Selasa, 12 November 2013

Guru Besar dan Jurnal Ilmiah

Guru Besar dan Jurnal Ilmiah
Sulardi  ;   Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
KOMPAS,  11 November 2013



Menjadi guru besar sebagai jabatan fungsional akademik tertinggi dalam dunia akademik merupakan keinginan setiap pengajar di perguruan tinggi. Untuk sampai ke sana, seorang dosen harus menjalankan tridarma perguruan tinggi dengan angka kredit mencapai 850-1.050.

Untuk mencapai jabatan guru besar, sejak tahun 2005 berlaku persyaratan bahwa seorang guru besar perlu kualifikasi akademik doktor (Pasal 48 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Sebelumnya, untuk mencapai jabatan akademik guru besar cukup berijazah S-1 atau S-2 asal telah memperoleh jumlah angka kredit 850-1.050.

Tahun 2009, Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional−—sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan—menerbitkan Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Fungsional Dosen ke Lektor Kepala atau Guru Besar. Dalam pedoman ini, untuk menjadi guru besar bisa dengan cara melompat, yakni dari jabatan asisten ahli/lektor kepala ke guru besar atau secara reguler dari lektor kepala ke jabatan guru besar.

Pembeda antara kenaikan jabatan fungsional secara melompat dan reguler adalah jumlah karya ilmiahnya. Untuk melompat, seseorang harus memenuhi syarat tridarma perguruan tinggi dan penunjang sesuai jumlah yang ditentukan, yang di dalamnya terdapat empat karya ilmiah pada jurnal nasional terakreditasi atau dua karya ilmiah pada jurnal ilmiah internasional bereputasi. Untuk kenaikan jabatan fungsional guru besar secara reguler cukup satu karya ilmiah pada jurnal nasional terakreditasi atau satu karya ilmiah pada jurnal internasional bereputasi.

Persyaratan karya ilmiah pada jurnal internasional bereputasi bersifat alternatif. Artinya, seseorang tetap bisa menduduki jabatan fungsional guru besar sepanjang memiliki karya ilmiah yang dimuat pada jurnal nasional terakreditasi atau jurnal ilmiah internasional bereputasi.

Empat tahun kemudian, tepatnya berdasarkan Pasal 26 Ayat (4) Huruf c Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya, dinyatakan bahwa ”kenaikan jabatan akademik dosen untuk menjadi profesor wajib memiliki karya ilmiah yang diterbitkan jurnal internasional bereputasi”.

Ini berarti ada perubahan persyaratan dari pemuatan di jurnal internasional bereputasi yang semula bersifat alternatif kini menjadi wajib.

Perubahan persyaratan itu sesungguhnya tidak begitu menyulitkan bagi para doktor, tetapi justru menunjukkan ketergantungan kalangan akademik negara ini terhadap termuatnya karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi.
Karena pada kenyataannya sebagian besar jurnal internasional bereputasi dikelola oleh program studi atau asosiasi di luar negeri, bisa disimpulkan bahwa bangsa ini belum percaya diri terhadap kualitas jurnal nasional terakreditasi yang dimiliki. Artinya, belum mengakui bahwa jurnal nasional yang diakreditasi oleh Ditjen Dikti sejajar dengan jurnal internasional.

Ilmuwan membumi

Menjadi ilmuwan, termasuk guru besar, berkewajiban akademik sekaligus moral untuk menyumbangkan karya-karyanya untuk kemajuan bangsa dan negara. Dari titik inilah sering kali dalam pidato pengukuhan guru besar muncul pesan agar guru besar tidak ragu melepas alas kakinya agar menjadi guru besar yang membumi, guru besar yang karya-karyanya bermanfaat untuk kemajuan masyarakat di sekitarnya sesuai bidang ilmu kegurubesarannya.

Jika Kemdikbud mensyaratkan menjadi guru besar wajib memiliki karya ilmiah dalam jurnal internasional bereputasi, syarat tersebut justru kontraproduktif dengan semangat melahirkan guru besar yang membumi. Syarat adanya jurnal internasional bereputasi justru akan melahirkan guru besar-guru besar yang melangit, yang hanya berkutat pada perdebatan ilmiah dalam tataran ”langitan” agar laporan ilmiahnya dimuat pada jurnal 
internasional.

Jumlah karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi tidak berdampak signifikan terhadap pemanfaatan keilmiahannya bagi masyarakat, nusa, dan bangsa. Bukankah akan terasa bermanfaat bagi bangsa ini apabila temuan-temuan guru besar di bidang agronomi, misalnya, bisa membantu para petani Indonesia menghasilkan produk unggul?

Jika petani mampu menghasilkan kedelai berkualitas, −tentu produk tersebut bisa dijual dengan harga yang pantas pula. Bukankah yang sejahtera tidak hanya petaninya, tetapi juga perajin tempe-tahu di Tanah Air? Demikian halnya dengan temuan pada tanaman lain, misalnya tebu, gula, beras, buah, dan sayuran.

Hal yang sama berlaku pula untuk guru besar dan calon guru besar di bidang ilmu lain. Seorang guru besar akan membumi apabila karyanya memberikan sumbangsih langsung untuk perkembangan dan kemajuan masyarakatnya.

Oleh karena itu, jika pemerintah menghendaki lahirnya guru besar-guru besar yang membumi, hargailah karya-karya mereka yang bermanfaat langsung bagi kemajuan bangsa dan negara. Jangan biarkan para calon guru besar itu memohon-mohon kepada pengelola jurnal internasional (asing) agar bersedia memuat karya ilmiah mereka dan akhirnya malah terjebak pada jurnal yang tidak bereputasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar