Titik
Krusial Jokowi-JK
Teuku Kemal Fasya ; Dosen Antropologi FISIP
Universitas
Malikussaleh, Lhokseumawe
|
SINAR
HARAPAN, 27 Agustus 2014
Sejatinya
kemenangan Jokowi-Jusuf Kalla pada Pilpres 9 Juli dan penolakan gugatan
Prabowo-Hatta oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 21 Agustus menjadi
kemenangan demokrasi. Namun, saya masih belum yakin itu berwujud.
Sebagai
satu dari jutaan sukarelawan yang memperjuangkan mereka, saya memikirkan
banyak hal baru. Memang secara de jure, pada 20 Oktober mereka adalah
presiden dan wakil presiden Indonesia baru. Akankah mereka muncul dengan gaya
baru? Belum tentu. Kultur demokrasi, perilaku politikus, konstruksi hukum dan
politik, serta situasi masyarakat kita masih sama seperti sebelum mereka
terpilih.
Pertama,
meskipun publik pendukung Jokowi–JK bergembira dengan hasil keputusan MK yang
menolak semua permohonan tim hukum Prabowo-Hatta, tak ada kelegaan yang
ditunjukkan sebagian barisan pasangan kompetitor Jokowi-JK itu. Pernyataan
pengakuan kemenangan pascaputusan MK tidak keluar dari mulut Prabowo
Subianto. Orang yang membuat pernyataan di media massa adalah “tokoh lapis
kedua” dengan juru bicara Tantowi Yahya. Gestur mereka pun tidak terlihat
legawa.
Dengan
tidak adanya pernyataan secara pribadi bisa dianggap Prabowo tetap menolak.
Bukan hanya dia, tokoh-tokoh Gerindra dan PKS pun tak sudi memberikan ucapan
selamat kepada koalisi perubahan itu. Pernyataan kuasa hukum Prabowo, Maqdir
Ismail, bahwa putusan MK meninggalkan luka mendalam.
Fadli
Zon yang menyatakan tidak akan memberikan ucapan selamat sekaligus mengancam
akan “melakukan sesuatu” di parlemen, menjadi sinyal perang masih terus
berlanjut. Salah satu sifat demokrasi adalah kematangan menerima kekalahan.
Kali ini sikap itu mengering dan tandas.
Kedua,
dengan diberlakukannya Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) baru,
dipastikan kursi ketua DPR tidak otomatis diberikan kepada partai pemenang
pemilu, tetapi disepakati secara “musyawarah”. Adegan selanjutnya pasti
bullying politik kepada PDIP setelah 1 Oktober.
Peperangan
di internal DPR menjadi strategi untuk mengganggu konsentrasi pemerintahan
Jokowi-JK dalam menjalankan terobosan pembangunannya. Jika terlihat ganjil,
koalisi besar akan menjalankan strategi check and balance ekstrem. Sampai
hari ini kekuatan Koalisi Merah Putih masih sebesar 60 persen. Apa pun bisa
dilakukan atas nama politik mayoritas.
Ketiga,
kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) di akhir pemerintahan SBY
seperti rangsangan skema pengurangan subsidi BBM di masa pemerintahan
Jokowi-JK. Ini perangkap besar baru.
Di
persimpangan ini, Jokowi-JK akan diuji apakah tetap lekat dengan semangat
populisme atau menjadi pemerintahan-pemerintahan seperti era sebelumnya:
gemar menaikkan BBM dan tarif dasar listrik (TDL). Secara kasatmata,
kebijakan menaikkan BBM akan mengurangi beban keuangan negara, tapi pasti
menambah beban keuangan “fiskal masyarakat”. Itulah kebijakan teknokratis,
warisan lama sejak era Soeharto, Megawati, dan SBY.
Kebijakan
teknokratis pasti membenarkan semua logika pengurangan subsidi BBM dan
listrik, bagian dari skema politik ekonomi neoliberalisme. Mengharapkan
pemerintahan Jokowi–JK memberikan tesis baru atas dalil “revolusi mental”,
belum cukup ampuh. Logika populisme dan demokrasi kenyal di masa kampanye,
tetapi kerap mengeras dan tak laku pada masa ketika berkuasa.
Logika
teknokratis, seperti dikatakan Jacques Ellul, filsuf Prancis, akan mereduksi
seluruh problem masyarakat menjadi problem massa, sosial menjadi induktif,
dengan kalkulasi mekanistik. Hal ini lebih lanjut memengaruhi peradaban
manusia atas nilai-nilai materialisme yang gejalanya semakin menguat
pascaperang dingin. Inilah fenomena harian bangsa kita.
Bagi
rakyat (sebagian besar miskin, rural, serta berpendidikan dan berketerampilan
rendah) alasan itu hanya menambah kebosanan. Alasan 70 persen BBM bersubsidi
dinikmati pemilik mobil pribadi; disparitas harga dengan keekonomian global
tidak bagus bagi ketahanan fiskal nasional; pertumbuhan industri otomotif
yang tidak seimbang dengan skema subsidi 48 juta kiloliter bensin dan solar
per tahun (kini diam-diam diturunkan 46 juta); hanya bahasa akademis yang
berbinar di ruang elite, jauh dari denyut nadi dan keringat rakyat.
Hal
yang rakyat rasakan, kenaikan BBM dan listrik pasti menambah masalah bagi
daya beli mereka. Lagi-lagi rakyat merancang siklus adaptasi penderitaan baru
untuk tetap bertahan hidup.
Itu
logika klasik yang hanya bisa dipahami untuk memuaskan insting statistik para
ekonom (liberal). Pelan-pelan melupakan substansi konstitusional bangsa ini
bahwa kekayaan alam dan mineral di Bumi Indonesia diperuntukkan bagi
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia (tanpa diskriminasi).
Terobosan?
Apakah
Jokowi-JK melihat prosa dan puisi derita rakyat ini? Saya yakin ya! Apakah
mereka berkuasa untuk membuat skema lain untuk tidak menambah derita ke dalam
kebijakan nonsubsidi? Saya tidak yakin mereka cukup berkuasa. Jika tidak
dinaikkan tahun ini, tahun depan hantu ini akan kembali dibangkitkan.
Penderitaan belum lepas. Kemerdekaan adalah realitas sublim ke dalam
partikulus penderitaan lain. Ketika dicacah, ia tak terlihat sebagai
totalitas penderitaan.
Di
tengah situasi ini, sangat sulit mengharapkan terobosan jitu yang tersedia
bagi Jokowi-JK dalam waktu singkat. Pelbagai program kesejahteraan,
kebahagiaan, dan demokrasi pasti menuntut peran dan perubahan cara pandang
masyarakat atas nilai-nilai kehidupannya. Ketika masyarakat juga semakin
materialistis, konsumeristis, apolitis, dan tidak ideologis, kata-kata
perubahan hanya mantra palsu.
Namun,
terobosan tetap ada ketika Jokowi-JK mendapat suntikan gagasan dan keberanian
positif dari tim-tim kerja yang progresif. Mereka harus figur terlatih
bekerja bersama rakyat. Bukan kaum berdasi yang tak pernah duduk dan makan di
desa dan daerah terpencil. Mereka harus mampu menyeimbangkan realitas mikro
dengan statistik makro agar menjadi kebijakan sensitif rakyat.
Karena
itu, kabinet nanti sangat menentukan bagaimana postur Jokowi-JK. Jika jajaran
kementerian yang mengurus bidang ekonomi adalah cendekiawan berwatak
neoliberalistis, kebijakan populis tak akan hadir. Jika jajaran pada
kementerian hukum dan politik adalah orang bervisi
borjuistis-elitis-oligarkis maka tidak akan turun menjadi misi dan program
keadilan dan kebahagiaan sosial.
Jika
sosok yang mengawal kementerian di bidang pendidikan, informasi, dan kultural
bermental mekanistik-merkantilistik maka produk kebudayaan, kesenian,
pendidikan, dan generasi penerus pasti berwujud antilokal-etnografistis,
modernis-kapitalistis, hiperkomersial, ultra/antinasionalistis, dan pemuja
fundamentalisme baru.
Sayang
sekali, negeri ini sudah lama diteror untuk tidak menyukai sosialisme
seolah-olah sama dengan komunisme. Dalam situasi demikian, sulit mengarahkan
perubahan fundamental jika bangsa ini sedemikian liberal dan pragmatis, elite
dan masyarakatnya. Jawaharal Nehru, Saddam Hussein, Ahmadinejad, Hugo Chavez,
Fernando Lugo, dan Jose Mujica lebih mudah membangun negaranya dengan
semangat sosialisme yang mengakar. Bangsa kita?
Namun,
bukan tak ada sosok-sosok brilian, berjiwa altruistis, membela demokrasi,
kolektivisme, dan nasionalisme dengan penuh gelora. Kata-kata Soekarno
berikut ini harus menjadi pelecut bagi tim pemerintahan mendatang. “Apakah kelemahan kita? Kita kurang
percaya diri sebagai bangsa sehingga harus menjadi penciplak luar negeri.
Kita kurang mempercayai satu sama lain, padahal asal rakyat kita adalah
gotong royong”.
Semoga Jokowi-JK bisa
melewati masa kritis di awal pemerintahan ini dengan baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar