PR
Jangka Pendek Jokowi-JK
Anwar Nasution ; Guru Besar Fakultas Ekonomi UI
|
KOMPAS,
28 Agustus 2014
PEMERINTAHAN
SBY mewariskan kondisi ekonomi yang berat kepada penggantinya. Sasaran
pembangunan ekonomi jangka menengah yang ditetapkan banyak yang tak tercapai.
Slogan pembangunan ekonomi ”pro-growth,
pro-jobs, dan pro-poor” lebih banyak semboyan kosong. Indonesia juga
belum siap memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai 2015.
Gabungan buruknya iklim usaha dan kebijakan ekonomi serta kurangnya
infrastruktur membuat Indonesia belum masuk jaringan rantai pasokan global (global supply chains) atau jaringan
produksi internasional (international
production network/IPN) yang diharapkan jadi tali pengikat MEA. Krisis
fiskal dan neraca berjalan pada neraca pembayaran luar negeri serta nilai
tukar rupiah yang bergerak bagaikan yoyo menimbulkan ketidakpastian.
Rata-rata
pertumbuhan ekonomi 2004-2009 hanya 5,5 persen, atau 4,3 persen per kapita
setahun, di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi era Orde Baru dan terendah di
ASEAN. Lapangan kerja di sektor formal hanya bertambah 2,8 juta (9,8 persen)
dan di sektor informal 8,2 juta atau 12,5 persen. Selama periode itu, pencari
kerja bertambah 7,2 juta atau 8,6 persen. Indeks kemiskinan meningkat dari
16,7 persen pada 2004 menjadi 17,8 persen (2007) sebelum menurun menjadi 14,2
persen pada 2009. Industri manufaktur Indonesia tak mampu bersaing di pasar
dunia karena rendahnya daya saing dan produktivitas tenaga kerja.
Sasaran
pembangunan tak tercapai. Krisis fiskal dan neraca berjalan terjadi akibat
gabungan kurang profesionalnya para pembuat kebijakan dan ketaktegasan
pimpinan nasional yang membiarkan keadaan lebih besar pasak daripada tiang.
Kesalahan demi kesalahan kebijakan ekonomi terus terjadi. Korupsi meluas pada
seluruh cabang pemerintahan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Untuk
menutup defisit ganda, fiskal dan neraca berjalan, pemerintahan SBY menambah
penjualan Surat Utang Negara (SUN) di pasar keuangan internasional dengan
tingkat suku bunga yang kian mencekik sehingga harian Financial Times
menjuluki Indonesia ”a fragile country”.
Bersamaan dengan itu, untuk menyeimbangkan APBN, pemerintahan SBY memotong
anggaran yang berlaku bagi semua instansi pemerintah, secara proporsional
tanpa kecuali. Anggaran yang paling banyak dikurangi adalah anggaran
pembangunan.
Dalam
jangka pendek, pemerintahan Jokowi-JK perlu segera mengatasi krisis fiskal
dan neraca berjalan tersebut. Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah
baru perlu meningkatkan kembali tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi 9-10
persen per tahun secara berkesinambungan agar Indonesia dapat keluar dari
perangkap negara berpendapatan menengah rendah (low income trap). Dalam jangka menengah dan panjang itu, lapangan
kerja perlu diciptakan melalui peningkatan ekspor industri manufaktur padat
karya. Pada saat yang sama, distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat
perlu diratakan sebagaimana disebut dalam platform
kampanyenya.
Kesatuan
pasar nasional perlu diciptakan dengan memperbaiki sistem logistik
(perhubungan, pergudangan, dan manajemen barang). Juga perlu disederhanakan
prosedur pelabuhan dan bea cukai (trade
facilitation) serta aturan lain yang menghambat kelancaran perdagangan
antardaerah dan antarpulau. Penciptaan pasar nasional yang menyatu itu
merupakan bagian dari peningkatan tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan
menguatkan perekat NKRI. Penciptaan pasar nasional yang menyatu dan menjadi
semakin besar sekaligus memungkinkan terjadinya ekspansi skala produksi dan
spesialisasi produksi yang meningkatkan efisiensi perekonomian secara
keseluruhan.
Segmentasi
di pasar uang terjadi karena adanya monopoli kelompok bank negara pada
keuangan sektor publik, termasuk BUMN. Sementara keuangan pemda provinsi,
kabupaten, dan kota serta BUMD hanya boleh disimpan di BPD miliknya sendiri.
Agar dapat memacu laju pertumbuhan ekonomi, tabungan dan investasi dalam
negeri yang angkanya 32 persen dari PDB pada 2010 perlu ditingkatkan. Rasio
tabungan nasional terhadap PDB di India mencapai 24 persen dan Tiongkok 37
persen pada 2000. Padahal, kedua negara itu tak punya sumber daya alam
sebanyak Indonesia. Rasio investasi terhadap PDB tahun 2010 di India 34
persen dan Tiongkok 48 persen. Selisih antara pengeluaran investasi dan
tabungan dalam negeri di kedua negara itu berasal dari investasi modal swasta
asing.
Untuk
mendorong investasi, Indonesia perlu menambah prasarana dan menyederhanakan
sistem perizinan usaha dan iklim usaha serta meningkatkan produktivitas
tenaga kerja. Kebijakan moneter ataupun fiskal perlu diubah agar dapat
meningkatkan daya saing ekonomi nasional, sekaligus merajut pasar nasional
yang menyatu. Industrialisasi dapat digalakkan dengan bertambahnya investasi
modal swasta, termasuk modal swasta asing. Hanya dengan investasi modal
swasta itu Indonesia dapat menjadi bagian dari mata rantai pasokan global
atau IPN yang kini telah mempererat keterkaitan produksi di Asia Timur dan
Asia Tenggara.
Defisit
fiskal dan neraca berjalan pada neraca pembayaran antara lain terjadi karena
eksportir menahan devisa ekspor luar negeri. Mereka menahannya di luar negeri
untuk dua tujuan. Pertama, membayar utang karena hampir semua perusahaan
besar Indonesia di sektor pertambangan, perkebunan, bahkan real estat
membelanjai usahanya dari kredit bank asing di luar negeri. Tingkat suku
bunga bank di Singapura jauh lebih rendah daripada di Indonesia, dengan
pelayanan lebih baik. Kedua, menggelapkan kewajiban pajak (tax transfer).
Dana itu masuk ke Indonesia berupa pemasukan modal jangka pendek untuk
membeli SBI, SUN, dan surat-surat berharga lain yang diperjualbelikan di
Bursa Efek Indonesia.
Untuk
membawa masuk devisa hasil ekspor perlu tiga tindakan. Pertama, menurunkan
suku bunga serta meningkatkan efisiensi dan mutu pelayanan industri perbankan
nasional, khususnya bank-bank negara. Kedua, meningkatkan kemampuan Ditjen
Pajak. Ketiga, menegakkan hukum secara tegas tanpa pandang bulu. Perlu
diakhiri perlindungan oknum penegak hukum terhadap penjahat pajak.
Kebijakan fiskal
Defisit
fiskal terjadi karena administrasi perpajakan kita yang korup sehingga tak
mampu menghasilkan pendapatan yang diperlukan oleh pengeluaran negara. UU
Pajak merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Perbaikan sistem hukum dan
administrasi perpajakan memerlukan waktu agar dapat meningkatkan penerimaan
negara sesuai keperluan pengeluaran. Karena penerimaan negara tidak segera
dapat ditingkatkan, pilihan yang tersedia adalah menambah pinjaman serta
mengoreksi struktur dan tingkat pengeluaran negara. Pemotongan anggaran harus
dilakukan menurut skala prioritas dan bukan secara proporsional seperti
dilakukan pemerintahan SBY sekarang ini.
Sumber
utama defisit APBN 2014 adalah karena besarnya beban tiga jenis pengeluaran, yakni
(i) subsidi BBM dan listrik, (ii) gaji pegawai negeri sipil (PNS), dan (iii)
pemeliharaan kesehatan masyarakat. Sebagian terbesar dari dana transfer dari
pusat ke daerah adalah juga untuk membayar gaji pegawai pemda. Dewasa ini,
transfer ke daerah mencapai lebih dari sepertiga pengeluaran negara.
Pengeluaran untuk subsidi, gaji PNS, dan bantuan sosial sudah mencakup lebih
dari 35 persen dari anggaran pengeluaran negara. Subsidi BBM dan listrik
lebih besar daripada gaji PNS dan pengeluaran sosial. Subsidi BBM dan listrik
tersebut bersifat regresif karena terutama dinikmati golongan berpendapatan
tinggi dan menengah yang merupakan konsumen utamanya. Sebagian BBM bersubsidi
itu diselundupkan ke negara-negara tetangga.
Subsidi
BBM kian meningkat sehubungan dengan setidaknya tiga faktor eksternal dan
internal. Faktor eksternal adalah adanya gangguan produksi dan distribusi (supply shock) akibat ketidakpastian
politik di negara-negara penghasil minyak dan gas bumi utama, seperti Irak,
Libya, Rusia, dan Venezuela. Faktor internal adalah, pertama, melemahnya
nilai tukar rupiah dan kedua, inefisiensi dalam pengadaannya. Subsidi BBM
dapat dikurangi jika pemerintah dapat memberantas KKN dalam pengadaan minyak
dari luar negeri. Korupsi di Petral berjalan terus sejak Orde Baru, yang
berbeda hanya oknum penerima uang korupsi itu.
APBN
seyogianya diprioritaskan untuk memenuhi keperluan tiga mata anggaran: (i)
pendidikan (termasuk penyuluhan dan latihan kerja), (ii) penyediaan
pemeliharaan kesehatan dasar bagi masyarakat, (iii) pembangunan
infrastruktur. Kedua jenis pengeluaran pertama memberikan kontribusi bagi
peningkatan mutu SDM. Pada gilirannya, peningkatan mutu SDM akan meningkatkan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, sekaligus menciptakan pemerataan
pendapatan masyarakat. Untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pelayanan
kesehatan perlu peningkatan pendidikan dan spesialisasi guru serta tenaga
medis, bukan hanya membangun gedung sekolah, puskesmas, dan rumah sakit yang
megah serta pengadaan sarana medis tanpa operator yang mampu menggunakannya.
KKN dan vested interest harus dapat diberantas dalam pengadaan obat-obatan
dan peralatan medis.
Untuk
mengurangi beban pengeluaran negara dan defisit APBN, pemerintah baru perlu
segera melakukan tiga hal. Pertama, menaikkan harga BBM sesuai perkembangan
kondisi pasar internasional. Kenaikan harga BBM dapat dilakukan bertahap atau
sekaligus. Kedua, membatasi pertambahan PNS, antara lain melalui penghentian
sementara pemekaran daerah dan merger pemda yang secara ekonomis tidak mampu
mandiri. Ketiga, menyediakan fasilitas pemeliharaan kesehatan masyarakat
sesuai kemampuan negara, sekaligus meningkatkan efisiensi penyediaannya.
Perlu segera dihentikan praktik politisasi, sogok-menyogok yang marak setelah
reformasi dalam seleksi serta penempatan maupun kenaikan pangkat PNS,
termasuk guru, dokter, dan tenaga medis. Tak mungkin pelayanan pemerintah,
kesehatan, dan pendidikan dapat ditingkatkan tanpa adanya meritokrasi.
Neraca pembayaran dan
hubungan ekonomi luar negeri
Boom
atau kenaikan harga komoditas primer yang dialami Indonesia telah berakhir
pada akhir 2011 karena adanya resesi ekonomi dunia. Sejak itu, harga
komoditas primer berupa hasil pertanian, perikanan, dan pertambangan merosot
drastis hingga saat ini. Di lain pihak, belum ada pengganti ekspor komoditas
primer itu, seperti hasil industri manufaktur. Karena salah urus, sumbangan
industri manufaktur kian merosot, baik pada pembentukan PDB maupun pada
penghasilan ekspor. Selama periode 2000-2010, justru terjadi proses
deindustrialisasi. Berbeda dengan negara ASEAN dan Asia Timur lain, peranan
industri manufaktur dalam pembentukan PDB di Indonesia justru merosot dari
27,7 persen menjadi 24,8 persen dan peranannya dalam ekspor turun dari 57,1
persen menjadi 37,5 persen. Penurunan peranan komoditas industri manufaktur
berkaitan dengan peningkatan ketergantungan pada produksi dan ekspor
komoditas primer.
Kenaikan
harga energi dan komoditas primer pada masa lalu terjadi terutama karena
pesatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan India. Setelah melakukan deregulasi
ekonomi, kedua negara raksasa itu tumbuh rata-rata 9-10 persen setiap tahun
terus-menerus sejak 30 tahun terakhir di Tiongkok dan sejak 1992 di India.
Deregulasi itu mengundang investasi modal asing dan memperluas basis ekspor
manufakturnya. Tiongkok masuk dalam jaringan produksi internasional yang
menghasilkan suku cadang komoditas industri manufaktur, komponen, maupun
merakitnya menjadi barang jadi sebelum dikirim ke pasar dunia. Almarhum Steve
Jobs merancang Ipod di Silicon Valley, California, tetapi 100 persen dibuat
di Shanghai dengan menggunakan komponen dan suku cadang dari mancanegara
serta menyerap anak petani dari pedalaman sebagai pekerja. India sekaligus
mengekspor jasa-jasa komputer dan TI.
Pertumbuhan
ekonomi tinggi di Tiongkok dan India memerlukan segala jenis bahan baku
sehingga menjadi pemicu kenaikan harga energi dan komoditas primer lain di
pasar dunia. Pertumbuhan ekonomi kedua negara merosot tajam mulai 2011 karena
adanya gangguan pada ekspor dan investasi kedua negara yang merupakan motor
penggerak ekonominya. Ekspor dan investasi modal asing merosot karena resesi
di AS dan Uni Eropa sebagai tujuan utama ekspor sekaligus sumber investasi
modal swasta terpenting. Di dalam negeri Tiongkok, pengeluaran untuk
pembangunan real estat dan infrastruktur terlalu banyak sehingga tak dapat
diserap pasar. Pada gilirannya, penurunan penerimaan ekspor Indonesia itu
telah menyebabkan defisit neraca berjalan pada neraca pembayaran luar negeri.
Pemasukan modal swasta asing tak dapat menutup defisit ini karena kurangnya
infrastruktur, buruknya iklim berusaha, dan adanya peningkatan rasa
nasionalisme ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar