Jumat, 22 November 2013

Indonesia, Australia, dan Ancaman Perang Maya

Indonesia, Australia, dan Ancaman Perang Maya
Husein Ja’far Al Hadar Pengamat politik;
Direktur Riset Digi Digital House Jakarta
MEDIA INDONESIA,  21 November 2013



SEPERTI baru-baru ini ditulis Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan harian asal Inggris The Guardian, berdasarkan dokumen rahasia bocoran dari whistleblower asal Amerika Serikat (AS), Edward Snowden, badan intelijen elektronik Australia, Defence Signals Directorate, disebut telah menyadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Ani Yudhoyono, serta sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.

Tentu, laporan itu membuat Indonesia marah. Bahkan, sebelum pemerintah Indonesia menarik duta besar Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema, tanpa dikoordinasi, hacker negeri ini sudah menghujani dunia maya Australia dengan berbagai serangan deface.

Aksi saling serang seperti itu memang seolah sudah menjadi `hukum' di dunia maya yang sangat sensitif itu. Terlebih ketika yang diserang terlebih dulu adalah Indonesia, yang memang dikenal sebagai negara dengan sumber serangan siber terbesar di dunia dan salah satu yang paling disegani dalam dunia peretasan. Apa yang dilakukan hacker Indonesia itu pun sempat menjadi tajuk utama di beberapa situs berita besar dunia. Adapun pengamat telematika, Heru Sutiadi, menegaskan Indonesia patut mewaspadai terjadinya serangan balik ke situs-situs Indonesia, khususnya situs-situs pemerintah dan militer, yang pada akhirnya dapat bermuara pada terjadinya perang maya (cyber war).

Itulah paradigma baru tentang perang di masa depan, yakni perang maya, yang meruntuhkan paradigma lama (klasik) tentang perang dan juga pertahanan, serta membangun dan mengukuhkan aspek militer. Dengan begitu, tak mengherankan jika mantan Menteri Pertahanan AS, Leon Panetta, jauh-jauh hari L telah memperingatkan akan bahaya besar dari serangan `Pearl Harbor maya'. Bahkan, Joseph S Nye, mantan asisten Menteri Pertahanan AS, dalam karyanya yang berjudul The Future of Power, menyebut fenomena perang maya ini sebagai salah satu pergeseran politik terpenting abad ini. Pasalnya, negara-negara adikuasa seperti AS, Rusia, China, Inggris, Israel dan lainnya memang memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi ketimbang negara lain dalam konteks militer dan pertahanan, baik di darat, laut maupun udara. Termasuk soal nuklir. 

Namun, itu tak terjadi di dunia maya. Bahkan, negara-negara adikuasa itu bisa mendapat ancaman serius dari hacker nonnegara.

Era baru

Tren perang maya telah berlangsung beberapa tahun terakhir ini. Salah satu kasus terbaru, yakni yang dilakukan oleh Anonymous dalam aksi yang mereka sebut dengan istilah #OpIsrael, pada April lalu, dengan mengusung prinsip no army can stop an idea. April lalu dinobatkan oleh Anonymous sebagai waktu untuk menghapus Israel dari dunia maya dan sebagai simbol perlawanan atas ketidakadilan. Pasalnya, bagi mereka, Israel merupakan simbol arogansi politik kekuasaan yang kemudian menciptakan ketidakadilan global.

Di persimpangan zaman menuju era baru bernama era digital (digital age) seperti saat ini, dunia maya memang menjadi ranah baru yang meliputi berbagai aspek dari kehidupan manusia, baik yang bersifat positif-konstruktif (media publikasi, komunikasi, dll) maupun juga aspek negatif-destruktif (kriminalitas atau bahkan peperangan). Memang itulah dilema yang selalu seiring dengan hadirnya era baru, yang dalam konteks filsafat ilmu merupakan konsekuensi dari ketakbebasan nilai sebuah ilmu. Persis sebagaimana abad pertengahan yang membangun sakralitas, tapi juga memicu mitologi. Juga sebagaimana modernisme yang selain menghadirkan berbagai kemajuan, khususnya di bidang sains dan teknologi, juga menghadirkan berbagai chaos, termasuk bencana ekologis, ancaman perang nuklir, dan yang kini terbaru, yakni ancaman perang mayantara.

Awalnya, aspek negatif destruktif dari dunia maya itu berwujud sebuah tindak kriminalitas. Salah satu yang paling populer yakni penjebolan kartu kredit melalui jejaring online. Namun, sebagaimana aspek positif-konstruktifnya yang terus berkembang, aspek negatif-destruktifnya pun juga tak kalah berkembangnya. Kini, perangkat digital mulai tergiring pada terjadinya perang mayantara yang bukan lagi berada pada skala kriminalitas antarpersonal, melainkan peperangan dalam skala antarnegara. Termasuk kasus penyadapan Australia atas Indonesia yang bisa berujung ke sana jika tak segera diselesaikan secara politik di tingkat elite pemerintah.

Saat ini, serangan berbasis maya menjadi sebuah ancaman yang serius. Pasalnya, ber bagai sistem sebuah negara, dari keuangan, kesekretarisan hingga militer dan pertahanan, sebagian besar telah didigitalisasi (berbasis digital). Berbagai dokumen-dokumen penting dan rahasia dari sebuah negara tersimpan dalam format digital. Artinya, walaupun versi cetaknya mungkin masih disimpan dan ada, versi digitalnya bisa kapan pun dijebol dan dicuri oleh peretas dengan kegiatan hackism (peretasan).

Uji kemampuan

Ancaman itu menjadi kompleks karena kegiatan peretasan itu bukan hanya bisa dan biasa dilakukan oleh peretas di sebuah negara, melainkan juga peretas nonnegara dengan berbagai motif. Mereka melakukannya dari yang sekadar iseng-iseng menguji kemampuan secara pribadi hingga upaya untuk meneror sebuah negara atas landasan kebencian, ideologis, dan lainnya.

Apalagi, pada kenyataannya, tak butuh perangkat dan biaya besar untuk melakukan itu bagi setiap peretas. Pasalnya, dalam ranah digital, yang berpengaruh bukanlah anggaran (biaya) yang tinggi ataupun perangkat yang kompleks, melainkan kemampuan peretasan yang memadai. Yang dilakukan oleh hacker Indonesia secara tiba-tiba dan tanpa koordinasi ataupun restu pemerintah itu salah satunya.

Oleh karena itu, terkait dengan kasus penyadapan Australia dan serangan hacker Indonesia, secara politik, pemerintah kita harus secara serius dan cepat menyelesaikan masalah ini di tingkat diplomasi tegas. Hal itu dilakukan agar kasus yang sebenarnya berada di tingkat negara dan elite ini tak sampai `turun' memprovokasi masyarakat umum (khususnya kalangan hacker) sehingga memicu kerumitan yang bermuara pada perang maya antarperetas tiap-tiap negara, atau bahkan dua negara (Australia dan Indonesia).

Dalam konteks jangka panjang dan global, ada baiknya kasus itu menginspirasi pemerintah kita untuk mendorong seluruh negara guna membangun komitmen bersama agar tak hanya membangun sistem berbasis maya yang memajukan, tapi juga sistem (khususnya hukum) yang menjamin terhindarnya dunia global dari ancaman perang mayantara, selain itu, guna terajutnya perdamaian. 

Pasalnya, jika tidak, belum selesai ancaman perang militer dan nuklir mengintai, kita akan dihadapkan pada ancaman perang baru yang bahkan akan lebih mengerikan, yakni perang mayantara itu sendiri. Itu berarti bahwa perdamaian akan semakin jauh dari dunia kita ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar