Mengapa
Hendropriyono?
Bawono Kumoro ; Peneliti Politik The Habibie
Center
|
KORAN
SINDO, 28 Agustus 2014
USAI
sudah pesta demokrasi lima tahunan pemilihan presiden (pilpres). Komisi
Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla
sebagai pemenang pilpres tahun 2014 dengan perolehan 70.997.833 suara
(53,15%).
Sementara
pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa memperoleh 62.576.444 suara
(46,85%). Kemenangan pasangan nomor urut satu itu kian kukuh pascapenolakan
Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan perselisihan hasil pemilihan umum yang
diajukan oleh pasangan Prabowo-Hatta pada Kamis (21/8) lalu.
Berbagai
pekerjaan rumah terkait kehidupan bangsa dan negara –baik di bidang ekonomi,
politik, maupun hukum– telah menanti untuk segera dituntaskan setelah
pasangan nomor urut dua tersebut secara resmi dilantik sebagai presiden dan
wakil presiden pada 20 Oktober mendatang.
Seiring
dengan hal itu, presiden terpilih Joko Widodo telah membentuk tim transisi
dengan komposisi keanggotaan Rini Mariani Soemarno, Anies Baswedan, Andi
Widjajanto, Hasto Kristianto, dan Akbar Faizal.
Beberapa
tugas utama tim transisi adalah mempersiapkan hal-hal strategis terkait Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2015, mempersiapkan arsitektur
kabinet, dan mempersiapkan kelancaran rencana program Joko Widodo-Jusuf
Kalla.
Pembentukan
tim transisi menuai apresiasi karena dinilai sebagai ikhtiar politik Joko
Widodo selaku presiden terpilih, untuk menghemat waktu agar pemerintahan
mendatang dapat langsung bekerja setelah pelantikan.
Meskipun
demikian, tidak sedikit pula kritik tajam publik ditujukan kepada Joko Widodo
terkait pembentukan tim transisi, terutama soal keberadaan tokoh
kontroversial AM Hendropriyono di jajaran penasihat. Tidak kurang istri
almarhum Munir, Suciwati, mengkritik keras keputusan Joko Widodo tersebut.
Mantan
wali kota Solo itu berdalih memilih AM Hendropriyono sebagai penasihat
semata-mata untuk kepentingan urusan intelijen bagi kantor transisi.
Sudah
menjadi rahasia umum bila nama AM Hendropriyono termasuk tokoh penuh
kontroversi dan memiliki resistensi tinggi di mata publik, terutama para
aktivis dan pegiat hak asasi manusia (HAM). Guru besar bidang ilmu intelijen
ini diduga terkait peristiwa pelanggaran HAM di Talangsari tahun 1989 saat
menjabat danrem 043 Garuda Hitam Lampung.
Selain
itu, dia juga diduga terlibat dalam usaha pembunuhan mantan aktivis Munir
saat menjabat sebagai kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2004. Karena
itu, wajar bila keberadaan nama AM Hendropriyono sebagai penasihat tim
transisi mengundang keprihatinan publik.
Bukan
tidak mungkin jabatan sebagai penasihat tim transisi merupakan awal pembuka
jalan untuk menduduki posisi strategis di kabinet Joko Widodo mendatang,
seperti menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan (menko polhukam).
Apalagi,
AM Hendropriyono memiliki kedekatan dengan Megawati Soekarnoputri yang
notabene ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sekaligus mentor
politik Joko Widodo. Harus diakui, dalam konteks Indonesia, penegakan HAM
masih menjadi sebuah pekerjaan rumah besar yang belum dituntaskan.
Di
tengah hiruk-pikuk politik pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014, pekerjaan
rumah itu pun terasa kian berat untuk dituntaskan karena sejumlah tokoh
terduga pelanggar HAM masih belum menjauh dari pusat-pusat kekuasaan negara.
Atau justru kian mendekat dengan lingkaran terdalam kekuasaan?
Sulit
dipungkiri kemunculan kembali para elite dengan rekam jejak kelam di masa
lalu di langgam politik nasional saat ini merupakan gambaran konkret tentang
tidak adanya perasaan bersalah dan penyesalan diri atas berbagai dosa politik
di masa lalu, termasuk masalah pelanggaran HAM.
Keterlibatan
mereka dalam kontestasi politik saat ini dapat dilihat sebagai bentuk
ketidakrelaan tinggal di pinggiran sejarah. Ada sebuah kepercayaan besar
dalam diri mereka dengan berkiprah di dunia politik peluang untuk masuk ke
dalam lingkaran kekuasaan akan kembali terbuka.
Boleh
jadi pula mereka meyakini jabatan di pemerintahan kelak akan dapat melindungi
mereka dari berbagai tuntutan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Terkait
hal itu ada baiknya apabila kita melihat pengalaman Sudan. Lima tahun lalu
International Criminal Court mengesahkan perintah penangkapan internasional
(arrest warrant) terhadap Presiden Sudan Omar Hassan Ahmad al-Bashir sebagai
pelaku tidak langsung dari kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di
Darfur.
Statuta
International Criminal Court tidak mengakui adanya kekebalan hukum sekalipun
pihak bersangkutan tengah menjabat sebagai kepala negara. Ditegaskan dengan
jelas, seorang pejabat negara tetap dapat dituntut secara pidana oleh
pengadilan internasional.
Pengalaman
Sudan memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa merupakan kesalahan besar
jika mengira sebuah jabatan politik pemerintahan dapat melindungi seseorang
dari tuntutan hukum pelanggaran HAM.
Sebagai
bangsa, kita kelak tentu tidak ingin mendapatkan aib karena seorang pejabat
tinggi negara diseret ke pengadilan internasional atas tuduhan pelanggaran
HAM.
Mungkin
benar perkataan seorang tokoh bernama Mirek dalam novel The Book of Laugher
and Forgetting karya Milan Kundera bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan
merupakan perjuangan melawan lupa.
Ketika
deretan kejahatan kemanusiaan dan kekerasan oleh negara terhapus dari memori
kolektif publik, tidak aneh bila tokoh-tokoh dengan catatan kelam di masa
lalu dapat berganti peran menjadi seorang pahlawan.
Harus
diingat bila keterbukaan dan kebebasan politik kita nikmati di era reformasi
seperti saat ini bukanlah cek kosong. Segala keterbukaan dan kebebasan
politik itu dapat hadir karena ditebus dengan tetesan peluh dan darah dari
para pejuang gerakan-gerakan reformasi.
Kehadiran
era reformasi merupakan kesempatan emas bagi negara untuk membayar lunas
utang kepada mereka yang pernah menjadi korban rezim masa lalu.
Semoga
Joko Widodo belum lupa dan masih mengingat hal ini dengan baik sebagaimana
janji-janji saat kampanye pilpres lalu. Menempatkan tokoh-tokoh dengan rekam
jejak kelam di lingkaran kekuasaan cuma akan mempersingkat masa “bulan madu”
Joko Widodo dengan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar