“Subsidi”
Petani Gurem
Suharto ; Fungsionaris DPPPDI Perjuangan,
Alumnus
Fakultas Teknologi Pertanian UGM
|
SUARA
MERDEKA, 30 Agustus 2014
Dalam RAPBN 2015 yang dibacakan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono di hadapan DPR dan DPD, Jumat (15/8/2014), pemerintah mengajukan
anggaran subsidi secara keseluruhan Rp 433,512 triliun atau naik Rp 30,476
triliun dibanding angka subsidi pada APBN-P 2014. Dari total subsidi Rp
433,512 triliun itu, sebagian besar dialokasikan untuk subsidi energi, yaitu
Rp 363,534 triliun.
Adapun subsidi nonenergi mencapai Rp 69,977 triliun atau naik Rp
17,252 triliun dibanding APBN-P2014. Subsidi nonenergi tersebut, terdiri atas
subsidi pangan Rp 18,939 triliun, subsidi pupuk Rp 35,703 triliun, subsidi
benih Rp 939,4 miliar, subsidi public
service obligation Rp 3,261 triliun, subsidi bunga kredit program Rp
2,484 triliun, dan subsidi pajak Rp 8,650 triliun.
Apakah petani gurem (peasent) yang menggantungkan hidup pada lahan kurang dari 0,5 ha ikut
menikmati subsidi itu? Selama ini subsidi pupuk lebih banyak dinikmati petani
dengan kepemilikan lahan luas, petani berdasi, bahkan pengusaha dan BUMN.
Petani gurem tetap terpinggirkan karena tak punya akses ke regulasi,
permodalan, dan pasar.
Padahal, jumlah mereka kini meningkat dari sebelumnya 44,51%
menjadi 56,41%. Itulah tantangan berat presiden dan wakil presiden terpilih
Joko Widodo- Jusuf Kalla. Apalagi Presiden SBY ”mewaris” utang subsidi pupuk.
Mei lalu, Menteri BUMN Dahlan Iskan mengatakan pemerintah menunggak utang Rp
16,7 triliun kepada PT Pupuk Indonesia Holding Company untuk membiayai pupuk
bersubsidi.
Angka ini didapat dari akumulasi utang sejak 2012. Lebih ironis
lagi bila dihadapkan fakta bahwa subsidi pupuk lebih banyak dinikmati petani
berdasi, pengusaha dan BUMN. Apalagi dalam penyalurannya banyak terjadi
kebocoran. Masalah kronis lain adalah 52% jaringan irigasi di provinsi utama
penghasil beras rusak, berdasarkan data 2013. Sebab itu, ide mengalihkan
subsidi pupuk ke bentuk lain kian relevan dipertimbangkan.
Tujuannya supaya subsidi dinikmati merata oleh semua petani,
termasuk petani gurem yang selama ini hanya mendapat manfaat relatif sedikit
dari subsidi pupuk. Misalnya, untuk perbaikan irigasi di berbagai daerah.
Untuk memperbaiki seluruh irigasi, menurut Menteri Pertanian Suswono,
dibutuhkan anggaran Rp 21 triliun.
Tiga Kali Panen
Dengan irigasi lancar, petani bisa tiga kali panen dalam
setahun. Dengan asumsi kepemilikan lahan pertanian rata-rata 1 ha dan
produktivitas 7 ton gabah kering/ha, petani bisa mendapat Rp 28 juta/ha tiap
masa tanam dengan asumsi harga gabah kering Rp 4 ribu/kg.
Dari Rp 28 juta, katakanlah biaya produksi hanya Rp7 juta maka
setiap masa tanam petani mendapatkan penghasilan Rp 21 juta atau Rp 5
juta/ha/bulan.
Dalam kaitan hal itu, Jokowi-JK berjanji merehabilitasi jaringan
irigasi yang rusak terhadap 3 juta ha lahan pertanian, mencegah pencemaran
air sawah dari sungai, dan meningkatkan pemeliharaan infrastruktur pertanian,
termasuk pembangunan baru.
Bagaimana dengan petani gurem? Tentu harus ada ”subsid” lain,
misalnya redistribusi lahan melalui reformasi agraria seperti dijanjikan
Jokowi-JK semasa berkampanye. Sangat penting untuk meningkatkan akses petani
gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian. Jokowi-JK pun berjanji
meningkatkan redistribusi tanah 1,1 juta ha ntuk 1 juta kepala keluarga
petani kecil dan buruh tani setiap tahun.
Keduanya juga berjanji menyiapkan 9 juta ha tanah untuk petani
dan buruh tani, serta program 1.000 desa berdaulat benih hingga 2019. Lahan
pertanian memang masih bermasalah di Indonesia, antara lain soal konversi
atau alih fungsi lahan 50.000 ha per tahun untuk kepentingan di luar
pertanian. Bahkan total lahan yang dikuasai petani menyusut dari 10,5%
menjadi 4,95%.
Jokowi JK berjanji mempertegas pencegahan konversi lahan
pertanian. Kita tunggu realisasi janji-janji itu, termasuk ”subsid” bagi para petani gurem dan buruh tani yang oleh Bung Karno
disebut kaum marhaen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar