Jumat, 15 Juli 2022

 

Tata Kelola Filantropi Kita

Masdar Hilmy: Guru Besar dan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

KOMPAS, 13 Juli 2022

 

                                                

 

Munculnya kasus Aksi Cepat Tanggap belakangan ini membelalakkan mata publik tentang lemahnya penerapan prinsip tata kelola yang baik dan bersih (good and clean governance) dalam tradisi filantropi kita.

 

Jika dibiarkan, fenomena malaadministrasi dan penyimpangan keuangan semacam ini dapat menggerus kepercayaan publik (public trust) terhadap keberadaan lembaga-lembaga filantropi yang ada. Ketidakpercayaan publik akan semakin membuncah jika kasus tersebut terjadi di lembaga filantropi berbasis agama.

 

Seperti diketahui bersama, Aksi Cepat Tanggap (ACT) merupakan salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia. Pada 2018 hingga 2020, lembaga ini dilaporkan telah mengumpulkan dana masyarakat Rp 500 miliar.

 

Sebagai perbandingan, lembaga lain seperti Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat dilaporkan media ”hanya” dapat mengumpulkan dana masyarakat Rp 375 miliar dan Rp 224 miliar. Selain itu, ACT juga telah menjadi front-liner bantuan sosial di setiap peristiwa bencana alam di republik ini.

 

Harus diakui, menyalurkan dana bantuan sosial melalui lembaga filantropi sebenarnya merupakan tradisi yang relatif baru di kalangan masyarakat kita. Pengorganisasian, pengadministrasian, dan pengelolaan dana umat selama ini lebih banyak dilakukan secara mandiri, perseorangan, dan partikelir (non-kelembagaan). Munculnya berbagai lembaga filantropi merupakan tradisi baru yang sebenarnya cukup prospektif dalam rangka mengelola dana umat secara lebih baik, transparan, dan akuntabel.

 

Di sejumlah negara di Barat, eksistensi lembaga filantropi merupakan tradisi yang telah mapan sejak lama. Salah satu di antara lembaga filantropi paling mapan di Barat adalah The Salvation Army (The Salvos) yang memiliki aset lebih dari 1,94 juta dollar AS.

 

Sejak berdiri di London tahun 1865, lembaga ini telah malang melintang dalam menghimpun dan menyalurkan dana kemanusiaan dari masyarakat di seluruh dunia dalam rangka membantu korban bencana alam, membangun dan memperbaiki fasilitas umum akibat perang, dan sebagainya.

 

Tradisi memberi

 

Munculnya tradisi filantropi di kalangan masyarakat mana pun berawal dari tradisi memberi, berderma, dan berbagi yang sebagian besar dimotivasi oleh ajaran agama. Islam, misalnya, sangat mengapresiasi tradisi memberi atau berbagi kepada mereka yang membutuhkan sebagai wujud empati sosial dan nilai-nilai kemanusiaan.

 

Islam sangat mengaksentuasi pentingnya memberi ketimbang menerima melalui doktrinnya yang sangat masyhur: ”tangan di atas lebih baik/terhormat ketimbang tangan di bawah” (al-yad al-’ulya khayr min al-yad al-sufla).

 

Dari sini muncullah ajaran tentang pentingnya karitas, seperti sedekah, zakat, wakaf, amal jariyah, dan jihad fi sabilillah.

 

Di Indonesia, tradisi karitas dan filantropi telah terlembagakan melalui sejumlah perangkat perundang-undangan, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU No 9/1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang, dan Peraturan Pemerintah No 29/1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

 

Sebenarnya di dalam perangkat peraturan itu telah diatur secara lengkap tentang penarikan, pengelolaan, dan penyaluran dana sumbangan yang berasal dari masyarakat. Hanya saja, aspek penegakan hukum terhadap berbagai bentuk pelanggaran dirasa masih lemah.

 

Selain itu, secara sosial-budaya, bangsa kita tergolong masyarakat pemurah yang gemar berbagi. Berdasarkan laporan World Giving Index (WGI) tahun 2021, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara yang paling dermawan di dunia dengan skor 69 persen. WGI adalah laporan tahunan yang diterbitkan oleh Charities Aid Foundation yang menggunakan data dari Gallup dan memeringkat lebih dari 140 negara di dunia berdasarkan tingkat kedermawanan mereka dalam menyumbang.

 

Pada 2021, mayoritas negara Barat yang biasanya masuk ke dalam 10 besar WGI mengalami penurunan peringkat secara signifikan. Amerika Serikat, misalnya, hanya menempati peringkat ke-19 dunia, dari sebelumnya menempati posisi kelima secara konsisten.

 

Sementara Irlandia, Inggris, dan Singapura merosot dari peringkat kelima dan keenam ke peringkat ke-26 dan ke-22. Penurunan peringkat di negara-negara tersebut diduga akibat pandemi Covid-19.

 

Laporan WGI di atas diperkuat oleh laporan survei Outlook Filantropi 2022 bahwa kegiatan sosial berupa penyaluran dana filantropi di Indonesia terus mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2020, jumlah dana filantropi yang disalurkan di negeri ini Rp 15,4 triliun. Jumlah ini meningkat 23,05 persen (year-on-year/YOY) dibanding tahun sebelumnya.

 

Penyaluran dana filantropi pada 2019 juga meningkat 6,46 persen (YOY) dari tahun 2018 dengan nilai Rp 12,52 triliun. Jika ditotal nilai penyaluran dana filantropi kita diperkirakan mencapai Rp 38,9 triliun selama periode 2018-2020. Jumlah ini merupakan angka yang cukup besar untuk konteks penyaluran dana bantuan sosial di tengah situasi pandemi Covid-19.

 

Akuntabilitas publik

 

Dari sekian faktor yang menyebabkan keberhasilan Indonesia mempertahankan posisinya sebagai bangsa pemurah, seperti membaiknya kondisi ekonomi dan menguatnya peran lembaga filantropi, faktor ajaran agama menempati peran yang dominan di balik itu semua.

 

Konon, 80 persen dari total amal filantropi dimotivasi oleh penerapan ajaran agama (sedekah, zakat, dan wakaf). Sementara sisanya (20 persen) didorong motivasi kemanusiaan semata.

 

Persoalannya, menerapkan tata kelola yang baik dan bersih dalam tradisi filantropi kita tidak semudah membalik telapak tangan. Hal ini terjadi karena masyarakat kita sudah terbiasa dengan tradisi anonim (tidak menyebut nama) dalam berderma. Mengeksplisitkan nama pemberi dalam berderma dianggap dapat mengurangi keutamaan tindakan karitas kita.

 

Budaya ini barangkali diderivasi dari hadis Nabi SAW: ”Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah SWT dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya. Di antaranya, seseorang yang mengeluarkan suatu sedekah, tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya”. (HR Bukhari dan Muslim)

 

Dalam konteks filantropi, tidak selayaknya anonimitas berderma ditabrakkan dengan penerapan prinsip tata kelola yang baik dan bersih, seperti transparansi dan akuntabilitas publik.

 

Anonimitas berderma harus dimaknai sebagai bagian dari keikhlasan kita dalam berderma, bukan terkait dengan pelaporan dan pengadministrasian filantropi kita. Artinya, bisa saja anonimitas filantropi tidak secara otomatis menjamin keikhlasan kita dalam berderma. Transparansi dan akuntabilitas publik dalam filantropi mensyaratkan administrasi pelaporan secara obyektif berdasarkan prinsip akuntansi yang rapi.

 

Sebagai bagian dari akuntabilitas publik, lembaga filantropi tetap bertanggung jawab memberikan laporannya kepada masyarakat penyumbang tentang aliran dana yang masuk dan keluar. Di sinilah pentingnya pembenahan tata kelola tradisi filantropi kita dalam rangka menjamin keamanan dana sosial yang disalurkan melalui sejumlah lembaga filantropi yang ada. Jangan sampai orang baik menjadi korban dari kebaikannya sendiri akibat absennya penerapan prinsip tata kelola yang baik dan bersih dalam tradisi filantropi kita. Semoga!

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/11/tata-kelola-filantropi-kita

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar