi rasa keadilan MK harus independen dari intervensi politik. Selamat bekerja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar