Saat
Berani Bicara Target Kinerja
Eko Budi Prayitno ; Komunitas Penulis Temanggung,
Alumnus
Ritsumeikan Asia Pacific University (APU) Jepang
|
SUARA
MERDEKA, 27 Agustus 2014
"Pemberian tambahan kesejahteraan paling hanya meningkatkan
kedisiplinan soal jam masuk/pulang kerja"
KEMENTERIAN Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) dalam tahun ini
akan menerima 100 ribu aparatur sipil negara (ASN), terdiri atas 65 ribu CPNS
dan 35 ribu pegawai pemerintah melalui perjanjian kerja (P3K). Instansi pusat
bakal menerima alokasi 25 ribu CPNS dan 10 ribu P3K, sementara lainnya akan
ditempatkan pada beberapa pemda. Tahun ini pemerintah untuk kali pertama menerapkan
pola perekrutan berbasis computer
assisted test (CAT) secara serentak. Model itu sebenarnya sudah
diperkenalkan tahun lalu namun masih terbatas untuk penerimaan calon pegawai
instansi pusat. Penerapan pola baru tersebut diharapkan bisa menghasilkan aparatur
sipil yang profesional dan berkompeten mengingat proses penerimaan mereka
lebih transparan dan bebas dari KKN.
Hingga saat ini stigma negatif
dalam wujud praktik KKN selalu mengiringi proses penerimaan calon pegawai
negeri. Praktik yang jauh dari prinsip meritokrasi itulah yang kemudian mulai
mendapat perhatian lebih serius dari Tim Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional.
Sofian Effendi, wakil ketua tim itu mengungkapkan bahwa nilai perputaran uang
dalam transaksi haram tersebut luar biasa. Ia memperkirakan transaksi suap
dalam penerimaan CPNS bisa Rp 35 triliun. Hal itu berdampak pada rendahnya
kualitas dan profesionalisme birokrasi. Kita juga tidak memungkiri banyak
pihak memandang negatif kinerja birokrasi, dan pemerintah pun cenderung tidak
membantah. Kepala Humas Kemenpan dan RB, Suwardi bahkan mengatakan
berdasarkan hasil survei oleh akademisi yang tergabung dalam konsorsium
menyebut hanya sekitar 20% PNS di Indonesia bekerja secara profesional (waspada.co.id, 22/11/13).
Ironi
Temuan itu menjadi sebuah ironi
mengingat tahun 2004 Bappenas menerbitkan laporan yang menyebutkan sekitar
50% PNS tidak produktif, serta tidak efisien dan efektif dalam menjalankan
tupoksi mereka. Realitas itu menunjukkan selama satu dasawarsa, program
reformasi birokrasi berkesan masih jalan di tempat atau bahkan mengalami
kemunduran. Akibat rendahnya kualitas dan kompetensi aparatur negara,
birokrasi pun tidak pernah menjadi dewasa.
Kita bisa mengatakan birokrasi
di Indonesia adalah birokrasi bayi (infantil
bureaucracy). Pada fase itu, biasanya birokrasi masih berkutat pada
tataran tertib administrasi dan kedisiplinan pegawai, masih jauh dari
birokrasi yang melayani, profesional, kreatif, dan inovatif. Sejumlah
pendekatan yang ditempuh pemerintah seperti penyusunan roadmapreformasi
birokrasi, penyusunan sasaran kerja PNS (SKP), ataupun penilaian mandiri
pelaksanaan reformasi birokrasi (PMPRB) tidak lebih hanya menjadi bunga-bunga
kertas, guna menggugurkan ketentuan perundang-undangan.
Pemberian tambahan gaji
(remunerasi) pada instansi pusat, sertifikasi bagi guru dan dosen, ataupun
pemberian tunjangan kesejahteraan bagi PNS beberapa pemda belum cukup untuk
mendongkrak kualitas kinerja dan pelayanan publik. Pemberian tambahan
kesejahteraan, paling banter hanya meningkatkan kedisiplinan, khususnya dalam
hal jam masuk/pulang kerja, masih jauh dari substansi tupoksi birokrasi:
kinerja. Artinya, problem tersebut terletak pada mentalitas birokrasi yang
saya yakin tak dapat diubah dalam sekejap, bahkan melalui revolusi mental
sekalipun.
Realitas itu sekaligus
menunjukkan saat ini birokrasi kita memasuki fenomena garbage in, garbage out (GIGO). Buruknya kualitas CPNS akibat
buruknya sistem perekrutan menyebabkan rendahnya kompetensi dan dedikasi.
Seberapa besar pun anggaran yang dialokasikan untuk program pelatihan dan
peningkatan kesejahteraan tak pernah berbanding lurus dengan kinerja dan
profesionalisme birokrasi. Penerapan pola baru itu dalam penerimaan calon
abdi negara bisa menjadi langkah maju dalam konteks menata manajemen
kepegawaian negara. Bisa dikatakan metode CAT adalah sebuah revolusi dalam
manajemen kepegawaian.
Penerapan metode itu cukup
mahal mengingat ketergantungan pada sofware
dan hardware. Namun lebih baik pada
tahap awal kita mengeluarkan lebih besar sebagai investasi masa depan bangsa.
Metode itu juga wujud kehati-hatian pemerintah dalam proses perekrutan calon
pegawai mengingat betapa susah memberhentikan mereka.
Pegawai negeri sipil hanya bisa
diberhentikan bila ’’desersi’’ lebih dari 40 hari, terbukti korupsi, atau
melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman minimal 4 tahun. Perubahan
mendasar pada sistem penerimaan calon pegawai harus diikuti revolusi sistem
penempatan, pola karier, kenaikan pangkat, dan penggajian. Ke depan,
birokrasi kita tidak lagi hanya berkutat pada pengendalian kedisiplinan
pegawai negeri namun sudah berani bicara target kinerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar