Revolusi
Mental Mahatma Gandhi
Christina M Udiani ;
Editor Penerbit Kepustakaan
Populer Gramedia
|
KOMPAS,
26 Juli 2014
Sejak Joko Widodo menulis
di harian ini (10/5/2014), revolusi mental seolah menyatu dan selalu
dikaitkan dengannya. Tak banyak yang mempersoalkan dari mana konsep ini. Ada
yang menyebut dari komunis, mungkin sebagai bagian dari kampanye hitam, ada
pula yang menyatakan sebagai konsep Gandhi.
Tulisan ini tak hendak
membicarakan asal-usul konsep revolusi mental karena Gandhi pun mengakui
bahwa pemikiran dan tindakannya banyak dipengaruhi oleh para pemikir, seperti
John Ruskin dengan bukunya Unto This
Last, Leo Tolstoy dengan Kingdom of God is Within You, ataupun Walden dan Thoureau.
Tidak seperti politisi
yang mengandalkan retorika, Gandhi memulai revolusi mental dari dirinya. Ia
mengganti pakaiannya dengan selembar khadi (kain tenunan tangan). Khadi
menjadi pernyataan sekaligus senjata politik, sosial, ekonomi, dan terutama
moral untuk melawan kekuasaan penjajah. Gandhi menyatakan kepada rakyatnya, ”Taruhlah khadi di tanganku, maka akan
kuberikan kemerdekaan kepadamu.”
Kagumi
Eropa
Gandhi bukan pejuang
kemerdekaan dari awal. Lazimnya pemuda terdidik dalam tradisi kolonial
Inggris, Gandhi muda juga silau dengan kemilau budaya Eropa. Ketika tinggal
di London, Gandhi suka membeli setelan jas di Bond Street, pusat adibusana
Inggris zaman itu.
Pengalaman dipersulit
mendapat tiket kereta kelas satu karena dia warga India juga tak mengubah
kekaguman Gandhi kepada Eropa. Ia juga tak melawan pendapat Ratu Victoria
bahwa orang India itu ada dua, yang tercerahkan dan yang terbelakang. Agar
masuk golongan tercerahkan, Gandhi mengharuskan istri dan anaknya berpakaian
ala Eropa.
Keyakinan ini berubah saat
menghadiri audiensi dengan Wakil Ratu Inggris di India Club, Kalkutta, pada
1901. Beberapa tokoh masyarakat India yang hadir mengenakan celana dengan
baju seperti pelayan, bukan dhoti. Seorang di antara tokoh itu berbicara kepada
Gandhi, ”Kau lihat bedanya kami dengan
pelayan? Orang-orang itu pelayan kita, kita adalah pelayan Lord Curzon. Kalau
hadir dengan pakaian kita yang biasa, bisa dianggap menghina.”
Dalam perjalanan
mengelilingi India, Gandhi mulai duduk di kelas tiga, mengenakan mantel wol
panjang, kemeja, dan dhoti, bukan celana. Namun, pulang ke Bombai, ia kembali
berpakaian necis layaknya pengacara. Baru pada 1906, lima tahun setelah
audiensi dan setelah memulai gerakan Satyagraha (truth force) di Afrika Selatan, Gandhi benar-benar meninggalkan
pakaian Eropa dan mengenakan khadi.
Revolusi
mental
Apa hubungan khadi dengan
revolusi mental? Akhir abad ke-19, sebelum Gandhi memutuskan gerakan khadi,
ekonomi India merosot tajam. Pada 1800-an, India adalah negeri pengekspor tekstil
ternama di Asia. Dari Kalkuttta saja, ekspor mencapai 20 juta rupee setahun.
Seratus tahun kemudian, keadaan berbalik. India harus mengimpor pakaian,
terutama dari Manchester senilai 660 juta rupee setahun.
Banyak pabrik tekstil
lokal bangkrut. Pengangguran menjadi-jadi dan kemiskinan merebak. Seperti
ditulis oleh Gandhi dalam Hind Swaraj, ”Akibat
paling tragis kekuasaan Inggris saat ini adalah 20 juta lebih rakyat India
terpaksa menganggur.”
Namun, Gandhi tidak
langsung melarang rakyat menggunakan produk asing. ”Lebih baik kita mengirim uang ke Manchester dan menggunakan kain
tipis buatan Manchester daripada menggandakan pabrik-pabrik di India. Dengan
menggunakan kain dari Manchester, kita hanya menghamburkan uang, tapi
memproduksi kain dari Manchester di India kita akan mempertahankan uang kita
dengan bayaran darah karena moral kita diisap habis,” tulisnya dalam Hind
Swaraj.
Moral menjadi pertimbangan
utama kebijakan ekonomi ini sekalipun bagi sejumlah lawan politiknya, sikap
ini dipandang sangat tidak tegas dan pro-penjajah. Namun, sekadar menyalahkan
dan mengusir Inggris, menurut Gandhi, tidak menyelesaikan masalah. Dia
mengecam tajam kolonialisme, tetapi tidak membenci orang Inggris.
”Inggris
tidak merebut India; kita yang memberikannya. Mereka di India bukan karena
kekuatan mereka, tetapi karena kita menahannya… Siapa yang tergiur melihat
perak mereka? Siapa yang membeli barang-barang mereka? Sejarah menyaksikan,
kitalah pelakunya… Kita membantu mereka.”
Dengan landasan moral itu,
pada 1917 Gandhi mulai mengajak bangsanya bermental Swadeshi. Swadeshi tidak
hanya berarti memenuhi kebutuhan dengan yang tersedia, tetapi sekaligus
”Kendalikanlah kebutuhan Anda.” Maka, menenun khadi menjadi simbol sekaligus
praktik Swadhesi.
Gerakan menenun dan
menggunakan khadi memuncak pada 1922 ketika Gandhi tampil di depan umum dalam
balutan kain utuh tak berjahit. Sejak itu, Gandhi tak pernah lepas dari
khadi: simbol gerakan moral dan politik—Satyagraha—dan gerakan
ekonomi—Swadeshi.
Gandhi percaya memproduksi
dan menggunakan kain tenunan tangan merupakan bagian dari pengasahan kekuatan
batin untuk menggantikan peradaban Eropa dengan Satyagraha. ”Pikiran itu seperti burung yang tak
pernah berhenti terbang; semakin banyak yang didapat, semakin banyak yang
diinginkan. Semakin kita umbar, semakin tak terkendali nafsu kita.”
Di sini Gandhi jelas
bersikeras, gerakan ekonomi dan politik tak mungkin lepas dari suatu gerakan
moral, dari khadi, simbol keutamaan
moralitas. Sebaliknya, khadi atau keutamaan moralitas juga bisa menjadi
pernyataan politis yang sangat tajam.
Menjawab kritik karena mengenakan selembar
kain saja ketika mengikuti Konferensi Meja Bundar di London, Gandhi menulis, ”Pakaian saya, ditulis surat kabar sebagai
kain gombal. Dikritik, diolok-olok… Tetapi saya di sini menjalankan misi
agung dan khusus. Kain gombalku adalah pakaian junjunganku, rakyat India.”
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar