Minggu, 30 Oktober 2011

Kegilaan Dunia Baru


Kegilaan Dunia Baru
Haedar Nasher, KETUA PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH
Sumber : REPUBLIKA, 28 Oktober 2011




Terganggukah para ilmuwan dan pemimpin di berbagai belahan dunia dengan tragedi Libya dan negeri-negeri Timur Tengah saat ini? Mestinya tak ada kegelisahan yang paling membuncah bagi para pencari kebenaran, keadilan, dan kebaikan universal kecuali menyaksikan tumbangnya rezim-rezim kekuasaan di Timur Tengah secara tragis dan mengenaskan yang melibatkan aliansi Amerika Serikat dan NATO yang bernafsu mengekspansi.

Kediktatoran Saddam Hussein, Husni Mubarak, Muamar Qadafi, dan pemimpin-pemimpin dunia Arab lainnya yang kini juga tengah diguncang memang naif dan inilah barangkali kereta terakhir transisi politik dari sistem otoritarian menuju demokrasi. Bahwa tumbangnya para tiran di Timur Tengah itu merupakan wujud perlawanan dari rakyatnya, juga tidak terbantahkan. Namun, menyaksikan agresivitas para pemimpin negara-negara sekutu Barat untuk mengintervensi dan menjatuhkan rezim negeri-negeri lain yang sesungguhnya berdaulat, sungguh merupakan bentuk kediktatoran lain yang tidak kalah naif dan destruktif.

Demikian halnya soal ketragisan terbunuhnya Muamar Qadafi, yang meski dilakukan oleh tangan-tangan anak negeri Libya, tetapi ruang politik yang menyertainya tidak lepas dari angkara serdadu-serdadu sekutu yang menularkan virus keganasan perang dan invasi. Diktator pun seolah tak layak mati wajar, dia harus terbunuh atau dibunuh dengan keji, padahal di belahan negeri-negeri yang konon mengklaim beradab watak-watak dan praktik-praktik kediktatoran tetap bertakhta dan menularkan perangainya ke seluruh jagad. 

Kita tidak menemukan bagaimana para pemimpin negara adidaya itu tidak memperagakan watak dan perilaku kepemimpinan yang otoritarian terhadap pemimpin negeri-negeri lain yang dianggapnya dunia ketiga atau periferal. Hitam-putihnya dunia, mana benar dan mana salah, mana baik dan mana buruk, mana yang berhak naik takhta, dan mana yang harus digulingkan seolah milik negara-negara adidaya, baik melalui atau tanpa keabsahan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sudah tersandera lama.

Ironi dan tragedi
Beginikah wajah dunia abad ke-21 yang diagung-agungkan bertumpu pada demokrasi, hak asasi manusia, dan nilai-nilai universal modernitas? Para pejuang demokrasi dan hak asasi manusia begitu sensitif pada peristiwa-peristiwa lain yang dianggap melanggar demokrasi dan hak asasi manusia. Tetapi, mereka banyak bungkam dalam menyikapi tragedi dijatuhkan dan kematian Muamar Qadafi yang mengenaskan, invasi Irak yang luluh lantak hingga saat ini, dan bara kekacauan tak berkesudahan di Afghanistan.

Belum untuk berbagai kesewenang-wenangan lain yang sering kali bersembunyi di balik otoritas PBB seperti penindasan rakyat Palestina di tangan kekejaman Israel yang selalu mendapat restu negara-negara adidaya. Di mana tatanan dunia yang adil dan berkeadaban sebagaimana sering didengungkan oleh para pemimpin dan diplomat dunia saat ini?

Irak, Libya, Afghanistan merupakan contoh dari ladang pembantaian manusia dan kedaulatan negara atas nama demokrasi dan hak asasi manusia yang absurd. Inilah tragisme dunia modern dan postmodern yang tidak jauh beda dan seolah merupakan penjelmaan baru dari Auschwitzt. Sebuah peristiwa keganasan Perang Dunia II yang dilakukan Nazi Jerman yang membantai lebih dari 1,5 juta Yahudi di kamp konsentrasi dan kamp pemusnahan, sekaligus lambang dari kegagalan proyek modernisme di Barat. 

Kini, yang dilecehkan dan diruntuhkan, bukan lagi modernisme tetapi juga dunia postmodernisme yang pada awalnya ingin mengoreksi kegagalan modernisme, namun bungkam dalam menghadapi banyak tragedi yang terjadi di belahan dunia saat ini. Narasi-narasi indah politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan keadaban hubungan internasional sekadar pembungkus manis dari tindakan-tindakan barbar yang masif dan sistematik.

Hasil akhirnya sama: nyawa-nyawa tak berdosa berjatuhan dengan murah, negeri-negeri berdaulat dihinakan dan dijatuhkan tanpa ampun. Lalu, dari reruntuhan yang mengenaskan itu, bercokol rezim-rezim baru yang menjamin pelanggengan kepentingan politik dan ekonomi negara-negara adidaya.

Auschwitz adalah nama yang digunakan untuk mengidentifikasi tiga kamp konsentrasi dan pembantaian oleh Jerman Nazi. Nama ini diambil dari versi Jerman atas sebuah nama kota Polandia di O?wi?cim, terletak 60 km barat daya Krakow. Proyek biadab ini dimulai pada 1940, sebagai bagian utama dari holocaust.

Kini New-Auschwitz dan holocauts tengah diproduksi di banyak belahan dunia yang dipandang 'primitif' oleh negara-negara adidaya yang mengklaim diri 'beradab'. Yang menempatkan negeri-negeri maju itu sebagai penjaga utama demokrasi dan hak asasi manusia universal. Penguasa dan negara mana pun yang dimasukkan sebagai rezim otoriter atau diktator, tidak demokratis, melanggar hak asasi manusia, bahkan mengembangkan proyek nuklir dapat dengan mudah diinvasi dan dihancurkan oleh negara-negara adidaya itu.

Berbagai aturan internasional hingga perlindungan institusi Perserikatan Bangsa-Bangsa dijadikan otoritas untuk mengabsahkan proyek pemusnahan bangsa atau negara lain yang sekiranya mengancam status quo negeri-negeri adidaya itu. Fakta pelanggaran hak asasi manusia dan demokrasi menjadi tidak penting seperti tidak terbuktinya Irak mengembangkan senjata kimia pemusnah, yang penting ketika dipandang mengancam status quo para polisi dunia itu, maka dengan gampang diinvasi dan diluluhlantakkan.

Akankah tragedi-tragedi Irak dan Libya akan terus terulang? Sejauh tidak ada pemberontakan baru dari negara-negara nonadidaya di belahan benua mana pun, rasanya sulit menghentikan bentuk kesewenang-wenangan atau kediktatoran baru yang membuana ini. Hampir pada umumnya rezim kekuasaan di setiap negara berkembang telah banyak diikat oleh berbagai regulasi politik, ekonomi, dan budaya yang mengabsahkan dan melanggengkan praktik Autschwitz dan holocaust baru itu.

Lembaga-lembaga dunia seperti PBB, G-20, NATO, ditunjang IMF, Bank Dunia, plus globalisasi yang meraksasa itu justru menjadi institusi pengabsah dan pengawet kamp-kamp konsentrasi dan pemusnah di abad modern tersebut. Setiap negara yang menunjukkan gelagat perlawanan, seperti Iran, Kuba, dan sejenisnya akan dengan mudah dimasukkan dalam daftar pelanggar demokrasi, hak asasi manusia, dan idiom-idiom modern lainnya, yang kapan saja siap untuk diinvasi dan diganti rezim.

Dunia saat ini telah kehilangan sosok Soekarno, Nehru, Nasser, Tito, dan tokoh-tokoh yang berjiwa merdeka lainnya. Mereka menjadi bagian dari dunia, tetapi kesadaran kritis dan kemandiriannya untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara sungguh luar biasa. Sementara, tokoh-tokoh dunia lain saat ini telah mengalami penjinakkan dan menjadi bagian dari rezim kekuasaan adidaya yang lembek dan penurut.

Boleh jadi, Cina tampil menjadi pusat hegemoni baru, tetapi negeri ini lebih sibuk membangun imperiumnya sendiri. Sedangkan Rusia tak juga beranjak untuk menjadi kekuatan penyeimbang karena telah terlumpuhkan oleh pilihannya menjadi negara 'demokrasi'.

Sementara itu, para pemimpin civil society dan kaum intelegensia dunia pada umumnya tenggelam dalam rutinitas dan mobilitas yang justru bukan hanya masuk dalam perangkap dunia yang semakin mengokohkan posisi negara-negara adidaya. Bahkan, tidak sedikit yang berperan menjadi bagian dari aktor-aktor yang sadar atau tidak sadar ikut melanggengkan dan membesarkan hegemoni dunia yang sarat ketidakadilan dan menularkan virus Auschwitz dan holocaust baru itu.

Imperialisme baru
Ketika Michel Foucault mengkritik dunia modern yang melahirkan tragedi kegilaan (madness) yang meluas di negeri-negeri Eropa awal abad ke-20, bukankah apa yang terjadi di Irak, Libya, Afghanistan, dan negeri-negeri yang mengalami invasi dan penghancuran sesungguhnya merupakan bentuk kegilaan baru yang jauh lebih massif di abad ini? Tidakkah proyek Freeport, Newmont, dan proyek-proyek MNC atau TNC lainnya tidak jauh berbeda dari VOC di masa lampau dengan tampilan dan kontrak yang tampak lebih demokratis? Tidakkah yang terjadi di negeri-negeri Timur Tengah merupakan bentuk imperialisme baru?

Jika Foucoult sang pemikir postmodernis itu menyebut kegilaan sebagai unreason atau ketakmasukakalan, maka kegilaan NATO, Amerika Serikat, dan ulah sekutu lainnya yang terjadi di Irak dan Libya akan berlalu begitu saja sebagai reason atau masuk di akal oleh keabsahan demokrasi dan hak asasi manusia yang telanjur menjadi hegemoni baru yang mengikat atau lebih tepat mencengkeram relasi antarbangsa dan antarnegara saat ini.

Atas nama demokrasi dan hak asasi manusia yang dipatok universal, siapa pun dan negeri mana pun harus siap diintervensi, diinvasi, dan diluluhlantakkan oleh pa ra polisi dunia tanpa rasa sungkan dan perlawanan. Semua bentuk Autschwitz dan Holocaust baru itu menjadi reason atau masuk akal, bukan ketakmasukakalan apalagi kegilaan baru. Mungkin, inilah tragedi dunia di abad ini, yang entah sampai kapan akan berlangsung. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar