Membaca
Peluang Perdamaian Rusia-Ukraina Radityo Dharmaputra: Peneliti Kawasan Rusia dan
Eropa Timur, Dosen HI Universitas Airlangga; Mahasiswa S-3 di Johan Skytte
Institute of Political Studies, University of Tartu, Estonia |
KOMPAS, 18 Juli 2022
Kunjungan
Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia, beberapa waktu lalu, menuai
respons beragam dari berbagai elemen masyarakat, domestik ataupun
internasional. Selain apresiasi dan kritik sejumlah kalangan, ada skeptisisme
dari sejumlah media asing mengenai kunjungan ini. Editorial Kompas (29/6/ 2022) berjudul ”Jokowi Temui
Putin dan Zelensky”, misalnya, menggarisbawahi tepatnya upaya Presiden Jokowi
untuk mendorong solusi damai melalui kunjungannya. Begitu pula editorial
Kompas (2/7/2022) ”Buah Diplomasi Presiden Jokowi” yang memuji kunjungan itu
sebagai upaya yang baik dan produktif untuk mengetuk hati Presiden Rusia agar
segera mengubah kebijakan perangnya. Persoalannya, benarkah upaya Indonesia menyediakan
”meja bundar dialogis” sebagaimana dituliskan Eduardus Lemanto (Kompas,
1/7/2022) disambut oleh kedua belah pihak? Refleksi kunjungan Jokowi Pertama, kunjungan Presiden Jokowi, walau harus dan
perlu untuk diapresiasi tinggi, memiliki masalah serius dikarenakan terlalu
tingginya target yang ingin dicapai sejak awal. Pada jumpa pers virtual 22 Juni 2022, Menlu RI Retno
Marsudi menyebutkan, kunjungan Presiden adalah untuk mendorong spirit
perdamaian. Dari pernyataan ini, perdamaian ditempatkan sebagai sasaran utama
dan isu lain, seperti krisis pangan, pupuk, dan energi, serta G20, sebagai
isu sampingan. Dalam konteks ini, satu kali kunjungan Presiden
tentu saja tak bisa diharapkan bisa mencapai sasaran secara penuh. Tak ada
kesepakatan gencatan senjata sebagaimana diharapkan, apalagi sampai pada
penghentian agresi dari Rusia. Yang ada, dalam kunjungan ke Kyiv, ada kesepakatan
bebas visa dan janji kerja sama rekonstruksi sesudah perang. Dalam kunjungan
ke Moskwa, kesepakatan bilateral dalam konteks ekonomi justru lebih kentara,
seperti kerja sama dengan Eurasian Economic Union, peluang investasi jalur
kereta di ibu kota Nusantara, dialog antaragama, dan kunjungan delegasi
Muslim Rusia ke Indonesia. Bahkan, terkait isu krisis pangan dan pupuk,
walaupun dalam pernyataan resmi Presiden Jokowi mengatakan telah menerima
jaminan dari Presiden Putin soal dibukanya jalur suplai dan ketersediaan
barang, apabila dicermati dengan saksama, pernyataan Putin justru hanya
berhenti pada dua hal. Yakni, menyalahkan sanksi Barat atas produk pangan
dan pupuk Rusia serta penjelasannya bahwa Rusia memiliki cukup produk untuk
dijual. Putin tak memberikan komitmen soal pembukaan Laut Hitam yang selama
ini digunakan untuk memblokade produk-produk Ukraina. Begitu pula, tidak ada
komitmen dari Putin untuk tak mengambil produk Ukraina dan menjualnya hanya
ke negara-negara yang dianggap ”bersahabat dengan Rusia”. Faktanya, hanya beberapa jam sebelum kehadiran
Jokowi, Rusia menyatakan pihaknya membuka keran ekspor 7.000 ton gandum dan
biji-bijian dari pelabuhan Berdyansk di Ukraina yang dikuasai pasukan Rusia
dan siap mengirimkannya ke ”friendly countries”. Artinya, terkait komitmen
untuk membuka blokade di Laut Hitam, masih harus ditunggu realisasinya. Kedua, upaya Presiden Jokowi untuk menjadi
penyambung lidah rasanya masih sulit dilakukan. Terkait tawaran Jokowi untuk
menyampaikan pesan Zelensky ke Putin, misalnya, Kantor Presiden Ukraina
melalui Press Secretary Serhii Nikiforov menyatakan bahwa kalaupun ada pesan
dari Zelensky, ia akan menyampaikannya sendiri secara publik. Respons Ukraina ini sangat bisa dipahami. Dalam
konteks politik domestik Ukraina, legitimasi Zelensky sangat bergantung pada
bagaimana ia mempertahankan negaranya dari serangan Rusia. Selama ini,
legitimasi Zelensky menguat karena nasionalisme Ukraina yang menggelora
akibat adanya serangan Rusia. Oleh karena itu, pernyataan Presiden Jokowi bahwa ia
menerima pesan pribadi dari Zelensky, tanpa menjelaskan isi pesannya, bisa
mendorong salah paham dari masyarakat Ukraina yang menerka-nerka apa isi
pesan itu. Dalam kaitan ini, kita harus bisa memahami situasi politik
domestik Ukraina, sebagai korban dan pihak utama dalam perang ini. Ketiga, untuk sementara ini, akan sangat sulit bagi
Zelensky untuk memulai negosiasi damai karena ia sendiri sudah berjanji bahwa
upaya negosiasi apa pun akan dikonsultasikan pada masyarakat Ukraina. Kunci
dari peluang damai ini ada di tangan Presiden Putin karena Rusia yang memulai
agresi dan hanya Rusia yang bisa mengakhirinya. Masalahnya, Putin jelas sudah memiliki agenda lain
saat bertemu Jokowi, yaitu menggunakan kehadiran Jokowi untuk mengkritik
Barat. Ini terlihat dari pernyataan persnya sesudah pertemuan, yang tak
menyinggung soal upaya damai, tapi justru sibuk mengkritik sanksi Barat
sebagai penyebab krisis dan mengabaikan fakta bahwa krisis justru disebabkan
agresi yang dilancarkan Rusia. Indonesia, walaupun merupakan Presiden G20 tahun
ini, tidak memiliki posisi tawar yang cukup kuat untuk meminta Putin mengubah
kebijakannya. Konsistensi pesan terkait perdamaian dari Presiden Jokowi
ternyata tidak disambut pesan serupa oleh Presiden Putin. Langkah lanjutan Terlepas dari masalah yang masih ada, komitmen
Presiden Jokowi perlu tetap diapresiasi tinggi karena memperlihatkan upaya
aktif Indonesia untuk terlibat dalam penyelesaian konflik. Sejak awal,
Indonesia dianggap hanya mengikut prinsip ”bebas” tanpa menekankan prinsip
”aktif”” Tentu saja, kunjungan Presiden Jokowi perlu dilanjutkan dengan
langkah konkret pembukaan komunikasi dan proposal perdamaian. Jangan sampai kunjungan ini hanya dilakukan sekali
dan fokusnya hanya pada aspek bilateral yang didapat Indonesia. Kalau hanya sampai situ, akan muncul kesan bahwa
Indonesia tidak serius menjadi juru damai. Bahkan, ketiadaan langkah lanjutan
akan membenarkan kritik bahwa kunjungan ini hanya demi kepentingan nasional
Indonesia (diindikasikan dengan banyaknya perjanjian serta komitmen bilateral
yang berhasil disepakati) atau bahkan kepentingan domestik Jokowi. Misalnya, pemerintah bisa menunjuk tim khusus
(special envoy) yang terdiri dari para mantan diplomat senior yang telah
berpengalaman dalam berhubungan dengan Ukraina, Rusia, AS, dan Uni Eropa
serta memiliki pengalaman dalam negosiasi konflik. Agar lebih fleksibel
bergerak dan tidak terhambat birokrasi, tim ini perlu berada langsung di
bawah Presiden, dipimpin oleh tokoh senior yang dihargai oleh banyak pihak
dan memiliki reputasi internasional, serta berisikan mantan diplomat ataupun
para ahli. Secara khusus, tim ini juga perlu memiliki pemahaman
soal Ukraina, tetapi bukan dari sudut pandang Rusia yang menganggap Ukraina
hanya boneka Barat. Agar bisa dipercaya Ukraina, tim ini harus mampu memahami
posisi Ukraina sebagaimana Zelensky dan masyarakat Ukraina yang sedang
tergelorakan nasionalismenya memahami situasi mereka. Tanpa itu, sulit bagi
Indonesia untuk bisa terlibat dalam pembicaraan damai dan berkontribusi bagi
perdamaian dunia. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/17/membaca-peluang-perdamaian-rusia-ukraina |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar