Sabtu, 02 Agustus 2014

Maaf, Janji, dan Pembebasan

                                   Maaf, Janji, dan Pembebasan

Agus Sudibyo  ;   Penulis buku Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt, Direktur eksekutif Matriks Indonesia
JAWA POS, 01 Agustus 2014
                                                                                                                       


IDUL Fitri selalu dirayakan sebagai hari kemenangan dan pembebasan. Kemenangan melawan hawa nafsu selama bulan suci Ramadan, bulan di mana umat Islam menyempurnakan iman dan ibadahnya selama sebulan penuh. Pembebasan terhadap dosa dan kesalahan karena pada hari yang suci itu, umat Islam saling memaafkan kesalahan dan berjanji untuk tindakan dan sikap yang lebih baik di kemudian hari.

Maaf dan janji tak pelak lagi identik dengan Idul Fitri. Menariknya, keutamaan maaf dan janji tidak hanya dapat dijelaskan berdasar dalil bahwa Idul Fitri memang momentum yang dihadirkan Allah swt kepada umat-Nya untuk menyucikan diri, menebus dosa-dosa, dan mengikat kembali kebersamaan antar sesama. Keutamaan maaf dan janji juga dapat diasalkan kepada khitah manusia sebagai makhluk yang bertindak dan berbicara di antara sesamanya dalam ruang kehidupan yang majemuk. Kemampuan bertindak dan berbicara di antara sesamanya inilah keistimewaan yang membedakan manusia dari ciptaan Allah lainnya.

Namun, kapasitas bertindak yang mencirikan jati diri manusia itu memiliki keterbatasan. Pertama, tindakan dan dampak-dampaknya sering menjadi sesuatu yang tidak dapat dihapuskan begitu saja (irreversible). Kedua, seperti apa bentuk dan dampak dari tindakan manusia sering kali juga tidak dapat dipastikan atau diperkirakan sebelumnya (unpredictable).

Jika bertolak dari kajian antropologi filosofis Hannah Arendt, jalan keluar dari ketakterhapusan dan ketakterdugaan tindakan manusia itu tak lain adalah kekuatan maaf dan janji. Tanpa pemaafan, manusia akan terus-menerus terpenjara kesalahan masa lalu dan menanggung konsekuensi tindakan yang keliru untuk selamanya. Tanpa kemampuan untuk menghapus apa yang telah diperbuat, manusia akan terperangkap ke dalam belenggu takdir.

Sebaliknya, melalui momentum saling memaafkan, umat manusia saling membebaskan diri dari apa yang telah terjadi untuk kemudian terlahir kembali menjadi manusia yang merdeka. Hanya dengan kehendak dan keikhlasan untuk saling menghapuskan kesalahan, manusia dapat membuka lembaran baru dalam kehidupan privat maupun publiknya.

Saling memaafkan menjadi kebutuhan karena manusia tidak mungkin hidup sendiri. Di satu sisi, manusia yang otentik merujuk pada individu yang unik, independen, mampu bersikap kritis terhadap sistem, dan berjarak terhadap yang lain. Di sisi lain, manusia juga hidup di tengah-tengah manusia lain yang unik dan otentik pula. Manusia otentik bukanlah individu atomik yang teralienasi dari dunia benda-benda dan dari orang lain, melainkan individu yang mampu bertindak bersama-sama yang lain.

Dalam konteks inilah, kekuatan maaf menjadi perekat yang mengintegrasikan individu-individu yang berbeda-beda dan menghindarkan mereka dari sirkuit balas dendam sebagai reaksi otomatis-alamiah atas kesalahan yang diperbuat orang lain. Namun, perlu digarisbawahi, maaf hanya relevan untuk kesalahan yang memang dimaafkan. Seperti dikatakan Immanuel Kant, maaf tidak dapat diberikan kepada kejahatan yang ekstrem (radical evil). Dalam konteks Indonesia hari ini, maaf jelas tidak dapat diberikan kepada para koruptor, pelanggar HAM, atau perusak lingkungan yang telah menyengsarakan masyarakat untuk kesenangan sendiri.

Lalu, bagaimana kita menjelaskan duduk perkara janji? Keutamaan janji berangkat dari kejujuran untuk mengakui keterbatasan kemampuan manusia guna memprediksi konsekuensi tindakannya sendiri secara pasti. Seperti dijelaskan dalam psikoanalisis, manusia tidak hanya dikendalikan rasio, namun juga naluri dan keinginan. Jika dibandingkan dengan instansi kesadaran, instansi ketidaksadaran bahkan dianggap lebih memengaruhi perilaku dan tindakan manusia. Determinasi naluri dan keinginan itulah yang membuat manusia tak bisa menghindari tindakan dan sikap yang tidak patut atau salah sama sekali.

Persoalannya, manusia toh tetap harus melangkah ke depan, tanpa ragu-ragu dan tanpa selalu dihinggapi kekhawatiran berbuat salah. Di sinilah keutamaan berjanji dibutuhkan. Dalam pandangan Arendt, janji adalah obat untuk ketakterdugaan tindakan manusia serta kemustahilan untuk memperkirakan konsekuensi tindakan yang akan terjadi.

Tanpa kemampuan atau kesempatan berjanji, kita tak pernah dapat membentuk identitas, selalu terbebani kemungkinan kesalahan yang tak termaafkan dan tak dapat diprediksi. Manusia seperti bergerak tanpa arah dalam kegelapan hati yang kesepian, berhadapan dengan kontradiksi dan keraguan dunia yang tanpa kepastian.

Janji berfungsi untuk mengatasi kegelapan dalam hubungan antarmanusia. Janji membantu manusia mereduksi ketidakpercayaan atau perasaan terancam pihak lain. Sehingga manusia yang berbeda dan punya kepentingan masing-masing tetap dapat menjalin hubungan atau kerja sama. Janji sangat fundamental sebagai dasar kebebasan dan kebersamaan antarmanusia.

Pada akhirnya, berjanji adalah sebentuk sikap moral. Sejauh moralitas dipahami lebih dari sekadar totalitas kebiasaan, standar perilaku, serta adat istiadat yang diperkuat tradisi dan perjanjian, tak ada yang lebih kuat mendukung moralitas daripada iktikad baik untuk menyikapi risiko-risiko tindakan dengan kemampuan untuk memaafkan atau dimaafkan, untuk berjanji dan berusaha secara konsekuen melaksanakan janji itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar