Menyongsong
Kepahlawanan Sejati
Setio Boedi ; Penikmat Budaya, Tinggal di Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 11 November 2013
"Memiliki hati untuk rela
berkorban demi rakyat adalah syarat mutlak bagi seorang yang berjiwa
pahlawan"
SUKA
atau tidak suka, mau atau tidak mau, dalam tiap peradaban sebagaimana
sejarah, citra kepahlawanan dari seseorang bergantung pada sang pemenang
alias rezim penguasa saat itu. Berkait Hari Pahlawan yang baru saja
diperingati segenap anak bangsa ini, kita pun kembali diusik untuk
merenungkan lebih dalam mengenai hakikat kepahlawanan sejati.
Betapa
mahal sebuah kemerdekaan ketika sudah diproklamirkan oleh Bapak Bangsa maka
tiada kesempatan lagi bagi penjajah untuk kembali. Pertempuran di Surabaya,
10 November 1945 adalah terbesar setelah kemerdekaan RI. Inggris bersama
India datang atas nama Sekutu dengan misi melucuti Jepang dan memulangkannya,
juga membebaskan tawanan Dai Nippon.
Namun
mereka juga berkehendak mengembalikan Indonesia kepada Belanda, dengan Netherlands Indies Civil Administration
(NICA) sebagai pembonceng gelap. Tentu rakyat kita melawan. Dipimpin banyak
tokoh masyarakat dan agama, seperti Bung Tomo dan KH Hasyim Asy’ari, rakyat
melawan kolonial. Inilah yang melatarbelakangi pemerintah menetapkan tanggal
10 November sebagai Hari Pahlawan.
Tapi
bukankah yang bergelar pahlawan tak hanya yang gugur dalam peristiwa
ìSoerabaia 1945î? Ada pahlawan Indonesia yang ”menakjubkan”. Dia Ernest
Douwes Dekker. Kendati dalam tubuhnya mengalir darah Belanda, Prancis,
Jerman, dan Jawa, ke mana-mana ia selalu mengaku orang Jawa.
Lahir
di Pasuruan, 8 Oktober 1879 (tahun yang sama dengan kelahiran RA Kartini),
dan pada 20 Mei 1908 juga hadir dalam Kongres I Boedi Oetomo. Dia pula
bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hadjar Dewantara membidani
kelahiran Indische Partij, partai politik pertama Hindia Belanda, yang
beranggaran dasar pada 25 Desember 1912.
Yang
menarik, Douwes Dekker harus mengalami sesaknya penjara di beberapa negara
akibat perjuangannya. Dia kerap menjadi objek buruan Belanda. Bagi Belanda,
ia dianggap sebagai pengkhianat negara. Tetapi bagi Indonesia dia pahlawan
bangsa, dan itu sebabnya ketika meninggal (28 Agustus 1950), ia
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung.
Bandingkan
dengan mantan penguasa Orba, Soeharto, yang 32 tahun memimpin negeri ini.
Sampai sekarang dia belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional, meski saat
berkuasa gelar Bapak Pembangunan dan Jenderal Besar dianugerahkan kepadanya.
Jadi, benarlah ucapan Napoleon Bonaparte, ”Sejarah
itu ditulis oleh para pemenang”.
Banyak
sekali nilai-nilai kepahlawanan yang bisa diteladani dari pahlawan bangsa
kita. Namun dari semua nilai-nilai mulia kepahlawan, bisa kita peras dalam
satu nilai agung: rela berkorban. Pahlawan sejati punya hati untuk rela
berkorban. Sangatlah sederhana membedakan antara pahlawan dan pengkhianat
karena mudah alat ukurnya.
Pahlawan
berkorban diri pribadi demi kepentingan banyak orang atau rakyat, sebaliknya
pengkhianat mngorbankan banyak orang atau rakyat untuk kepentingan pribadi
dan kelompoknya. Dari sini terlihat jelas yang manakah pahlawan andai kita
diperhadapkan pada dua sosok.
Pertama;
seorang guru yang setia mengabdi di daerah pedesaan, bahkan pulau terluar
di Indonesia, dengan imbalan hanya ratusan ribu rupiah tiap bulan. Kedua;
pejabat pemerintah yang bergaji belasan, bahkan ”hanya” puluhan juta rupiah,
tetapi tetap bisa mengoleksi rumah dan mobil mewah. Mana yang
sebenar-benarnya pahlawan?
Syarat
memiliki hati rela berkorban adalah mutlak bagi seorang yang berjiwa
pahlawan. Dari zaman kapan pun sampai masa kapan pun. Bahkan ungkapan bijak
menyatakan ”tak ada yang baru di bawah matahari ini, polanya sama”. Karena
itu pula, kita saat ini pun bisa membuat daftar bayangan terhadap orang-orang
yang sering muncul di media massa, apakah mereka pahlawan ataukah
pengkhianat?
Pahlawan 2014
Negara
kita sebentar lagi mempunyai hajat besar, membelanjakan triliunan rupiah
untuk proses demokrasi ini. Menurut jadwal Pemilu 2014 dilaksanakan dua kali,
yakni Pemilu Legislatif (Pileg) pada 9 April 2014 yang akan memilih anggota
legislatif dan Pemilu Presiden (Pilpres) pada 9 Juli 2014 yang akan memilih
Presiden.
Mulai
sekarang banyak orang yang punya kepentingan terkait dengan tahun depan setor
wajah di jalanan dan media massa. Hati-hati, jangan terkecoh. Pengalaman
membuktikan bahwa orang acap berbaik-baik bila punya maksud tersembunyi. Alat
ukurnya tetap sangat sederhana. Pertama; mari kita kenali mereka. Bagaimana
mungkin kita memilih orang-orang yang tidak kita kenal?
Seperti
saat ujian, bila kita menjawab soal-soal yang tidak kita ketahui jawabannya;
akhirnya seusai ujian, deg-degan karena bersandar pada faktor
untung-untungan. Lebih baik tidak mengisi jawaban ketimbang menjawab tetapi
seandainya salah, nilai kita dikurangi. Betapa konyol bila memilih wakil
rakyat (alias kita sendiri) yang sama sekali tidak kita kenal.
Kedua;
tengok rekam jejak mereka selama ini. Adakah hati pahlawan dalam diri mereka?
Bukan hanya dalam setahun terakhir, melainkan juga waktu-waktu yang lalu.
Hati pahlawan tak pernah berubah, ia mau mengorbankan diri demi kepentingan
rakyat. Bukan sebaliknya, mengorbankan rakyat demi kepentingan diri atau
kelompoknya. Mari kita songsong pahlawan sejati 2014. Selamat Hari Pahlawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar