Ujian
Satriya Piningit
Sumaryoto Padmodiningrat ; Anggota DPR
|
SUARA
MERDEKA, 30 Agustus 2014
SEORANG satriya piningit harus diuji guna membuktikan
kesaktiannya. Dengan prinsip rawe-rawe rantas malang-malang putung, ia mampu
mengatasi. Itu pulakah yang terjadi pada Joko Widodo, presiden terpilih
Pilpres 2014, yang diidentifikasikan satriya piningit?
Ujian itu datang sebelum, saat, dan setelah Pilpres 9 Juli 2014.
Semasa kampanye, Jokowi diuji dengan fitnah dan kampanye hitam melalui Obor
Rakyat. Setelah pilpres, dia menghadapi ujian lain, yakni gugatan
Prabowo-Hatta. Setelah MK menolak gugatan itu pada 21 Agustus 2014, Jokowi
masih menghadapi ujian berikutnya, yakni gugatan di PTUN, MA, dan Mabes Polri
yang diajukan rivalnya.
Setelah dilantik pada 20 Oktober 2014 pun, Jokowi harus
menghadapi ujian lain, yakni beban subsidi BBM dan utang luar negeri. Ujian
itu bisa mengunci langkahnya. Dalam RAPBN 2015 yang dibacakan Presiden SBY
pada 15 Agustus 2014, subsidi energi diproyeksikan 18% dari total
pengeluaran. Subsidi BBM Rp 291 triliun, naik dari pagu APBN-P 2014
sebesar Rp 247 triliun.
Padahal APBN-P 2014 sudah ”bermasalah” mengingat volume konsumsi
terus meningkat, sementara undang-undang membatasi tidak boleh melebihi 46
juta kiloliter (kl). Hingga Oktober atau November 2014, komsumsi BBM
bersubsidi diprediksi melampaui batas itu.
Mau tak mau Jokowi-JK harus mengurangi atau bahkan mencabut
subsidi, dengan cara menaikkan harga. Kenaikan harga BBM ibarat kematian yang
pasti terjadi, hanya soal waktu. Bila harga premium naik jadi Rp 8.000/ liter
misalnya, dari sebelumnya Rp 6.500, negara bisa menghemat Rp 40 triliun.
Meski bukan kebijakan populer, Jokowi menyatakan kesiapannya. Selama ini
pemerintah menyubsidi Rp 3 triliun per hari, dan sebagian besar dinikmati
orang kaya pemilik mobil pribadi.
Ujian kedua adalah utang luar negeri yang terus membengkak.
Dalam RAPBN 2015, SBY mengalokasikan 7,6% dari total pengeluaran guna membayar
bunga utang. Utang luar negeri pada akhir Juni 2014 tercatat 284,9 miliar
dolar AS, meningkat 8,6 miliar dolar atau 3,1% dibanding posisi akhir kuartal
I-2014 Rp 276,3 miliar dolar. Peningkatan utang ini dipengaruhi oleh
meningkatnya kepemilikan nonresiden atas surat utang yang diterbitkan baik
oleh sektor swasta (4,2 miliar dolar), publik (1,2 miliar dolar), maupun
pinjaman luar negeri sektor swasta (1,6 miliar dolar).
Siap Bergabung
Jadi, rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB)
meningkat dari 32,33% pada kuartal I-2014 menjadi 33,86% pada Juni 2014.
Sementara debt service ratio (DSR), rasio total pembayaran pokok dan bunga
utang luar negeri terhadap total penerimaan transaksi berjalan, meningkat
dari 46,42% pada kuartal sebelumnya menjadi 48,28% pada Juni 2014.
Ujian berikutnya adalah penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Ada
tujuh kasus pelanggaran berat HAM yang harus diselesaikan dengan membentuk
Pengadilan HAM ad hoc. Kasus itu peristiwa pascapemberontakan G30S/PKI tahun
1965; penembakan misterius; kasus Talangsari Lampung; tragedi
Trisakti-Semanggi I dan II tahun 1998; penculikan aktivis tahun 1997/1998;
dan kasus pelanggaran HAM di Wasior Papua.
Tak mudah bagi Jokowi menghadapi ujian itu, apalagi bila
komposisi politik di parlemen 2014-2019 didominasi Koalisi Merah Putih. Saat
ini dukungan dari 4 parpol pengusung, yakni PDIP (109 kursi), PKB (47),
Nasdem (35), dan Hanura (16) baru menghasilkan kekuatan 207 kursi dari total
560. Jumlah itu masih kurang aman bagi Jokowi-JK untuk mengamankan kebijakan
di parlemen.
Jokowi mengisyaratkan 3 parpol dari Koalisi Merah Putih akan
bergabung, yakni Demokrat (61 kursi), PAN (49) dan PPP (29). Tiga parpol
tambahan itu menyumbang 149 kursi sehingga Koalisi Indonesia Hebat
berkekuatan 356 kursi (63,57%). Adapun Golkar (91), Gerindra (73), dan PKS
(40) menjadi kekuatan penyeimbang.
Tidak mudah bukan berarti tak bisa. Bila Jokowi tetap berprinsip
rawe-rawe rantas malang-malang putung,
insya Allah tak ada yang tak bisa diatasi. Apalagi dari Jokowi kita melihat
representasi Satriya Piningit atau Ratu Adil seperti dinubuatkan Jayabaya,
Raja Kediri (1135-1157), kemudian ditegaskan Ranggawarsita (1802-1873),
pujangga Keraton Surakarta.
Jokowi diindentifikasi sebagai Satriya Pinandita Sinisihan Wahyu
(pemimpin religius dan digambarkan bagai begawan yang senantiasa bertindak
atas dasar hukum), setelah sebelumnya muncul satriya lain, yakni Satriya
Kinunjara Murwa Kuncara (pemimpin yang ’’akrab’’ dengan penjara, namun
berhasil membebaskan bangsa dari penjajah) yang diindentifikasi sebagai Bung
Karno
Kemudian, Satriya Mukti
Wibawa Kesandung Kesampar (pemimpin berharta dan disegani namun akhirnya
dihujat) yakni Soeharto; Satriya
Jinumput Sumela Atur (pemimpin yang diangkat hanya untuk masa transisi)
yakni BJ Habibie; dan Satriya Lelana
Tapa Ngrame (pemimpin yang suka keliling dunia tetapi religius) yakni KH
Abdurrahman Wahid.
Seterusnya Satriya
Piningit Hamong Tuwuh (pemimpin yang muncul membawa karisma keturunan)
yakni Megawati Soekarnoputri; dan Satriya
Boyong Pambukaning Gapura (pemimpin yang berpindah tempat, dari menteri
menjadi presiden, dan menjadi pembuka gerbang menuju zaman keemasan) yakni
SBY. Apakah benar Jokowi representasi dari Satriya Pinandita Sinisihan Wahyu atau bukan, akan dia buktikan
melalui kinerja kepemimpinannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar