Sabtu, 09 November 2013

Bandung Kota (Tanpa) Festival?

Bandung Kota (Tanpa) Festival?
Matdon  ;   Rois ‘Am Majelis Sastra Bandung
KORAN SINDO, 07 November 2013


Selama 23 tahun Lapangan Gasibu Bandung dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai ruang terbuka untuk berjualan, hiruk-pikuk manusia setiap hari minggu itu konon meraup omzet miliaran rupiah. 

Di sana ada pedagang, pembeli, orang berolah raga, kuliner, musik, dan berbagai kegiatan manusia, berbaur menjadi satu. Inilah “festival” yang sesungguhnya, di mana masyarakat berkumpul dan bergembira pada saat yang bersamaan. Di sana ada banyak orang berkomunikasi. Ada keterlibatan emosi warga, atmosfernya sangat terasa, serta muncul gairah hidup dan perasaan gembira. 

Sebab, sebuah festival adalah berkumpulnya kegembiraan masyarakat dalam acara yang di dalamnya ada musik, perniagaan, sastra, seni, dan atau apapun. Kemudian Pemprov Jawa Barat menyulapnya menjadi - katanya - ruang publik yang baru, untuk berolah raga, jalan santai, dan bermain. Dengan dana Rp7 miliar pemprov menginginkan setiap hari Gasibu menjadi ruang publik yang dipagar besi dan terkunci. Kini hari minggu tak ada PKL di sana. 

Lenyap. Maka hilanglah satu “Festival Rakyat” di Kota Bandung. Satu-satunya festival yang dimiliki tinggal Festival Film Bandung (FFB), selebihnya belum dinamakan Festival. Lalu Braga Festival, Balkot Festival, Dago Festival, dan berbagai nama festival di Bandung apakah belum layak dinamakan festival? Mungkin sudah mungkin juga belum, karena berbagai macam faktor, misalnya, karena event-event tertentu tidak melibatkan “kegembiraan” dan “emosi” rakyat melainkan kegembiraan panitia. 

Atau mungkin hanya komunitas tertentu saja yang menikmati event tersebut, bukan salah penyelenggara sebenarnya, tapi lantaran yang namanya festival itu sulit direalisasikan sehingga penataannya harus profesional, dan tidak asal sukses. Kesuksesan satu festival adalah bagaimana event itu merasuk ke jiwa rakyat dan menjadi bahan pembicaraan. Masalah negatif atau positif sebuah eventtentu saja ada dan itu sangat wajar. 

Memang dalam wikipedia disebutkan, Festival biasanya berarti “pesta besar” atau sebuah acara meriah yang diadakan dalam rangka memperingati sesuatu. Atau juga bisa diartikan dengan hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting atau bersejarah, atau pesta rakyat. Jenis festival di antaranya festival film, festival musik, festival makanan, festival seni, festival budaya dan lainlain. Tapi itu harus rutin digelar setiap tahun. 

Di Bandung banyak “Festival” yang direncanakan rutin tapi gagal, sebut saja Bandung Dance Festival, Festival Sastra, Pasar Seni ITB (sebuah pertemuan seni musik, sastra, tradisi, niaga) yang penyelenggaraannya tersendat-sendat. Ada festival musik, festival monolog, Festival Teater, Dago Festival yang kemudian wafat. Kita sempat juga mengenal Kemilau Nusantara yang tak karuan itu, Helarfest yang tak jelas kemana lagi. 

Kini kita berharap pada Braga Festival yang tiap tahun sudah rutin digelar, namun pengemasannya yang masih hanya “memuaskan” panitia bukan rakyat. Karena inti sebuah festival adalah rakyat. Braga Festival belum cukup menjadi ciciren festival yang permanen karena belum menjadi kekuatan utuh bahwa itulah festival Kota Bandung. Belum utuh seperti Festival Jember misalnya. 

Semua penyelenggaraan tersebut tidak gagal, tetapi belum menjadi trademark yang mentradisi, seperti festival di Solo, Bali, Yogyakarta, atau kota-kota lain di Indonesia. Ya, festival adalah rasa syukur komunitas manusia di antara penat pekerjaan. Seperti lanskap tubuh yang harus diurus agar indah, festival mempertontonkan estetika hati manusia secara teratur dan tentu saja ini merupakan kekayaan budaya yang sangat mahal bagi sebuah kota di dunia. 

Festival juga mampu menyadarkan manusia bahwa mereka adalah makhluk sosial. Sebuah festival harus lahir dengan tema besar atau pun kecil yang merangkum semua festival yang sudah ada, tentu dengan pengelolaan lebih baik. Kini di Lapangan Gasibu sudah tak ada lagi “Festival”, semoga gubernur mampu melahirkan lagi ruang “festival” yang lain di sana. 

Sebuah potret festival yang hilang setelah 23 tahun lamanya. Jika saja Bandung memiliki festival besar yang permanen, sudah dapat dipastikan hal itu akan menjadi peradaban dahsyat, gambaran kebudayaan yang jernih. Sebab, festival merupakan pekerjaan bersama perorangan, lembaga, lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa, pedagang, rakyat, dan pemerintah. Festival harus menjadi tujuan peradaban dan kebudayaan yang dapat menyirami, memelihara, dan tumbuh menjadi salah satu ikon Kota Bandung. 

Festival asalnya dari rakyat, tapi kini mau tidak mau pemerintah harus turun tangan. Harus segera membangun semua kekuatan dan membangun atmosfer festival itu sendiri. Hal yang paling penting adalah konsistensi penyelenggaraannya. Nah! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar