Selasa, 12 November 2013

Menyongsong Kepahlawanan Sejati

Menyongsong Kepahlawanan Sejati
Setio Boedi  ;   Penikmat Budaya, Tinggal di Semarang
SUARA MERDEKA,  11 November 2013

  
"Memiliki hati untuk rela berkorban demi rakyat adalah syarat mutlak bagi seorang yang berjiwa pahlawan"

SUKA atau tidak suka, mau atau tidak mau, dalam tiap peradaban sebagaimana sejarah, citra kepahlawanan dari seseorang bergantung pada sang pemenang alias rezim penguasa saat itu. Berkait Hari Pahlawan yang baru saja diperingati segenap anak bangsa ini, kita pun kembali diusik untuk merenungkan lebih dalam mengenai hakikat kepahlawanan sejati.

Betapa mahal sebuah kemerdekaan ketika sudah diproklamirkan oleh Bapak Bangsa maka tiada kesempatan lagi bagi penjajah untuk kembali. Pertempuran di Surabaya, 10 November 1945 adalah terbesar setelah kemerdekaan RI. Inggris bersama India datang atas nama Sekutu dengan misi melucuti Jepang dan memulangkannya, juga membebaskan tawanan Dai Nippon.

Namun mereka juga berkehendak mengembalikan Indonesia kepada Belanda, dengan  Netherlands Indies Civil Administration (NICA) sebagai pembonceng gelap. Tentu rakyat kita melawan. Dipimpin banyak tokoh masyarakat dan agama, seperti Bung Tomo dan KH Hasyim Asy’ari, rakyat melawan kolonial. Inilah yang melatarbelakangi pemerintah menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.

Tapi bukankah yang bergelar pahlawan tak hanya yang gugur dalam peristiwa ìSoerabaia  1945î? Ada pahlawan Indonesia yang ”menakjubkan”. Dia Ernest Douwes Dekker. Kendati dalam tubuhnya mengalir darah  Belanda, Prancis, Jerman, dan Jawa, ke mana-mana ia selalu mengaku orang Jawa.

Lahir di Pasuruan, 8 Oktober 1879 (tahun yang sama dengan kelahiran RA Kartini), dan pada  20 Mei 1908 juga hadir dalam Kongres I Boedi Oetomo. Dia pula bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hadjar Dewantara membidani  kelahiran Indische Partij, partai politik pertama Hindia Belanda, yang beranggaran dasar pada 25 Desember 1912.

Yang menarik, Douwes Dekker harus mengalami sesaknya penjara di beberapa negara akibat perjuangannya. Dia kerap menjadi objek buruan Belanda. Bagi Belanda, ia dianggap sebagai pengkhianat negara. Tetapi bagi Indonesia dia pahlawan bangsa, dan itu sebabnya ketika meninggal (28 Agustus 1950), ia dimakamkan  di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung.

Bandingkan dengan mantan penguasa Orba, Soeharto, yang 32 tahun memimpin negeri ini. Sampai sekarang dia belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional, meski saat berkuasa gelar Bapak Pembangunan dan Jenderal Besar dianugerahkan kepadanya. Jadi, benarlah ucapan Napoleon Bonaparte, ”Sejarah itu ditulis oleh para pemenang”.

Banyak sekali nilai-nilai kepahlawanan yang bisa diteladani dari pahlawan bangsa kita. Namun dari semua nilai-nilai mulia kepahlawan, bisa kita peras dalam satu nilai agung: rela berkorban. Pahlawan sejati punya hati untuk rela berkorban. Sangatlah sederhana membedakan antara pahlawan dan pengkhianat karena mudah alat ukurnya.

Pahlawan berkorban diri pribadi demi kepentingan banyak orang atau rakyat, sebaliknya pengkhianat mngorbankan banyak orang atau rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dari sini terlihat jelas yang manakah pahlawan andai kita diperhadapkan pada dua sosok.

Pertama; seorang  guru yang setia mengabdi di daerah pedesaan, bahkan pulau terluar di Indonesia, dengan imbalan hanya ratusan ribu rupiah tiap bulan. Kedua; pejabat pemerintah yang bergaji belasan, bahkan ”hanya” puluhan juta rupiah, tetapi tetap bisa mengoleksi rumah dan mobil mewah. Mana yang sebenar-benarnya pahlawan?

Syarat memiliki hati rela berkorban adalah mutlak bagi seorang yang berjiwa pahlawan. Dari zaman kapan pun sampai masa kapan pun. Bahkan ungkapan bijak menyatakan ”tak ada yang baru di bawah matahari ini, polanya sama”. Karena itu pula, kita saat ini pun bisa membuat daftar bayangan terhadap orang-orang yang sering muncul di media massa, apakah mereka pahlawan ataukah pengkhianat?

Pahlawan 2014

Negara kita sebentar lagi mempunyai hajat besar, membelanjakan triliunan rupiah untuk proses demokrasi ini. Menurut jadwal Pemilu 2014 dilaksanakan dua kali, yakni Pemilu Legislatif (Pileg) pada 9 April 2014 yang akan memilih anggota legislatif dan Pemilu Presiden (Pilpres) pada 9 Juli 2014 yang akan memilih Presiden.

Mulai sekarang banyak orang yang punya kepentingan terkait dengan tahun depan setor wajah di jalanan dan media massa. Hati-hati, jangan terkecoh. Pengalaman membuktikan bahwa orang acap berbaik-baik bila punya maksud tersembunyi. Alat ukurnya tetap sangat sederhana. Pertama; mari kita kenali mereka. Bagaimana mungkin kita memilih orang-orang yang tidak kita kenal?

Seperti saat ujian, bila kita menjawab soal-soal yang tidak kita ketahui jawabannya; akhirnya seusai ujian, deg-degan karena bersandar pada faktor untung-untungan. Lebih baik tidak mengisi jawaban ketimbang menjawab tetapi seandainya salah, nilai kita dikurangi. Betapa konyol bila memilih wakil rakyat (alias kita sendiri) yang sama sekali tidak kita kenal.

Kedua; tengok rekam jejak mereka selama ini. Adakah hati pahlawan dalam diri mereka? Bukan hanya dalam setahun terakhir, melainkan juga waktu-waktu yang lalu. Hati pahlawan tak pernah berubah, ia mau mengorbankan diri demi kepentingan rakyat. Bukan sebaliknya, mengorbankan rakyat demi kepentingan diri atau kelompoknya. Mari kita songsong pahlawan sejati 2014. Selamat Hari Pahlawan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar