Rabu, 20 November 2013

Dekonstruksi Otonomi versi Elite

Dekonstruksi Otonomi versi Elite
Robert Endi JawengDirektur Eksekutif KPPOD
KOMPAS,  20 November 2013
  

MESKI pernah ikut dibahas, pemekaran Luwu Tengah dari Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, akhirnya tidak masuk dalam daftar 65 calon daerah otonom baru usulan DPR baru-baru ini.

Reaksi keras muncul dari barisan ”pejuang” pemekaran. Mereka menuding ada elite lokal tak serius bahkan memanipulasi aspirasi yang diperjuangkan masyarakat Walenrang-Lamasi (Walmas) sejak 2005 itu. Konteks persaingan keras dalam pilkada yang digelar belum lama berselang dilihat sebagai latar kasus yang kini mengambil bentuk ulangannya dalam kontestasi politik pemekaran. Kerusuhan pun pecah, hingga memakan korban nyawa, disertai aksi blokir jalan yang melumpuhkan jalur Trans-Sulawesi beberapa saat.

Pemekaran daerah, seperti halnya pilkada, merupakan dua sisi dari keping retak desentralisasi. Keduanya mewakili gambaran kerja desentralisasi yang sejauh ini lebih jadi palagan para elite berlaga  ketimbang struktur kesempatan baru bagi rakyat buat mengelola daerahnya secara otonom. Elite seolah punya versi otonominya atau sewenangnya menafsirkan dan mendesakkan kepentingannya. Rakyat pun nyaris konstan menjadi bidak dan tumbal yang tak jarang berujung pengorbanan nyawa dalam setiap konflik yang disulut para pemimpin mereka.

Koreksi mendasar

Sebagai sistem, tentu desentralisasi tak boleh ditarik pulang, termasuk melalui jalan resentralisasi parsial yang sedang dicoba pemerintah dalam momentum revisi UU Pemerintahan Daerah saat ini. Di beberapa daerah, meski baru sedikit jumlahnya, di setidaknya 50 daerah (sekitar 10 persen dari total 505 kabupaten/kota yang ada), tuah desentralisasi sudah terlihat jelas dalam kebijakan lokal inovatif yang menghasilkan perbaikan nyata layanan publik dan kehidupan ekonomi. Lebih dari itu, masih banyaknya masalah otonomi hari ini justru lebih disebabkan tidak serius dan tamaknya para elite politik dan birokrasi sebagai pemangku otoritas.

Jadi, bukan sistem yang mesti dikoreksi dan bukan pula tingkat ke(tak)cerdasan rakyat kebanyakan yang disalahkan. Koreksi atas otonomi bermasalah mestinya terutama adalah koreksi atas perilaku, komitmen, dan kemampuan elite itu sendiri. Sebagai sebuah produk kebijakan negara dan melibatkan kontestasi politik, para elite memegang determinasi perubahan atau sebaliknya sebagai biang petaka. Dalam pembacaan demikian, segala langkah perbaikan dan penataan ke depan mesti melingkupi dan bertitik tolak dari sejumlah hal berikut.

Pertama, otoritas yang menumpuk dan berpusat di segelintir elite, khususnya kepala daerah, telah membuat otonomi menjadi laga rebutan para power-and-rent seekers. Kalau seseorang kalah dalam pilkada, dia lalu menggerakkan pendukungnya dan melobi elite Jakarta untuk pemekaran daerah. Langkah lain, dia akan terus mengganggu kandidat terpilih, tidak selalu untuk menjatuhkan, tetapi sebagai upaya tawar-menawar kekuasaan dan alokasi rente ekonomi. 
Daerah menjadi riuh dengan segala kegiatan politik dan manuver kekuasaan yang tak punya kaitan apa pun dengan urusan kemaslahatan publik.

Agar otonomi tidak lalu merosot jadi otonomi elite atau otonomi bupati/wali kota yang justru menciptakan mikrosentralisasi baru di daerah, distribusi kekuasaan (skema devolusi) harus lebih terbuka secara horizontal (reposisi DPRD) dan vertikal (reformasi lini fungsional dalam birokrasi dan lini kewilayahan berupa desentralisasi kecamatan). Hemat saya, kian menyebar pusat-pusat kekuasaan yang ada di aras lokal, arena kontestasi dan wilayah edar elite politik menjadi terdiversifikasi. Hal itu juga secara politik mendorong keseimbangan kekuasaan dan secara manajerial menjadi mekanisme pembagian kerja yang niscaya dalam sektor publik yang kini amat kompleks.

Kedua, otonomi elite menjadi lebih terkendali jika ruang deliberasi publik diperkuat. Sesungguhnya, esensi otonomi kita adalah menjadikan rakyat berdaya sebagai warga otonom, bukan malah desentralisasi pemerintahan yang sekadar menggeser sentralisasi Jakarta (makrosentralisasi) ke pusat-pusat kekuasaan baru di daerah, atau macet sebagai agenda instrumentalis semata. 

Selama ini, rakyat bukannya tak terlibat, melainkan umumnya bergerak atas dasar mobilisasi dan tak terinstitusionalkan. Prasyarat keberdayaan rakyat bukan semata perihal kecerdasan, melainkan tersedianya kelembagaan otonom mewadahi proses deliberatif.

Ketiga, akhirnya, determinasi elite dan ketergantungan rakyat adalah tanda gagalnya pembangunan itu sendiri. Tipologi konflik di tingkat lokal menunjukkan sebaran dan intensitas yang tinggi umumnya terjadi di daerah yang secara ekonomi berprofil buruk. Politik menjadi keras dan rakyat cenderung irasional jika lapangan kerja minim, akses kesejahteraan tertutup, ketakadilan sosioekonomi akut. Bahkan rente merajalela tumbuh subur di daerah kumuh dan berpemerintahan tertutup.

Kerangka dasar penataan jelas terkait strategi pembangunan. Otonomi menuntut pergeseran model pembangunan yang didominasi negara/pemda (state-centric development) versi rezim otokrasi-sentralistik ke kesempatan luas bagi masyarakat (swasta). Kapasitas fiskal pemda sesungguhnya lemah untuk jadi sumber pertumbuhan, bahkan jika inefisiensi dan korupsi berhasil mereka tekan. 

Maka, tantangannya adalah bagaimana membangun daerah berbasis investasi produktif dan inklusif, dengan pemda memberi stimulasi ekonomi ataupun fasilitasi pelayanan usaha yang menjamin iklim investasi dan daya saing yang kuat.

Termasuk dalam strategi besar ini adalah perubahan kerja sektor publik. Dalam kasus pemekaran, sebagaimana ditulis Jaweng (”Pemekaran dan Cacat Bawaan”, Kompas, 24 Juni 2013), gencarnya tuntutan di sejumlah wilayah jelas tak lepas dari ikhtiar merebut negara itu sendiri: persisnya distribusi barang publik yang diproduksi negara. Terasa sekali negara nyaris absen dalam kehidupan nyata mereka, baik instrumen fiskal maupun pelayanan publiknya. Kalaupun hadir di tingkat lokal, aksentuasinya melalui distribusi barang publik (rumah sakit, jalan berkelas, dan lain-lain) selalu hadir mengikuti logika hierarki pemerintahan.

Di sini, level ketersediaan pelayanan publik tidak bertujuan menjawab kebutuhan/permintaan layanan dari warga, tetapi sekadar menyesuaikan dengan penjenjangan level kewilayahan atau status sebagai ibu kota. Jadi, memperjuangkan pemekaran dan merebut ibu kota adalah perjuangan menghadirkan negara dan akses atas distribusi sumber daya/barang publik yang dialirkan dalam logika birokratis tadi. Rasionalitas kebijakan dan politik pelayanan publik ini wajib dikoreksi.

Catatan akhir

Jelas, tafsir ulang otonomi agar bebas dari hegemoni pemaknaan dan desakan kepentingan para elite tak bisa hanya dengan membatasi ruang gerak mereka, apalagi sekadar imbauan moral. Jalan resentralisasi yang sering kali menjadi solusi panik pemerintah juga sama sekali tak menolong kehadiran perubahan. Suatu dekonstruksi mesti diupayakan, melalui koreksi mendasar atas politik desentralisasi dan pembangunan itu sendiri.

Revisi UU Pemda berada pada konteks tantangan demikian. Perdebatan legislasi di DPR tidak boleh sebatas isu-isu artifisial. Para penyusunnya juga harus bebas dari sindrom rabun jauh yang membuat mereka lekas pendek akal. Konflik lokal, entah dalam pilkada atau pemekaran, ataupun segala masalah serius otonomi lainnya harus menjadi pelajaran untuk lebih serius menata otonomi, tidak justru membonsai dan menariknya kembali yang malah kontraproduktif.                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar