Pembelajaran
dan Internet
J Sumardianta ; Guru SMA Kolese De Britto
Yogyakarta
|
KORAN
TEMPO, 28 Agustus 2014
Revolusi
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) mengubah banyak hal. Ada tiga
pergeseran yang digerakkan TIK: perubahan dari eksklusif menjadi inklusif,
pergeseran dari vertikal ke horizontal, dan transformasi individual ke
sosial.
TIK,
pada tataran pendidikan praktis, mendobrak pembelajaran. Dari individual
menjadi kolaboratif; dari pasif menjadi pembelajaran berpikir aktif; dari
guru monolog menjadi murid interaktif. Model relasi kuasa guru-murid tidak
relevan lagi. Dinding penyekat sosial telah dirubuhkan Internet. Sekolah
harus semakin transparan dan inklusif.
Saya
punya murid hebat di kelas XI SMA jurusan IPA bernama Wahyu. Saat Wahyu duduk
di bangku kelas X, saya mengajar Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di tujuh
kelas paralel. Mengajar PKn itu gampang-gampang susah. Gampang bila kegiatan
belajar mengajarnya inspiratif, susah bila materi yang diajarkan membuat
murid bosan.
Pada
semester ganjil, saya hendak mengajarkan kompetensi dasar (KD).
"Menunjukkan semangat kebangsaan, nasionalisme, dan patriotisme dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara". Kalimat KD ini saja
sudah abstrak. Bila diajarkan apa adanya, bakal tidak jelas hasilnya. Kelas
bisa menjemukan. Murid terjebak dalam cara berpikir tingkat rendah, yakni
menghafalkan materi ajar.
Saya
menugasi semua murid membuat video testimoni tentang heroisme kedua orang tua
mereka dalam mendidik anak-anak. Diskusi dalam tujuh kelas paralel
menyepakati bahwa pahlawan para murid yang sesungguhnya, ya, orang tua
mereka. Sukarno, Hatta, dan Tan Malaka memang patriot. Tapi itu bakal menjadi
pengetahuan dangkal nasionalisme bila pengajaran terjebak pada materialisme
kurikulum.
Tugas
membuat video dikerjakan secara kelompok. Siswa yang memiliki peranti digital
lengkap membantu siswa yang berperangkat terbatas. Testimoni direkam
sendiri-sendiri. Bila tinggal bersama kedua orang tua, saat testimoni
direkam, kedua orang tua berada di sisi kanan-kiri murid. Bila orang tua
tinggal di luar kota, pernyataan orang tua direkam lewat pembicaraan telepon.
Hasil testimoni kemudian diedit bersama dalam kelompok.
Saya
merasakan betul dahsyatnya kekuatan sinergis dalam kerja kelompok. Murid,
dalam collaborative learning, belajar menyatukan kekuatan. Bukan berkompetisi
saling melemahkan sebagaimana umum diperagakan dalam pembelajaran
konvensional-individual.
Testimoni
Wahyu menggetarkan. Wahyu, saat unjuk kerja video buatannya, menangis
tersedu-sedan. Teman sekelas menyoraki dia. Saya hardik mereka untuk berhenti
menertawakan Wahyu. Apa salahnya seorang murid menangis saat pelajaran PKn?
Saya memperbolehkan murid melepaskan ketegangan emosional yang telah lama
mengendap di alam bawah sadar mereka.
Dalam
tayangan testimoni, Wahyu hanya bersama ibunya. Ayahnya meninggal karena
sakit jantung saat Wahyu masih berusia balita. Ibunya pontang-panting
sendirian membesarkan sang anak semata wayang. Wahyu tidak tega ibunya
terus-terusan berpindah rumah kontrakan.
Di
mana hati diletakkan, di situ proses pembelajaran dimulai. Pembelajaran PKn
menyentuh hati Wahyu. Anak ini telah mendapatkan value dari kerja kelompok
menyusun video. Saya langsung membidik tujuan hidupnya. Saya bilang ke Wahyu:
wujudkanlah impian besarmu! Inilah model pendidikan kontekstual pada zaman
Internet. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar