Krisis
BBM di Masa Kritis
Anif Punto Utomo ; Direktur Indostrategic Economic
Intelligence
|
REPUBLIKA,
28 Agustus 2014
Kini,
antrean untuk mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai merata di
seluruh provinsi. Barangkali hanya provinsi DKI Jakarta saja yang masih
disuplai maksimum. Maklum sebagai ibu kota negara, Jakarta adalah wajah
Indonesia. Pemerintah tak mau tercoreng mukanya jika terjadi antrean panjang
yang memalukan karena BBM. Apalagi antrean bisa menambah kemacetan yang sudah
begitu parah.
Antre
BBM merupakan konsekuensi dari nyaris jebolnya kuota BBM bersubsidi. Seperti
tercantum dalam APBN-P, kuota BBM bersubsidi 46 juta kiloliter, lebih rendah
dari yang ditetapkan sebelumnya 48 juta kiloliter. Sejak awal mestinya
pemerintah paham bahwa kuota tersebut pasti jebol jika tidak ada kebijakan
radikal. Bayangkan sampai Juli silam saja mobil yang terjual sudah 733.736
dan sepeda motor 4,62 juta, berapa ribu kiloliter tambahan BBM yang
dibutuhkan?
Beberapa
kebijakan sudah dilakukan pemerintah untuk membatasi BBM bersubsidi. Pertama,
mewajibkan mobil dinas pemerintah dan BUMN mengunakan BBM nonsubsidi. Kebijakan
ini pernah jalan tetapi tak efektif dan berakhir begitu saja tanpa kejelasan.
Kedua, pemasangan radio frequency identification (RFID), rencananya dipasang
di 100 juta kendaraan dan selesai pertengahan 2014, langkah ini kandas.
Ketiga, melarang penjualan di akhir pekan, tapi tidak terealisasi.
Di
tengah ketidakmampuan pemerintah melakukan pembatasan, Pertamina tampil
memimpin. Awalnya sebagaimana disosialisasikan di berbagai media beberapa
SPBU di Jakarta Pusat dan di jalan tol, tidak dipasok BBM bersubsidi. Tak
lama kemudian diam-diam, tanpa sosialisasi yang memadai, perusahaan yang
masuk dalam Fortune 500 ini langsung mengurangi pasokan BBM subsidi ke SPBU
di daerah. Akibatnya, seperti terlihat sekarang, antrean kendaraan terjadi di
seluruh Indonesia.
Bagi
Pertamina memang tidak ada jalan lain kecuali melakukan pembatasan pembelian
BBM bersubsidi. Karena jika kuota jebol, maka Pertamina ikut menanggung risiko subsidi. Sekarang saja Pertamina
sudah gerah dengan beban potensi subsidi untuk LPG sebesar Rp 6 triliun
karena tidak boleh menaikkan harga LPG
ukuran 12 kg yang diperuntukkan bagi golongan menengah atas.
Tapi,
rupanya efek dari pembatasan BBM bersubsidi ini tidak sederhana, mengingat
BBM tidak semata untuk transportasi mobil dan motor. Di beberapa tempat,
masyarakat menengah bawah di pedesaan banyak menggantungkan hidup dari BBM.
Ketika mereka harus mengantre dan terkadang tidak memperoleh jatah, maka
sebagian ladang kehidupan mereka terampas.
Efek
dari ketergantungan masyarakat terhadap BBM itu, di antaranya, petani di
Indramayu dan Cirebon tidak mampu mengairi sawahnya karena pompa air tidak
bisa beroperasi. Mesin penggilingan padi harus beristirahat. Jasa
penggergajian berhenti. Ratusan kapal nelayan tidak beroperasi sehingga
ribuan nelayan menganggur. Angkutan kota hanya beroperasi sebagian sehingga
anak-anak terpaksa membolos karena tidak mendapatkan angkot. (Republlika 26/8/14).
Kunci
dari penyelesaian ini sebetulnya ada pada pemimpin. Mengatasi problem BBM perlu langkah radikal
dan langkah radikal itu tidak lain adalah menaikkan harga BBM. Untuk
menaikkan harga BBM inilah diperlukan nyali pemimpin yang kuat. Maklum, akan
banyak kritikan dan hujatan dari
partai 'oposisi' dan protes dari masyarakat, termasuk demo yang terkadang
masif. Diperlukan mental baja untuk menghadapi tantangan seperti itu.
Menaikkan
harga BBM memang keputusan sulit mengingat spiralling effect yang ditimbulkan
besar. Intinya akan terjadi kenaikan
harga secara menyeluruh. Inflasi menjadi tinggi. Kesejahteraan masyarakat
menurun. Jumlah orang miskin yang 28,4 juta akan menggelembung. Bunga bank
akan tetap tinggi, bahkan mungkin bisa naik untuk mengimbangi inflasi.
Tetapi, jika tidak dinaikkan, situasinya akan tambah parah.
Saat
ini adalah masa kritis di mana merupakan masa transisi peralihan kekuasaan
dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke presiden terpilih Jokowi.
Pelantikan presiden baru akan dilakukan 20 Oktober nanti atau tinggal sekitar
50 hari lagi. Siapakah yang akan mengambil risiko untuk menaikkan harga BBM,
apakah SBY atau Jokowi.
Apakah
SBY mau mengambil risiko? SBY bukan tipe risk taker yang siap menghadapi
hujatan dan cercaan karena menaikkan harga BBM, meskipun dia berpengalaman
tiga kali menaikkan harga BBM. Apalagi periode pemerintahannya hampir usai,
dia tidak mau dikenang sebagai presiden yang 'menyengsarakan' rakyat di akhir
jabatannya. SBY akan cari aman.
Tetapi,
jika tidak segera dinaikkan, situasinya akan makin mengkhawatirkan. Antrean
makin panjang sehingga memaksa
sebagian orang menginap di SPBU, situasi ini akan menjadikan masyarakat
frustrasi. Kita ngeri membayangkan masyarakat yang marah secara kolektif
karena sudah antre panjang BBM tapi tidak memperoleh jatah. Mobil Pertamina
berisi BBM pun sudah diincar untuk dibajak. Di sinilah sensitivitas SBY
diuji.
Jika
SBY tetap teguh tidak menaikkan harga BBM, berati begitu Jokowi-JK dilantik
harus bersiap mengambil risiko itu. Tidak ada jalan lain. Apalagi menaikkan
BBM merupakan langkah yang rasional pada saat situasi keuangan negara masih
membutuhkan alokasi untuk infrastuktur, kesehatan, dan pendidikan. Subsidi
BBM sudah di luar batas nalar, menyedot seperenam dari APBN yang sudah tembus
Rp 2.000 triliun.
Yakinlah
bahwa resistensi masyarakat terhadap kenaikan BBM tidak sekeras masa lalu.
Apalagi melihat situasi sekarang yang begitu sulitnya memperoleh BBM. Bagi
masyarakat lebih baik BBM naik sedikit tapi mudah diperoleh, daripada BBM
murah tetapi sulit mendapatkannya. Masyarakat juga sudah mulai tersadarkan
bahwa subsidi BBM ratusan triliun banyak dinikmati kelas menengah atas.
Secara
politis memang menjadi dilema bagi pendukung Jokowi. Pada saat SBY menaikkan harga BBM Juni
tahun lalu, PDIP bilang: pemerintah tidak prorakyat. Kini ketika terjadi
krisis BBM dan pemerintah yang notabene masih dipegang SBY belum menaikkan
harga BBM, PDIP bilang: pemerintah meninggalkan bom waktu.
Namun,
melihat kepanikan masyarakat yang semakin tinggi, tampaknya tidak ada jalan
lain, BBM harus segera dinaikkan. Nanti, SBY dan Jokowi bersama-sama
mengumumkan kenaikan harga BBM. Kalau perlu biar terlihat adil, diumumkan
bahwa BBM akan dinaikkan dua kali, pertama pada masa pemerintahan SBY dan
berikutnya menyusul pada pemerintahan Jokowi.
Tampilnya
kedua pemimpin secara bersama akan memberi makna bahwa persoalan BBM
merupakan tanggung jawab bersama untuk menyelamatkan nasib bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar