Senin, 04 November 2013

Ekonomi Kolaboratif Ekonomi Gotong-Royong

Ekonomi Kolaboratif Ekonomi Gotong-Royong
Firmanzah  ;   Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
KORAN SINDO, 04 November 2013

Keberhasilan membangun Jembatan Tol Bali (Tol Mandara) menjadi tonggak perubahan paradigmatik skema kerja sama pembangunan dan sistem ekonomi di Indonesia. Saya menyebut perubahan paradigmatik karena sifatnya mendasar dan fundamental. 

Pembangunan yang didasarkan pada skema kolaborasi serta kemitraan strategis, bukan skema persaingan atau kompetisi. Jembatan tol tersebut diwujudkan melalui kolaborasi dan strategic partnership antara pemerintah pusat-daerah, BUMN dan BUMD. Sinergi ini tercermin dari kepemilikan PT Jasa Marga Bali Tol selaku badan usaha jalan tol, di mana PT Jasa Marga (Persero) Tbk memiliki porsi saham 60%, PT Pelindo III (Persero) 20%, PT Angkasa Pura I (Persero) 10%, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 5%, PT Adhi Karya (Persero) Tbk 2%, PT Hutama Karya (Persero) Tbk 2%, dan PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) 1%. 

Saya memandang Indonesia saat ini sangat membutuhkan ekonomi kolaboratif dalam semua tingkatan baik di tingkat kebijakan, penguatan industri nasional, pembangunan infrastruktur, maupun pemberdayaan masyarakat. Terlebih konsep dan skema kolaboratif sebenarnya berakar dari semangat kolektif bangsa ini yaitu gotong-royong. Dalam skema gotong-royong, masing-masing aktor baik individu maupun organisasi berkontribusi sesuai kemampuannya mewujudkan kepentingan lebih besar. 

Semangat kolaboratif dan gotong-royong tidak bersifat memaksa, tetapi tidak juga menjadikan para aktor ekonomi bersikap acuh-tak-acuh dan free-rider untuk wujudkan tujuan kolektif. Semangat kolaboratif dibangun atas kesadaran kolektif terhadap pentingnya saling dukung dan bukan saling jegal. Ego sektoral menjadi sangat tidak relevan dalam sistem ekonomi kolaboratif. Terlebih saat ini kebutuhan anggaran dalam MP3EI tidak semua dapat dibiayai APBN. 

Dari Rp4.000 triliun anggaran MP3EI antara 2011-2014, pembiayaan dari swasta sebesar 49%, pemerintah 12%, BUMN 18%, dan campuran 21%. Meski begitu, dalam tataran implementasi, semua pihak termasuk pemerintah daerah dan BUMD diharapkan dapat proaktif baik dalam pengusulan, perancangan, sampai pengerjaan proyek infrastruktur. Sekali lagi semangat kolaborasi baik yang tercermin dalam upaya kolektif penghapusan hambatan investasi, pembentukan konsorsium dan badan usaha bersama perlu terus kita dukung bersama. 

Hanya melalui semangat kebersamaan dan saling dukung inilah target percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur di Indonesia dapat kita capai bersama. Kembali ke proyek pembangunan Jalan Tol Bali, saya mengandaikan apabila tidak ada skema kolaboratif untuk membangun Jembatan Tol Bali dengan panjang sekitar 12,7 km, akan sulit kita wujudkan. Pembangunan tol di atas laut yang menghubungkan Bandara Ngurah Rai dengan Nusa Dua dan Benoa itu hanya membutuhkan waktu 14 bulan. 

Kolaborasi dan sinergi yang ditunjukkan selama perencanaan dan pembangunan proyek infrastruktur ini dapat menjadi best-practice bagi proyek pembangunan lain di Indonesia. Dalam sistem kolaborasi dan gotong-royong dimungkinkan ada kerja sama, partnership, dan sharing resources antarpelaku ekonomi. Skema ini menjadi sangat penting ketika sebuah sistem entah itu negara, provinsi, kabupaten/kota, perusahaan (BUMN, swasta, koperasi), atau bentuk organisasi lain memiliki keterbatasan sumber daya. 

Sementara kebutuhan pembangunan sangat tinggi dan perlu dukungan semua pihak. Karena itu, percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur di Indonesia hanya akan terakselerasi pembangunannya ketika ini ditunjang oleh segenap pelaku ekonomi. Kolaborasi antara pemerintah pusat-daerah serta dunia usaha sangat diperlukan untuk mempermudah perizinan, pembebasan lahan, penguatan struktur permodalan, serta pengerjaan teknisnya. 

Saat inikitaperlulebih banyak lagi bandara udara, jalan tol, air bersih, bendungan, rel kereta api, pelabuhan, dan industrialisasi yang dipercepat pembangunannya. Saat ini semangat kolaboratif dan gotong-royong telah menemukan kembali arti penting di Indonesia. Selain pembangunan jembatan tol di Bali, semangat ekonomi kolaboratif dan gotong-royong juga tercermin pada komitmen 140 BUMN untuk menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. 

Tanda tangan nota kesepakatan dilakukan pada Senin (21/10) di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sehingga pada 1 Januari 2014, seluruh karyawan BUMN otomatis menjadi peserta BPJS kesehatan dan diharapkan dapat memperkuat lembaga BPJS kesehatan. Iuran BPJS kesehatan dari BUMN diharapkan dapat memperkuat struktur permodalan lembaga BPJS kesehatan dan yang terpenting dapat menyubsidi silang dengan mereka yang membutuhkan. 

Komitmen penggabungan 140 BUMN merupakan bukti ekonomi kolaboratif dan gotong-royong di Tanah Air telah menemukan kembali arti penting sebagai komplemen dari skema persaingan atau kompetisi. Semangat kolaboratif antara pemerintah pusat-daerah dan dunia usaha juga dilakukan baru-baru ini. Kesadaran kolektif untuk meningkatkan kemandirian pangan yang membutuhkan kerja sama dan koordinasi di tingkat implementasi antara pusat-daerah dan dunia usaha terus ditingkatkan. 

Baik pemerintah pusat maupun daerah serta dunia usaha saling berbagi tugas dan berkontribusi untuk meningkatkan produksi pangan terutama pada lima komoditas strategis yaitu beras, gula, kedelai, jagung, dan daging sapi. Untuk meningkatkan kemandirian pangan, di Bukittinggi telah ditandatangani komitmen pencapaian sasaran dan rencana aksi ketahanan pangan oleh 12 menteri, 12 gubernur, dan Kadin Indonesia. 

Melalui semangat kolaboratif dan gotong-royong ini, kita tentu optimistis kemandirian pangan Indonesia ke depan akan menjadi lebih kuat dan berdaya tahan. Sistem kolaboratif dan gotong-royong semakin kita butuhkan mengingat tantangan yang dihadapi Indonesia ke depan menjadi tidak lebih sederhana. Perekonomian Indonesia akan dihadapkan pada tatanan ekonomi global dan kawasan yang semakin terintegrasi, interdependensi, dan penuh ketidakpastian. 

Sementara di dalam negeri kita semakin memerlukan stabilitas dan resiliensi untuk menghadapi setiap gejolak ekonomi yang bersumber dari eksternal. Penguatan jejaring produksi nasional, konektivitas, pencapaian MDGs, daya saing nasional, serta perluasan ekspansi perusahaan nasional ke pasar luar negeri semakin membutuhkan koordinasi, komunikasi, dan kerja sama lintas sektoral. Menciptakan dan membangun ekonomi kolaboratif dan gotong-royong tidak dapat dilakukan apabila setiap pelaku ekonomi at all cost untuk kepentingan sendiri. 

Tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap kepentingan yang lebih luas. Semangat dominatif atas yang lain harus dikurangi dan digantikan dengan semangat keterbukaan, saling memahami, serta berkontribusi. Inilah yang dilakukan sejumlah negara seperti Jepang dan Korea Selatan untuk memperkuat struktur industri dalam negeri serta ekspansinya ke pasar regional-global. Dengan bekal nilai-nilai gotong-royong yang diwariskan oleh pendiri bangsa, kita optimistis akan lebih banyak lagi bentuk-bentuk kerja sama sebagai manifestasi ekonomi kolaboratif di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar