Manuver
di Ujung Kuasa
R Kristiawan ; Manajer Program Media dan
Informasi Yayasan Tifa,
Jakarta;
Aktif di Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran
|
KOMPAS,
30 Agustus 2014
MENJELANG
akhir jabatan, pada 25 Juli 2014 Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul
Sembiring mengeluarkan keputusan No 729/2014 dan No 730/2014 tentang peluang
usaha penyelenggaraan penyiaran multipleksing melalui sistem terestrial. Ketentuan
ini meliputi wilayah layanan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi
(Kepmen Kominfo No 729/2014) dan di Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah (Kepmen Kominfo No
730/2014).
Mengikuti
kepmen itu, pada 14 Agustus 2014 Kementerian Komunikasi dan Informatika
mengeluarkan pengumuman yang berisi antara lain seleksi Lembaga Penyiaran
Penyelenggara Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial sesuai Kepmen
Kominfo No 729/2014 dan No 730/2014 segera dilaksanakan. Dokumen seleksi
harus segera diambil dalam tempo satu minggu untuk obyek seleksi berdasarkan
Kepmen No 729/2014 dan satu bulan untuk seleksi berdasarkan Kepmen No
730/2014.
Konteks
dari penyelenggaraan penyiaran multipleksing adalah digitalisasi penyiaran
yang menggantikan platform analog terestrial, seperti yang berlangsung di
platform penyiaran saat ini. Keuntungan dari platform digital ada beberapa.
Dari sisi kualitas, penyiaran digital mampu menampilkan kualitas suara dan
gambar yang lebih baik daripada platform analog. Selain itu, digitalisasi
juga memungkinkan lipatan jumlah frekuensi sebanyak 12 kali dibandingkan
dengan analog sehingga jumlah stasiun televisi bisa bertambah banyak.
Ini
bisa mendorong keragaman kepemilikan yang sangat cocok untuk negara
demokratis. Setiap 12 frekuensi dikelola dalam satu kanal. Kanal ini yang
disebut multipleksing. Lalu apakah masalah kepmen Kominfo di atas?
Cacat hukum
Catatan
pertama yang layak kepada kedua kepmen itu adalah cacat hukum. Sampai kini
program digitalisasi penyiaran belum memiliki UU khusus. Jadi, di level UU,
sandaran semestinya UU Penyiaran (UU No 32/2002 yang belum mengatur
digitalisasi.
Sebagai
pengganti, Kemenkominfo kemudian menerbitkan Permen No 17/2012 tentang
Pelaksanaan Penetapan Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing. Inilah yang
dijadikan dasar bagi Kepmen No 729/2014 dan Kepmen No 730/2014. Selanjutnya,
Permen No 17/2012 dan No 730/2014 mendasarkan diri antara lain pada Permen No
22/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial
Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free to Air). Ironisnya, Permen No 22/2011
ini sudah dibatalkan Mahkamah Agung pada akhir Oktober 2013.
Kemenkominfo
lalu menerbitkan Permen No 32/2013 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi
Secara Digital dan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial yang
senada dengan Permen No 22/2011 yang dibatalkan. Kedua permen ini masih tetap
menempatkan pemilik penyiaran analog sebagai pengelola multipleksing sehingga
konsentrasi kepemilikan penyiaran tetap langgeng pada era digital.
Kemenkominfo
kemudian menjadikan Permen No 32/2013 sebagai sandaran hukum yang lain. Ini
jelas akal-akalan yang hanya peduli pada aspek prosedur hukum, tetapi tidak
berniat baik untuk memanfaatkan digitalisasi sebagai teknologi yang mendukung
keberagaman kepemilikan. Dari sisi pembagian wilayah, juga terjadi kerancuan,
akan memakai sistem berdasarkan zona ataukah provinsi.
Dari
masa berlakunya, kedua kepmen itu juga mengundang pertanyaan karena hanya
berlaku selama dua bulan sejak 25 Juli 2014 atau sebelum terjadi pergantian
kabinet. Apakah yang menjadi urgensi sehingga kedua kepmen itu harus
diterbitkan sekarang, sementara Indonesia belum memiliki aturan setingkat UU
untuk program sestrategis digitalisasi penyiaran? Selain itu, program
digitalisasi minimal tahun 2018 yang dicanangkan Kemenkominfo pun sudah
dibatalkan MA. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya menegur
menterinya karena mengeluarkan keputusan strategis di ujung kekuasaan yang
bisa mengganggu program kerja pemerintahan mendatang.
Di
balik teknikalitas hukum di atas, sebenarnya apa yang jadi masalah mendasar
dari kedua Kepmen itu? Ada masalah besar bagi proses demokratisasi di area
penyiaran analog, yaitu persoalan kepemilikan. Prinsip yang dilanggar adalah
pembatasan kepemilikan karena Indonesia sebagai negara demokratis menganut
sistem pembatasan teritorial. Satu badan usaha boleh memiliki maksimal dua
stasiun penyiaran di dua provinsi berbeda.
Prinsip
ini berlaku di setiap negara demokratis, seperti AS dan Australia.
Pertimbangannya adalah aspek frekuensi sebagai sumber daya terbatas milik
publik dan aspek kemampuan penyiaran masuk ke ranah privat tanpa diundang.
Kepemilikan stasiun penyiaran tanpa batas akan memunculkan penyeragaman
opini. Dalam konteks ini, jelas ada pelanggaran dalam sistem penyiaran kita.
Kita menyaksikan satu badan usaha bisa punya beberapa stasiun penyiaran dalam
satu provinsi, terutama DKI Jakarta.
Pada
kondisi politis, yaitu pemilik media memiliki afiliasi politik, situasinya
akan semakin runyam. Salah satu pelajaran penting dari Pemilu 2014 lalu
adalah pemakaian media penyiaran sebagai corong politik kandidat. Pemilu
Presiden 2014 contoh brutal beberapa stasiun televisi memosisikan diri tidak
lebih sebagai pamflet pendulang
suara bagi calon yang didukung pemilik stasiun tersebut, ketika manajemen
simulasi realitas telah menjadi motor penggerak news room.
Platform digital sebenarnya
menjanjikan jumlah frekuensi 12 kali lipat dari jumlah analog sehingga
mendukung prinsip demokrasi penyiaran, yaitu keberagaman kepemilikan. Namun,
beberapa kali potensi teknologi ini sempat dipangkas Kemenkominfo. Misalnya
lewat Permen No 22/2011 yang mengatur bahwa pengelola multipleks otomatis
diberikan ke existing owners media
penyiaran analog. Padahal, struktur kepemilikan media penyiaran analog
bersifat terpusat.
Semangat
sama juga tampak pada kedua kepmen yang terasa sangat dipaksakan terjadi di
akhir kabinet ini. Bagi proses demokratisasi penyiaran yang sedang diperkuat
melalui revisi UU Penyiaran dan penyusunan regulasi penyiaran publik, tidak
semestinya kedua kepmen itu diberlakukan sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar