Minggu, 03 Agustus 2014

Menjadi Poros Maritim Dunia

                                  Menjadi Poros Maritim Dunia

Imam Syafi’i  ;   Kandidat Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
dengan Fokus Kajian Sejarah Maritim
KOMPAS, 30 Juli 2014
                                                


”Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya, bukan sekadar jongos di kapal, tetapi mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang.” (Soekarno, 1953)

Pidato tersebut disampaikan Presiden Soekarno saat meresmikan Institut Angkatan Laut tahun 1953 yang menjadi cikal bakal Akademi Angkatan Laut (AAL). Indonesia memang telah lama tidak berorientasi laut atau tidak bisa menjadi nakhoda di lautnya sendiri.

Padahal, Sriwijaya, Majapahit, dan beberapa kerajaan kecil yang tersebar di seluruh Nusantara telah membangun kekuatan politik dan ekonomi berbasis kerajaan maritim. Namun, kini kita melihat laut dengan ketakutan, lupa bahwa kita adalah bangsa maritim yang hebat.

Tinggalkan laut

Sejak lama, Indonesia dikenal kekayaan alamnya sekaligus sebagai wilayah strategis pelayaran dan perdagangan dunia. Pengaruh kebudayaan India terhadap kerajaan-kerajaan awal, seperti Kutai di Kalimantan dan Tarumanagara di Jawa, menjadi bukti bahwa Indonesia telah terlibat dalam pelayaran dan perdagangan internasional secara aktif.

Perkembangan aktivitas ini memunculkan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Demak, dan Banten yang mengusung konsep negara maritim (city-state).

Pada perkembangannya, masuknya kekuatan Eropa mulai abad ke-16 pada sistem pelayaran pribumi—perdagangan antara pedagang-pedagang Asia Tenggara dan pedagang dari India, Arab dan Tiongkok—sangat memengaruhi sistem pelayaran di Indonesia, terlebih ketika kekuatan Eropa tersebut memonopoli perdagangan.

Pada masa itu, Portugis dapat menguasai Malaka (1511), Spanyol menguasai Filipina (1571), dan Belanda lewat kongsi dagangnya, VOC, menguasai Batavia (1619). Terjadilah perubahan geopolitik, laut Indonesia pun menjadi pemisah, bukan lagi pemersatu.

Laut semakin ditinggalkan begitu VOC menancapkan pengaruhnya pada Kerajaan Mataram Jawa. Keterlibatan VOC dalam suksesi kepemimpinan di Jawa memosisikan VOC sebagai raja baru yang menguasai ekonomi di Jawa, terutama yang berbasis di Laut Jawa.

Hal ini mempersempit aktivitas pelaut-pelaut pribumi yang diperparah oleh kebijakan Raja Mataram Amangkurat I (1647-1677). Amangkurat menghancurkan daerah-daerah pesisir yang menjadi pusat perdagangan yang lepas dari kendalinya dan melarang rakyatnya berdagang ke seberang lautan. Tahun 1655, ia menutup semua pelabuhan dan memerintahkan pasukannya menghancurkan seluruh kapal Jawa (Anthony Reid, 2004: 105).

Sebaliknya, VOC membangun kantor perdagangan di pesisir dan pedalaman Mataram, mendorong Mataram menjadi kerajaan yang sepenuhnya agraris. Pada masa Amangkurat III, VOC mendapatkan semua bandar laut yang sebelumnya milik Mataram (Tjiptoatmodjo, 1983: 190-191).

Penguasaan wilayah pantura menjadi kemenangan luar biasa bagi Kerajaan Belanda dalam konstelasi ekonomi dan politik global, terutama menghadapi Inggris dan Spanyol.

Dari pantura, pemerintah Hindia Belanda semakin menancapkan hegemoni politiknya di wilayah-wilayah selain Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Peraturan-peraturan kemudian dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang tercatat baik dalam verslag (laporan-laporan kolonial) ataupun staatsblad (lembaran negara) yang semakin melegitimasi eksploitasi Nusantara.

Ubah paradigma                                   

Laut Indonesia memiliki peran penting dulu dan ke depan. Oleh karena itu, kita perlu mengubah paradigma lama yang masih menganggap kita hanya negara agraris besar dan mengabaikan kemaritiman.

AB Lapian (2009) mengungkapkan situasi ini terjadi karena kita selama ini salah mengartikan gelar kita sebagai negara archipelagic state.

Archipelagic state selalu diartikan sebagai negara kepulauan yang dipisahkan oleh lautan, padahalarchipelagic berasal dari bahasa Yunani, yaitu arch (besar atau utama) dan pelagos (laut), sehingga lebih tepat bermakna negara laut utama yang dihiasi pulau-pulau (Lapian, 2009: 2).

Inilah dampak arogansi kolonialisme yang memosisikan laut Indonesia sebagai pemisah wilayah-wilayah daratan (pulau), baik secara politik, budaya, maupun sosial-ekonomi. Jadilah kepemilikan wilayah laut oleh kekuatan-kekuatan asing yang mereduksi kekuatan lokal. Wilayah-wilayah yang sebelumnya terintegrasi terbelah akibat politik divide et impera.

Pemerintah Hindia-Belanda sebenarnya memosisikan wilayah laut sebagai bagian integral dalam konsep archipelagic state untuk menyikapi perkembangan internasional. Melalui Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (Staatsblad 1939 No 422) atau dikenal dengan Ordonansi 1939, pemerintah Hindia-Belanda mengusahakan wilayah laut dan pulau-pulaunya dalam satu kesatuan. Inilah embrio awal munculnya pemahaman wawasan Nusantara yang dikenal melalui Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, serta Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS) pada 10 Desember 1982 yang diratifikasi RI tahun 1985.

Maka, sudah selayaknya pemerintahan hasil Pemilu 2014 kembali menghadirkannya dalam visi dan misi negara. Prinsip archipelagic state sebagai dasar persatuan akan melahirkan konsekuensi bagi seluruh bangsa Indonesia untuk menciptakan integrasi nasional Indonesia sebagai negara yang utuh (nation-state).

Indonesia wajib menempatkan semua wilayah perairan, termasuk pulau-pulau di dalamnya untuk membangun kehidupan politik, ekonomi, dan budaya, sebagai negara maritim sekaligus agraris kepulauan.

Aspek-aspek yang menjadi perhatian di antaranya adalah pengembangan industri pertahanan maritim, penyelesaian wilayah perbatasan, pencegahan imigran gelap, optimalisasi ekonomi maritim, termasuk di dalamnya pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan, pencegahan illegal fishing, dan pemberdayaan masyarakat maritim.

Akhirnya, pembangunan Indonesia yang berprinsip wawasan Nusantara harus diterjemahkan sebagai hasil dari konfigurasi yang terbentuk berdasarkan realitas maritim dan agraris.

Bahwa wilayah darat dan wilayah laut Indonesia sejajar dan sama pentingnya untuk membangun ketahanan dan stabilitas nasional dalam menyejahterakan kehidupan bangsa dan negara. Sangat mungkin kita menjadi poros maritim dunia, tinggal political will. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar