Jumat, 08 November 2013

Kemaruk di Bea Cukai

Kemaruk di Bea Cukai
Said Aqil Siradj  ;  Ketua Umum PB NU
JAWA POS, 07 November 2013



SEORANG pengusaha kenalan saya mengumbar unek-uneknya kepada saya. Dia tergerak begitu ketika ada gegeran terbongkarnya kasus penangkapan pejabat direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Bagi dia, peristiwa tersebut bukan berita yang mengejutkan. Dia justru mempertanyakan mengapa baru sekarang penyelewengan di bea dan cukai diungkap. 

Saya sangat bersyukur Polri dan KPK berhasil menangkap pejabat bea dan cukai pelaku korupsi. Itu kemajuan yang sangat berarti. Padahal, kalau saya mengutip pernyataan mantan Ketua PPATK Yunus Husein, jaringan Ditjen Bea dan Cukai begitu kuat dan ''sakti'' sehingga laporan PPATK soal pejabat dengan ''rekening gendut'' sering kandas di tengah jalan, tidak sampai di pengadilan. Diungkapkan pula, permainan pejabat di Ditjen Bea dan Cukai tergolong lebih rapi daripada Ditjen Pajak. 

Antivirus Korupsi 

Begitulah, lagi-lagi keindonesiaan kita terusik oleh terbongkarnya kasus korupsi di Ditjen Bea dan Cukai. Sebelum-sebelumnya, kita merasa gerah dan marah atas ramainya berita penangkapan pejabat korup. Mereka yang ditahbiskan sebagai ''manusia setengah dewa'' yang menduduki posisi terhormat dan bahkan penting dalam penegakan hukum justru terjerumus dalam perilaku najis memuakkan.

Celakanya, kasus-kasus korupsi bagaikan kata peribahasa, patah tumbuh hilang berganti. Tak jera-jeranya orang melakukan praktik korupsi, kendati korupsi sudah dimasukkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sepadan dengan terorisme dan narkoba. Istilah fikihnya, korupsi sebagai jarimah kubro.

Bagaikan tidak beranjak sama sekali, negeri kita terus babak belur oleh virus korupsi. Itu pun masih selayaknya fenomena gunung es. Yakinlah, korupsi hasil operasi tangkap tangan (OTT) belum seberapa. Yang masih tersembunyi tinggal tunggu tanggal mainnya. Di sisi lain, penyelesaian hukum kasus-kasus korupsi ''kelas kakap'' belum jua tuntas dan malah nyaris tak terdengar lagi.

Kita, tampaknya, belum punya ''antivirus'' yang manjur untuk melenyapkan korupsi. Ada pula wacana untuk memiskinkan koruptor yang perwujudannya masih setengah hati. Hukuman mati yang diserukan pun masih terkendala untuk dilaksanakan. 

Aklu As - Suht 

Kasus korupsi pejabat bea dan cukai itu mengingatkan kembali pada pernyataan Ibnu Khaldun berabad lampau. Ibnu Khaldun pernah menjabat hakim yang menangani korupsi. Menurut penulis mahakarya al-Muqaddimah itu, korupsi terjadi sebagai akibat nafsu untuk hidup mewah dalam kelompok yang memerintah. Untuk memenuhi belanja kemewahan itulah kelompok yang memerintah terpikat dengan korupsi. Korupsi kelompok penguasa mengakibatkan kesulitan-kesulitan ekonomi dan pada gilirannya menjangkiti korupsi lebih lanjut.

Kini di tengah arus hyper-consumerism yang mengedepankan budaya superfisial dan pendangkalan makna hakiki, manusia akan lebih mudah diganggu rangsangan yang menyentuh langsung fungsi indrawi berupa berbagai jenis kenikmatan sesaat. Keinginan untuk meraih kemewahan dan kenikmatan tanpa batas itu melahirkan keserakahan akan kekayaan. Kekayaan diburu tanpa memedulikan apakah itu merugikan orang lain atau tidak, halal atau tidak. Karena itu, jalan korupsi menjadi pilihan yang menjanjikan. 

Cobalah kita simak, mereka sekelas pejabat yang melakukan korupsi sebenarnya secara penghasilan sudahlah memadai. Belum lagi fasilitas dan tunjangan yang diberikan begitu menggiurkan. Dihitung-hitung, take home pay mereka lebih dari cukup. Apalagi, pemerintah sudah menaikkan gaji pegawai negeri dalam rangka membentengi agar tidak terjadi korupsi. Tentu secara akal waras semua itu akan memberikan rasa nyaman, baik secara ekonomi maupun psikologis. 

Nah, jangan kaget bila terungkap seorang pejabat yang tertangkap korupsi selalu memiliki ''barang bukti'' selain rekening yang gemuk, yakni berjejer mobil mewah dan berbanjar rumah. Mobil dan rumah menjadi simbol kemewahan. Bukan itu saja, tambah harta juga tambah istri. Mereka royal sehingga artis, penyanyi dangdut, atau model dibuat takluk. Ya, harta berlimpah, nafsu makin buas. Harta, takhta dan wanita menjadi ''hasrat laten'' dalam diri manusia yang suatu saat bisa dilampiaskan manakala kesempatan ada di hadapannya.

Alquran menggambarkan perilaku koruptif manusia dengan istilah aklu al-suht, yaitu mereka yang suka memakan yang haram. Makna awal kata suht adalah sesuatu yang membinasakan. Ada ulama tafsir yang menafsirkan, kata suht mulanya digunakan untuk melukiskan binatang yang sangat rakus melahap makanan. Seseorang yang abai dari mana dia memperoleh harta dipersamakan dengan kelakuan binatang yang melahap rakus makanannya dan akhirnya binasa oleh perbuatannya sendiri.

Akhirnya, keberanian! Itulah harapan masyarakat. Penegakan hukum terhadap korupsi harus lebih tegas. Reformasi birokrasi tidak perlu tanggung-tanggung, rombak dan tuntaskan. Aparat penegak hukum perlu dibentengi dengan pengawasan dan penguatan mental-spiritual agar tidak mudah silap. Seperti melawan teroris, semua komponen bangsa harus bahu-membahu dalam menanggulangi korupsi.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar