Menjadi
Poros Maritim Dunia
Imam Syafi’i ;
Kandidat Peneliti Pusat
Penelitian Politik LIPI
dengan
Fokus Kajian Sejarah Maritim
|
KOMPAS,
30 Juli 2014
”Usahakan
agar kita menjadi bangsa pelaut kembali, bangsa pelaut dalam arti
seluas-luasnya, bukan sekadar jongos di kapal, tetapi mempunyai armada niaga,
bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang.” (Soekarno, 1953)
Pidato tersebut
disampaikan Presiden Soekarno saat meresmikan Institut Angkatan Laut tahun
1953 yang menjadi cikal bakal Akademi Angkatan Laut (AAL). Indonesia memang
telah lama tidak berorientasi laut atau tidak bisa menjadi nakhoda di lautnya
sendiri.
Padahal, Sriwijaya,
Majapahit, dan beberapa kerajaan kecil yang tersebar di seluruh Nusantara
telah membangun kekuatan politik dan ekonomi berbasis kerajaan maritim.
Namun, kini kita melihat laut dengan ketakutan, lupa bahwa kita adalah bangsa
maritim yang hebat.
Tinggalkan
laut
Sejak lama, Indonesia dikenal
kekayaan alamnya sekaligus sebagai wilayah strategis pelayaran dan
perdagangan dunia. Pengaruh kebudayaan India terhadap kerajaan-kerajaan awal,
seperti Kutai di Kalimantan dan Tarumanagara di Jawa, menjadi bukti bahwa
Indonesia telah terlibat dalam pelayaran dan perdagangan internasional secara
aktif.
Perkembangan aktivitas ini
memunculkan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Demak, dan Banten yang mengusung
konsep negara maritim (city-state).
Pada perkembangannya,
masuknya kekuatan Eropa mulai abad ke-16 pada sistem pelayaran
pribumi—perdagangan antara pedagang-pedagang Asia Tenggara dan pedagang dari
India, Arab dan Tiongkok—sangat memengaruhi sistem pelayaran di Indonesia,
terlebih ketika kekuatan Eropa tersebut memonopoli perdagangan.
Pada masa itu, Portugis
dapat menguasai Malaka (1511), Spanyol menguasai Filipina (1571), dan Belanda
lewat kongsi dagangnya, VOC, menguasai Batavia (1619). Terjadilah perubahan
geopolitik, laut Indonesia pun menjadi pemisah, bukan lagi pemersatu.
Laut semakin ditinggalkan
begitu VOC menancapkan pengaruhnya pada Kerajaan Mataram Jawa. Keterlibatan
VOC dalam suksesi kepemimpinan di Jawa memosisikan VOC sebagai raja baru yang
menguasai ekonomi di Jawa, terutama yang berbasis di Laut Jawa.
Hal ini mempersempit
aktivitas pelaut-pelaut pribumi yang diperparah oleh kebijakan Raja Mataram
Amangkurat I (1647-1677). Amangkurat menghancurkan daerah-daerah pesisir yang
menjadi pusat perdagangan yang lepas dari kendalinya dan melarang rakyatnya
berdagang ke seberang lautan. Tahun 1655, ia menutup semua pelabuhan dan
memerintahkan pasukannya menghancurkan seluruh kapal Jawa (Anthony Reid, 2004: 105).
Sebaliknya, VOC membangun
kantor perdagangan di pesisir dan pedalaman Mataram, mendorong Mataram
menjadi kerajaan yang sepenuhnya agraris. Pada masa Amangkurat III, VOC
mendapatkan semua bandar laut yang sebelumnya milik Mataram (Tjiptoatmodjo, 1983: 190-191).
Penguasaan wilayah pantura
menjadi kemenangan luar biasa bagi Kerajaan Belanda dalam konstelasi ekonomi
dan politik global, terutama menghadapi Inggris dan Spanyol.
Dari pantura, pemerintah
Hindia Belanda semakin menancapkan hegemoni politiknya di wilayah-wilayah
selain Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Peraturan-peraturan
kemudian dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang tercatat baik dalam verslag (laporan-laporan kolonial)
ataupun staatsblad (lembaran
negara) yang semakin melegitimasi eksploitasi Nusantara.
Ubah
paradigma
Laut Indonesia memiliki
peran penting dulu dan ke depan. Oleh karena itu, kita perlu mengubah
paradigma lama yang masih menganggap kita hanya negara agraris besar dan
mengabaikan kemaritiman.
AB Lapian (2009)
mengungkapkan situasi ini terjadi karena kita selama ini salah mengartikan
gelar kita sebagai negara archipelagic
state.
Archipelagic state selalu
diartikan sebagai negara kepulauan yang dipisahkan oleh lautan,
padahalarchipelagic berasal dari bahasa Yunani, yaitu arch (besar atau utama)
dan pelagos (laut), sehingga lebih tepat bermakna negara laut utama yang
dihiasi pulau-pulau (Lapian, 2009: 2).
Inilah dampak arogansi
kolonialisme yang memosisikan laut Indonesia sebagai pemisah wilayah-wilayah
daratan (pulau), baik secara politik, budaya, maupun sosial-ekonomi. Jadilah
kepemilikan wilayah laut oleh kekuatan-kekuatan asing yang mereduksi kekuatan
lokal. Wilayah-wilayah yang sebelumnya terintegrasi terbelah akibat politik divide et impera.
Pemerintah Hindia-Belanda
sebenarnya memosisikan wilayah laut sebagai bagian integral dalam konsep
archipelagic state untuk menyikapi perkembangan internasional. Melalui Territoriale Zee en Maritieme Kringen
Ordonnantie 1939 (Staatsblad 1939
No 422) atau dikenal dengan Ordonansi 1939, pemerintah Hindia-Belanda
mengusahakan wilayah laut dan pulau-pulaunya dalam satu kesatuan. Inilah
embrio awal munculnya pemahaman wawasan Nusantara yang dikenal melalui
Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, serta Konvensi PBB tentang hukum laut
(UNCLOS) pada 10 Desember 1982 yang diratifikasi RI tahun 1985.
Maka, sudah selayaknya
pemerintahan hasil Pemilu 2014 kembali menghadirkannya dalam visi dan misi
negara. Prinsip archipelagic state sebagai dasar persatuan akan melahirkan
konsekuensi bagi seluruh bangsa Indonesia untuk menciptakan integrasi
nasional Indonesia sebagai negara yang utuh (nation-state).
Indonesia wajib menempatkan
semua wilayah perairan, termasuk pulau-pulau di dalamnya untuk membangun
kehidupan politik, ekonomi, dan budaya, sebagai negara maritim sekaligus
agraris kepulauan.
Aspek-aspek yang menjadi
perhatian di antaranya adalah pengembangan industri pertahanan maritim,
penyelesaian wilayah perbatasan, pencegahan imigran gelap, optimalisasi
ekonomi maritim, termasuk di dalamnya pengelolaan sumber daya laut yang
berkelanjutan, pencegahan illegal fishing, dan pemberdayaan masyarakat
maritim.
Akhirnya, pembangunan Indonesia
yang berprinsip wawasan Nusantara harus diterjemahkan sebagai hasil dari
konfigurasi yang terbentuk berdasarkan realitas maritim dan agraris.
Bahwa wilayah darat dan wilayah laut
Indonesia sejajar dan sama pentingnya untuk membangun ketahanan dan
stabilitas nasional dalam menyejahterakan kehidupan bangsa dan negara. Sangat
mungkin kita menjadi poros maritim dunia, tinggal political will. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar