Sabtu, 09 November 2013

Menyoal Kekerasan Seksual di Sekolah

Menyoal Kekerasan Seksual di Sekolah
Arifah Suryaningsih  ;  Guru SMK 2 Sewon,
Alumnus Manajemen Kepengawasan Pendidikan di MM UGM
SINAR HARAPAN, 08 November 2013


Kasus kekerasan pada siswa di sekolah seolah tidak ada hentinya; mulai dari kekerasan laten yang dapat berwujud pada buku-buku pelajaran maupun kuesioner, kekerasan seksual, tindakan pornografi, hingga kekerasan fisik yang terpampang secara jelas.

Semua itu menghantui setiap orang tua yang justru terlalu berharap lebih kepada sebuah lembaga pendidikan yang bernama sekolah.

Terkuaknya kasus perekaman adegan mesum yang dilakukan dua siswa SMP 4 Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu, kembali menampar dunia pendidikan kita. Bahkan, kejadian ini tidak saja terjadi satu kali, namun beberapa kali.

Terlepas dari dugaan bahwa kegiatan ini dilakukan atas dasar suka sama suka, yang jelas kebobrokan moral telah menjangkiti para pelajar kita. Nyatanya kegiatan ini dilakukan secara bersama-sama oleh sejumlah pelajar yang mempunyai peran sebagai perekam, bahkan beberapa menjadi penontonnya, tanpa ada upaya dari mereka untuk mencegah perilaku tidak senonoh ini.

Dampak lebih dahsyat selanjutnya adalah hasil rekaman tersebut telah disebarkan secara bebas melalui situs internet, sehingga setiap orang, termasuk para pelajar di bawah umur, akan dengan bebas menyaksikannya.

Miris dan tragis. Bagi setiap orang tua yang peduli kepada nasib anaknya, ketakutan ini benar-benar akan selalu membayangi. Sebuah sekolah, yang seharusnya menjadi sebuah zona aman dan nyaman bagi tumbuh dan berkembangnya anak, nyatanya tidak cukup memberikan kedua hal tersebut.

Lebih mengkhawatirkan lagi, anak-anak seusia SMP terkadang belum mempunyai pemahaman yang cukup mengenai seks dan segala macam konsekuensinya. Di usia ini mereka berada pada tahap operasional formal, merupakan periode terakhir yang mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa; seperti disebutkan dalam teori perkembangan kognitif Piaget.

Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada “gradasi abu-abu” di antaranya.

Artinya, mereka masih sangat memerlukan pendampingan, memerlukan figur dan sosok yang dapat mereka contoh, juga sangat memerlukan arahan dalam menemukan jati diri dalam dunianya yang masih abu-abu tersebut.

Seperti diungkapkan dalam teori perkembangan usia tersebut, dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial.

Degradasi moral yang semakin memiriskan di kalangan remaja adalah sebuah isyarat bahwa fungsi tripilar pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat belum memberikan peran yang optimal. Sementara itu, tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg (1958) menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif.

Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan. Artinya, pendidikan seharusnya memegang peran penting ini. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk membangun sebuah watak dan sikap seorang anak yang mempunyai nilai-nilai etika serta religius.

Paradigma bahwa pendidikan hanya untuk mentransfer pengetahuan sudah seharusnya dibebaskan. Sejatinya pendidikan dilakukan untuk membentuk watak dan pengendalian diri sehingga akan menjadi sebuah kesalahan fatal jika orang tua hanya memercayakan pendidikan pada sekolah. Ini karena sejatinya pendidikan berawal dari rumah.

Ki Hajar Dewantara telah menuliskan dalam bukunya, Wasita Tahun ke-1 No 3 Tahun 1935, bahwa sesungguhnya alam keluarga itu bukan saja pendidikan individual, tetapi juga suatu pusat untuk melakukan pendidikan sosial. Orang tua melakukan pendidikan anak-anaknya harus selalu bersama-sama dengan guru-guru di sekolahnya.

Lebih lanjut, Hattie (2003) telah menunjukkan dalam risetnya bahwa karakter peserta didik dipengaruhi hanya 30 persen dari faktor guru. Hal itu berarti 70 persen dari faktor pembentukan karakter anak ada pada dua pilar pendidikan yang lain, yaitu keluarga dan masyarakat lingkungannya tempat ia tumbuh. Di sinilah perlu ditekankan kembali bahwa terbentuknya budi pekerti yang kita harapkan tidak hanya menjadi tanggung jawab guru dan sekolahnya.

Sayangnya, sikap permisif orang tua sering terwujud tanpa disadari, dengan sekadar memenuhi kebutuhan anak secara materi, tanpa ada pengecekan ulang apa saja yang dilakukan anak atas pemberiannya.

Pemberian HP kepada anak, misalnya, dengan alasan supaya komunikasi lebih mudah, harus mempertimbangkan dampaknya. Jangan sekadar mengikuti tren, sementara fitur yang tersedia dalam alat komunikasi tersebut justru menjadi jalan lebar untuk mengakses situs porno.

Dunia dalam genggaman sang anak. Apa pun dapat mereka lihat dan ambil internet. Tanpa ada filter pendidikan dalam keluarga serta kepedulian orang tua, hal tersebut akan berdampak buruk tanpa disadari.

Kita sebagai orang tua tidak cukup hanya merasa galau, namun harus bertindak dengan mengambil peran yang besar dalam pendidikan mereka di rumah. Dapat dilakukan melalui pendidikan seksual sejak dini dan juga menerapkan nilai-nilai ajaran agama, yang diharapkan dapat membentengi anak dari perbuatan amoral yang menyesatkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar