|
Kasus kekerasan pada siswa di sekolah
seolah tidak ada hentinya; mulai dari kekerasan laten yang dapat berwujud pada
buku-buku pelajaran maupun kuesioner, kekerasan seksual, tindakan pornografi,
hingga kekerasan fisik yang terpampang secara jelas.
Semua itu menghantui setiap orang tua
yang justru terlalu berharap lebih kepada sebuah lembaga pendidikan yang
bernama sekolah.
Terkuaknya kasus perekaman
adegan mesum yang dilakukan dua siswa SMP 4 Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu,
kembali menampar dunia pendidikan kita. Bahkan, kejadian ini tidak saja terjadi
satu kali, namun beberapa kali.
Terlepas dari dugaan bahwa
kegiatan ini dilakukan atas dasar suka sama suka, yang jelas kebobrokan moral
telah menjangkiti para pelajar kita. Nyatanya kegiatan ini dilakukan secara
bersama-sama oleh sejumlah pelajar yang mempunyai peran sebagai perekam, bahkan
beberapa menjadi penontonnya, tanpa ada upaya dari mereka untuk mencegah
perilaku tidak senonoh ini.
Dampak lebih dahsyat
selanjutnya adalah hasil rekaman tersebut telah disebarkan secara bebas melalui
situs internet, sehingga setiap orang, termasuk para pelajar di bawah umur,
akan dengan bebas menyaksikannya.
Miris dan tragis. Bagi
setiap orang tua yang peduli kepada nasib anaknya, ketakutan ini benar-benar
akan selalu membayangi. Sebuah sekolah, yang seharusnya menjadi sebuah zona
aman dan nyaman bagi tumbuh dan berkembangnya anak, nyatanya tidak cukup
memberikan kedua hal tersebut.
Lebih mengkhawatirkan lagi,
anak-anak seusia SMP terkadang belum mempunyai pemahaman yang cukup mengenai
seks dan segala macam konsekuensinya. Di usia ini mereka berada pada tahap
operasional formal, merupakan periode terakhir yang mulai dialami anak dalam
usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa; seperti
disebutkan dalam teori perkembangan kognitif Piaget.
Karakteristik tahap ini
adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara
logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini,
seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia
tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada
“gradasi abu-abu” di antaranya.
Artinya, mereka masih sangat
memerlukan pendampingan, memerlukan figur dan sosok yang dapat mereka contoh,
juga sangat memerlukan arahan dalam menemukan jati diri dalam dunianya yang
masih abu-abu tersebut.
Seperti diungkapkan dalam
teori perkembangan usia tersebut, dilihat dari faktor biologis, tahapan ini
muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai
masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral,
perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial.
Degradasi moral yang semakin
memiriskan di kalangan remaja adalah sebuah isyarat bahwa fungsi tripilar
pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat belum memberikan peran yang
optimal. Sementara itu, tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg (1958)
menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan
konstruktif.
Kohlberg memperluas
pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada
prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama
kehidupan. Artinya, pendidikan seharusnya memegang peran penting ini.
Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk membangun sebuah watak dan sikap
seorang anak yang mempunyai nilai-nilai etika serta religius.
Paradigma bahwa pendidikan
hanya untuk mentransfer pengetahuan sudah seharusnya dibebaskan. Sejatinya
pendidikan dilakukan untuk membentuk watak dan pengendalian diri sehingga akan
menjadi sebuah kesalahan fatal jika orang tua hanya memercayakan pendidikan
pada sekolah. Ini karena sejatinya pendidikan berawal dari rumah.
Ki Hajar Dewantara telah
menuliskan dalam bukunya, Wasita Tahun ke-1 No 3 Tahun 1935, bahwa sesungguhnya
alam keluarga itu bukan saja pendidikan individual, tetapi juga suatu pusat
untuk melakukan pendidikan sosial. Orang tua melakukan pendidikan anak-anaknya
harus selalu bersama-sama dengan guru-guru di sekolahnya.
Lebih lanjut, Hattie (2003)
telah menunjukkan dalam risetnya bahwa karakter peserta didik dipengaruhi hanya
30 persen dari faktor guru. Hal itu berarti 70 persen dari faktor pembentukan
karakter anak ada pada dua pilar pendidikan yang lain, yaitu keluarga dan
masyarakat lingkungannya tempat ia tumbuh. Di sinilah perlu ditekankan kembali
bahwa terbentuknya budi pekerti yang kita harapkan tidak hanya menjadi tanggung
jawab guru dan sekolahnya.
Sayangnya, sikap permisif
orang tua sering terwujud tanpa disadari, dengan sekadar memenuhi kebutuhan
anak secara materi, tanpa ada pengecekan ulang apa saja yang dilakukan anak
atas pemberiannya.
Pemberian HP kepada anak,
misalnya, dengan alasan supaya komunikasi lebih mudah, harus mempertimbangkan
dampaknya. Jangan sekadar mengikuti tren, sementara fitur yang tersedia dalam
alat komunikasi tersebut justru menjadi jalan lebar untuk mengakses situs
porno.
Dunia dalam genggaman sang
anak. Apa pun dapat mereka lihat dan ambil internet. Tanpa ada filter
pendidikan dalam keluarga serta kepedulian orang tua, hal tersebut akan
berdampak buruk tanpa disadari.
Kita sebagai orang tua tidak
cukup hanya merasa galau, namun harus bertindak dengan mengambil peran yang
besar dalam pendidikan mereka di rumah. Dapat dilakukan melalui pendidikan
seksual sejak dini dan juga menerapkan nilai-nilai ajaran agama, yang
diharapkan dapat membentengi anak dari perbuatan amoral yang menyesatkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar