Kamis, 07 November 2013

Kebijakan Pengupahan



Kebijakan Pengupahan
Rekson Silaban  ;   ILO Governing Body
KOMPAS, 07 November 2013

AKSI  demo buruh yang berlangsung akhir-akhir ini menciptakan beragam polemik dalam diskusi publik dan di media sosial.

Sebenarnya kebijakan pengupahan kita sudah jelas. Intinya, buruh harus dibayar sesuai ketentuan perundangan. Kalau masih lajang dan masa kerja di bawah satu tahun, dibayar dengan upah minimum yang ditetapkan di provinsi atau di kabupaten/kota. Penetapan upah minimum dilakukan pemerintah setelah menerima rekomendasi dari dewan pengupahan tripartit (pemerintah, Apindo, serikat buruh). Rekomendasi tripartit diperoleh setelah mereka melakukan survei terhadap 60 komponen upah minimum, seperti sandang; pangan; perumahan; sosial, dan lainnya. Mereka yang sudah bekerja di atas setahun harus dibayar di atas upah minimum dengan menggunakan skala upah yang harus dimiliki setiap perusahaan.

Kalau sudah ada sistem, kenapa setiap tahun ada demo, bukankah aspirasi buruh sudah terakomodasi oleh dewan pengupahan tripartit? Jawabannya: mekanisme di atas tak sepenuhnya terjadi. Banyak penyimpangan dan pengemplangan. Tingkat cakupannya rendah, begitu juga kepatuhannya. Akibatnya rawan konflik dan tak layak diteruskan sebagai sistem untuk merespons gugatan atas distribusi keuntungan yang tak adil, kesinambungan usaha dan pekerjaan. Justru sistem ini telah menawan hubungan industrial Indonesia tetap berada dalam kondisi tak harmonis. Perlu sistem pengupahan baru yang memuat empat indikator: adil, memiliki kepatuhan, mendorong keberlangsungan kerja dan usaha, berkontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja baru.

Upah layak versus upah minimum

Tuntutan kenaikan UMP 50 persen bagi banyak pengusaha dinilai tak masuk akal karena tak berdasarkan hasil survei. Pengusaha—khususnya eksportir manufaktur dan UKM—saat mengikat perjanjian kontrak kerja dengan pembeli asing tak pernah memprediksi akan terjadi kenaikan upah 94 persen dalam dua tahun berjalan (44 persen 2013 dan 50 persen 2014). Jadi apabila upah naik tinggi, pilihannya relokasi ke daerah yang sesuai kemampuan finansial mereka. Sementara bagi buruh, tuntutan itu masuk akal sebab bagaimana mungkin hidup layak di Jakarta dengan upah Rp 2,2 juta? Apalagi banyak buruh yang masih menerima upah di bawah upah minimum. Walaupun gerakan buruh juga harus ikut bertanggung jawab atas nasib ribuan buruh yang tahun ini kehilangan pekerjaan akibat kenaikan upah tinggi tahun ini.

Masalah utama yang mendasar di sini adalah keanehan dalam UU No 13/2003 (Pasal 8 Ayat 4) yang menyatakan: Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak. Inilah dasar yuridis buruh tetap menuntut upah layak. Tuntutan saat ini sudah bergeser dari upah minimum sebagai upah jaring pengaman menjadi upah kebutuhan hidup layak (KHL). Sejak awal sudah bisa dipastikan bahwa misi Pasal 8 tidak mungkin tercapai. Sebab, definisi hidup layak akan terus berubah sesuai asumsi tiap pihak. Misi pemenuhan hidup layak pun tak semata tugas pengusaha, tetapi juga pemerintah. Karena Pasal 27 Ayat (2) dalam UUD 45 memang menuntut pemerintah memberikan jaminan penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Sayangnya, UU No 13/2013 menerjemahkan janji konstitusi itu ke dalam 60 komponen upah. Dengan kata lain, apabila komponen ini sudah dipenuhi, buruh akan mendapat kehidupan yang layak sesuai amanat konstitusi.

Masalah terbaru adalah dengan menggunakan indikator 60 komponen tadi, UMP di Jakarta dan beberapa daerah lainnya sudah menerima upah di atas upah KHL, tetapi apakah buruh di daerah itu sudah hidup layak? Jawabnya tidak! Itulah sebabnya, buruh masih menuntut kenaikan upah hidup layak 50 persen, dengan menambah komponen hidup layak jadi 84. Tuntutannya sekali lagi secara hukum tak salah, tetapi sayangnya tak mungkin bisa dipenuhi semua pengusaha. Sebab 90 persen lebih pengusaha kita adalah UKM.

Kenaikan tinggi upah minimum memunculkan dilema tinggi bagi perusahaan ini. Di satu sisi kepatuhan terhadap regulasi adalah sesuatu yang diwajibkan pemerintah, tetapi di sisi lain persoalan upah buruh dirasakan menjadi berat, terutama untuk industri-industri padat karya. Kecuali pemerintah yang setuju kenaikan upah 50 persen ikut menanggung sebagian beban komponen ini. Tahun-tahun selanjutnya mungkin tuntutan KHL akan bergerak di atas 100 komponen dan konflik menjadi sesuatu yang tidak terelakkan apabila tidak ada perubahan sistem.

Konsep hidup layak sebenarnya konsep ideal, yang biasanya ditempatkan dalam sebuah cita-cita yang bersifat tekad, dalam dimensi jangka panjang. Konsep itu tak bisa diterjemahkan dalam bentuk angka. ILO sendiri mendefinisikan konsep hidup layak secara kualitatif, dituangkan dalam empat pilar: penghormatan atas hak buruh; jaminan sosial; pekerjaan yang produktif; sosial dialog. ILO tak menerjemahkan hidup layak dalam angka karena konsep hidup layak berspektrum luas, ideal dan terus berubah.

Kebijakan pengupahan baru

Untuk mengakhiri semua kerumitan ini, kita perlu meniru beberapa negara yang sudah lolos dari polemik ini, dengan membuat kebijakan pengupahan nasional yang baru. Inisiatif harus datang dari presiden atau menko ekuin karena kebijakan pengupahan bersinergi lintas departemen. Mereka harus menempatkan agenda ini sebagai prioritas. Segera digelar simposium nasional dengan mengundang para pakar, tripartit, ILO, LIPI, dan lainnya untuk mencari rumusan baru sistem pengupahan nasional. Kebetulan UU No 13/2003 mengharuskan kelahiran peraturan pemerintah soal pengupahan, sekalipun sudah 10 tahun diundangkan. 

Semua pihak menghendaki adanya kepastian karena ketidakpastian musuh utama ekonomi. Pebisnis tak menyukai ketidakpastian upah buruh, sebaliknya buruh tak menginginkan konflik tak berkesudahan.
China mampu membuat aturan upah minimum yang pas sehingga hampir 100 persen ditaati pengusaha. Penekanannya lebih ke upah minimum sektoral ketimbang regional. China memiliki rencana pengupahan nasional yang ditetapkan lima tahun sekali. Di Brasil upah minimum disederhanakan hanya dengan dua indikator; tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Karena upah riil yang diterima buruh diperjuangkan melalui mekanisme lain, yakni perundingan antara buruh dan majikan, upah minimum hanya sebagai jaring pengaman. Di dua negara tadi, hanya sedikit buruh dibayar dengan upah minimum, mayoritas di atasnya. Tak pernah ada demo menuntut UMP. Peran serikat buruh pun jadi sangat penting di tingkat perusahaan saat merundingkan upah. Sebaliknya di Indonesia, sistem yang tersedia membuat upah minimum jadi satu-satunya cara menaikkan upah buruh. Selain itu, mayoritas buruh dibayar di bawah UMP, sekalipun aturan dan sanksinya sudah jelas. Kalau ada sistem yang tak mampu mengakomodasi kepentingan konstituen, itu menandakan sistem itu tak layak diteruskan. Sebab, akar masalah bukan lagi karena lemahnya pengawasan, melainkan sistem itu sendiri perlu di-update setelah digunakan 40 tahun lebih.

Sejak upah minimum pertama kali di berlakukan, kita telah tiga kali memiliki sistem sebagai dasar penetapan upah minimum. Jadi tak ada alasan takut berubah. Pertama, berdasar konsep kebutuhan fisik minimum (KFM) yang berlaku 1969-1995; kebutuhan hidup minimum (KHM) yang berlaku 1996-2005, dan kebutuhan hidup layak (KHL) yang berlaku 2006 hingga sekarang. Kebijakan upah minimum pertama kali diperkenalkan awal 1970-an setelah dibentuknya Dewan Penelitian Pengupahan Nasional (DPPN) berdasarkan Keppres No 85/1969 dan Dewan Penelitian Pengupahan Daerah (DPPD) oleh pemda. Lahirnya Inpres No 9/2013 hanya membuat kisruh baru. Seiring kian dalamnya industrialisasi, gerakan buruh dan pengaruh politiknya menjadi sebuah keniscayaan. Manajemen politik harus diubah dengan mengakomodasi kepentingan pelaku hubungan industrial. Setelah kebijakan pengupahan lahir, sepatutnya langsung diikuti penetapan rencana ketenagakerjaan nasional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar