Sekolah
Bebas Politik
Nanang Martono ; Dosen Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto
|
HALUAN,
28 Agustus 2014
Setelah 69 tahun merdeka, bangsa ini seolah belum mampu menata diri.
Meski telah dianggap sebagai berusia lanjut yang telah mapan, namun kondisi
bangsa ini tidak semapan usianya.
Dalam masalah pendidikan,
Indonesia masih sibuk mencari formula kurikulum yang pas. Akibatnya, bongkar
pasang kurikulum menjadi hal biasa. Kita masih meributkan seragam sekolah:
antara boleh berjilbab atau tidak; sampai warna sepatu yang harus seragam,
dan sebagainya. Bahkan, akhir-akhir ini, ada keributan kecil yang disebabkan
masalah hari efektif sekolah: apakah enam atau lima hari.
Hanya masalah sepele. Tapi
itulah masalah yang selalu membuat geger siswa, guru, orang tua. Biang
keroknya adalah pemerintah yang tidak mampu menyusun konsep strategis
pendidikan. Arah pendidikan menjadi tidak jelas.
Desentralisasi Naif
Sejak reformasi bergulir, angin
segar menyelimuti dunia pendidikan. Pemerintah menghembuskan nuana baru
melalui ide desentralisasi pendidikan. Harapannya sekolah dapat
menyelenggarakan proses pendidikan berbasis kebutuhan masing-masing.
Namun sayang, desentralisasi hanya sampai pada kebijakan di tingkat daerah.
Sekolah sering kali tidak berdaya melawan arogansi pemerintah daerah
(pemda). Sekolah (dan guru) belum mampu menjadi agen yang kritis. Peran pendidikan
sebagai kontrol politik pun mandul.
Larangan siswa berjilbab di Bali
adalah bukti arogansi pemda. Di Kupang, juga terjadi hal yang sama ketika
kepala sekolah terpaksa menerima semua calon siswa baru yang membekali
dirinya dengan surat sakti dari pejabat daerah. Akibatnya, sekolah tersebut
menjadi sekolah gemuk, sementara sekolah lain kekurangan siswa. DKI Jakarta
masih meributkan soal hari libur. Penulis yakin, fenomena ini juga terjadi di
daerah lain.
Bagaimana mereka mampu menjadi
agen kontrol: guru diangkat dan digaji bupati, kepala sekolah juga dipilih
bupati. Secara tidak langsung, aktor yang seharusnya netral, justru menjadi
kepanjangan tangan pemerintah. Inilah akibatnya bila praktik pendidikan
bercampur aduk dengan masalah politik. Jabatan kepala sekolah tidak lain
adalah jabatan hasil dagang sapi.
Inilah desentralisasi naif.
Sistem ini hanya melahirkan raja-raja kecil di daerah. Seharusnya, otonomi
sekolah bukan sebatas melaksanakan kurikulum pembelajaran. Namun, guru dan
staf sekolah diberi kewenangan untuk melakukan fit and proper test terhadap calon kepala sekolah yang akan
memimpinnya.
Masalah aturan seragam, bahkan
masalah hari libur, serahkan saja kepada sekolah. Pemda cukup menjadi pengontrol
mana kala ada kebijakan sekolah dianggap merugikan orang tua atau masyarakat.
Pemda sebaiknya menjadi mediator, bukan pengatur.
Otonomi Penuh
Penulis berpendapat bahwa
masalah perekrutan guru diserahkan kepada pemerintah pusat. Dengan sistem
informasi yang serba online, sebenarnya tidak ada alasan pemerintah pusat
sulit mengontrol masalah administrasi kepegawaian. Masalah sertifikasi guru,
bisa dilakukan online.
Perekrutan kepala sekolah harus
dilakukan secara terpadu, dengan melibatkan hasil pertimbangan guru dan
staf. Bila terjadi perselisihan atau ketidakcocokan antara kepala sekolah,
guru, dan staf, akan mengganggu kinerja keduanya. Dan siswa hanya akan
menjadi korban.
Otonomi pendidikan yang berbaur
dengan sistem demokrasi langsung di tingkat daerah justru membawa kerugian
bagi sistem pendidikan nasional. Pendidikan menjadi lembaga yang tak mampu
mengembangkan inovasi dan kreativitasnya. Mereka pun mandul.
Pendidikan mutlak dipisahkan
dari kepentingan politik. Dengan mekanisme ini, dinas pendidikan dapat
bersinergi dengan sekolah bukan dalam masalah administratif belaka. Mereka
juga dituntut untuk memiliki agenda kreatif yang bertujuan meningkatkan
kualitas pendidikan masyarakat yang tidak mampu dilakukan sekolah.
Misalnya, dinas pendidikan
menyelenggarakan kegiatan edukatif di masa liburan (rekreasi, pengembangan
bakat dan minat), menyelenggarakan ekstrakurikuler yang tidak mampu
dilaksanakan sekolah karena keterbatasan fasilitas dan tenaga pendidik.
Sehingga, perlu ada ekstrakurikuler yang diselenggarakan sekolah dan ada pula
ekstrakurikuler yang diselenggarakan pemda yang dapat diikuti siswa dari
berbagai sekolah.
Melalui agenda ini, setiap
siswa sekolah dapat saling berinteraksi. Tidak ada lagi celah yang memisahkan
mereka hanya karena perbedaan sekolah. Ikatan primoldialisme pun luntur,
tawuran antarsekolah dapat diminimalisasi.
Namun, selama dinas pendidikan
masih disibukkan dengan masalah administrasi, mustahil pendidikan mampu
menjadi lembaga aktif yang mampu mengatasi masalah di daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar