Ancaman Kominfo
Blokir Google, WA & Instagram, Seberapa Serius? Andrian Pratama Taher : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 19 Juli 2022
Jagat maya
sempat ramai dengan isu aplikasi yang dipakai publik seperti WhatsApp,
Instagram, Google hingga aplikasi gim PUBG maupun Mobile Legends akan
diblokir. Pemblokiran
dilakukan oleh Kemenkominfo jika pengelola aplikasi tersebut tidak mendaftar
selaku Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat. Tenggat
pendaftaran paling lambat 20 Juli 2022 mendatang sebagaimana diumumkan pada
Rabu (22/6/2022) lalu. Langkah
pemblokiran ini merupakan bentuk sanksi administratif apabila PSE tidak
mendaftarkan aplikasi mereka ke pemerintah. Hal ini sebagai tindak lanjut
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 tahun
2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat. Aturan ini
diklaim terbit sebagai upaya menata dan mengatur kebutuhan penyelenggaraan
sistem elektronik sistem privat sekaligus amanat Undang-Undang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik sesuai Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 71 tahun 2019. Dalam aturan
ini, mengatur kewajiban pendaftaran dan proses pendaftaran lewat online
single submission (OSS). PSE diwajibkan memberikan gambaran informasi nama,
sektor, deskripsi bisnis. Selain itu, PSE Lingkup Privat menjamin dan
melaksanakan kewajiban pemberian akses informasi terhadap sistem elektronik
dan data elektronik sesuai pasal 3 ayat 4 Permenkominfo tersebut. Ketentuan
pemblokiran atau pemutusan akses juga diatur dalam regulasi tersebut.
Masyarakat hingga lembaga bisa mengajukan permohonan pemutusan akses. Apabila
PSE Lingkup Privat tidak mendaftarkan diri, pemerintah lewat menteri bisa
menjatuhkan sanksi administratif dengan pemutusan terhadap sistem elektronik
(access blocking) sesuai pasal 7 ayat 2 Permenkominfo tersebut. Menteri
Komunikasi dan Informasi Jhonny G. Plate meminta para Penyelenggara Sistem
Elektronik (PSE) Lingkup Privat seperti WhatsApp, Google, Instagram maupun
aplikasi lain untuk segera mendaftarkan aplikasi mereka. Ia pun menegaskan
bahwa pendaftaran dilakukan secara daring dan pemerintah siap membantu proses
pendaftaran. "Pendaftaran
PSE dilakukan secara online dan jika mengalami kesulitan Kominfo akan
membantu memfasilitasinya. Namun, jika pendaftaran saja dengan sengaja tidak
mau dilakukan maka akan berdampak pada PSE yang dengan sengaja tidak mau
menjalankan peraturan hukum di Indonesia atau tidak terdaftar atau belum
legal," tegas Plate dalam keterangan, Senin (18/7/2022). "Apakah
hal seperti ini terus-terusan mau ditolerir? Taat aturan saja tidak mau
apalagi kewajiban lainnya?" tegas Plate. Plate
menegaskan, pendaftaran PSE tidak berkaitan konten pada PSE, tetapi lebih
pada kewajiban administratif dari PSE. Ia menerangkan, pemerintah sudah
hampir 2 tahun mengimbau kepada PSE, terutama pada PSE Lingkup Privat seperti
Facebook, Google, hingga Instagram untuk mendaftar. Namun, pihak PSE lingkup
privat tetap belum mendaftar. "Walaupun
telah lebih dari satu tahun atau hampir dua tahun imbauan pendaftaran PSE
Lingkup Privat namun belum juga mendaftar maka kami imbau agar PSE Lingkup
Privat tersebut segera melaksanakan pendaftaran sebelum Kominfo melaksanakan
sanksi sesuai ketentuan perundangan yang berlaku di Indonesia," tutur
Plate. Plate
menegaskan, aturan PSE berlaku tidak hanya PSE Indonesia, tetapi juga PSE
global, PSE investasi domestik maupun asing. Pemerintah juga mempunyai
ketentuan berbeda untuk PSE lingkup privat dan PSE lingkup publik. Namun,
Plate menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengubah ketentuan batas waktu
PSE karena proses pendaftaran mudah. "Hal ini
bukan mendadak namun sudah hampir dua tahun. Mengapa selama ini tidak
dikerjakan? Pendaftaran melalui OSS seharusnya sangat memudahkan dan
praktis," kata Plate. Kritik atas Permenkominfo 5/2020 Aturan
registrasi PSE ini memantik beberapa respons dari masyarakat. Salah satunya
LSM Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) menegaskan posisi
mereka masih mempersoalkan kebijakan registrasi PSE. SAFENet mengingatkan
bahwa mereka bersama Koalisi Advokasi Permenkominfo 5/2020 menilai pemerintah
belum menyelesaikan masalah kebebasan berekspresi di tengah mendorong upaya
registrasi PSE. "Registrasi
ini dilakukan meskipun pemerintah belum melakukan perbaikan pada sejumlah
permasalahan yang menghalangi kebebasan berekspresi dan berpendapat serta
meningkatkan risiko kriminalisasi pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di
Indonesia," bunyi keterangan tertulis yang diterima, Senin (18/7/2022). Mereka juga
menyoroti soal penerapan pasal 36 dalam Permenkominfo tersebut menjadi celah
untuk disalahgunakan penegak hukum, terutama kerja-kerja pelindung hak asasi
manusia dan isu sensitif. Sebab, pasal 36 memberi wewenang PSE lingkup privat
memberikan akses terhadap konten komunikasi dan data pribadi. Oleh karena
itu, mereka mendorong agar penghentian pendaftaran PSE privat dan mencabut
Permenkominfo Nomor 5 tahun 2020 jo Permenkominfo 10 tahun 2021 karena
dinilai mengganggu kebebasan berekspresi dan berpendapat. Mereka meminta
pelaksanaan peraturan serupa harus sesuai standar hukum HAM internasional. Selain itu,
mereka meminta ada ruang dialog antara masyarakat sipil dan pemerintah untuk
membahas dampak Permenkominfo 5 tahun 2020 jo Permenkominfo 10 tahun 2021
dalam ruang kebebasan berpendapat dan kerja pembela HAM. Tanggapan Google, WhatsApp dan Instagram Meski ada
penolakan, sikap yang diambil para giant-tech beragam. Google, lewat
perwakilan mereka, mengaku akan segera mendaftarkan diri pada Penyelenggara
Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat. "Kami
mengetahui keperluan mendaftar dari peraturan terkait, dan akan mengambil
tindakan yang sesuai dalam upaya untuk mematuhi,” ujar pihak Google
dikonfirmasi Tirto, Senin (18/7/2022). Berbeda dengan
Google, pihak WhatsApp dan Instagram tidak bersedia menanggapi langkah
lanjutan yang akan diambil jelang pemblokiran yang akan dilakukan Kementerian
Informatika dalam waktu dekat. “Dari kami
belum ada tanggapan ya, baik untuk off-record ataupun untuk dikutip,” jelas
pihak Meta dikonfirmasi Tirto, Senin (18/7/2022). Menunggu Langkah Tegas Pemerintah Chairman
Communication & Information System Security Research Center (CISSReC)
Pratama Dahlian Persadha menyambut positif upaya pemerintah yang berani untuk
memblokir aplikasi jika tidak mendaftar PSE Lingkup Privat. Hal itu akan
menunjukkan posisi pemerintah yang tidak tunduk dengan perusahaan
multinasional. "Pemerintah
bisa tegas pada FB, Google dan Twitter, ini momentum bagus apalagi untuk
menunjukkan pada raksasa teknologi bahwa negara tidak tunduk pada perusahaan
multinasional," kata Pratama kepada Tirto, Senin (18/7/2022). Pratama
menuturkan, pemerintah sudah pernah bertindak tegas kepada Telegram yang
digunakan 10 juta warga Indonesia. Twitter juga mempunyai total pengguna
hingga 10-15 juta tentu bisa ditindak tegas serupa. Sementara itu,
dalam kasus Facebook, pemerintah juga bisa menindak tegas. Namun, pemerintah
perlu sadar bahwa Facebook tidak berdiri sendiri karena ada aplikasi lain
seperti Instagram, Whatsapp hingga Meta. "Tentu
WhatsApp yang akan menjadi perhatian serius karena menjadi aplikasi utama
instant messaging yang dipakai saat ini. Tentu pendekatannya tidak bisa sama
dengan Telegram yang dahulu langsung diancam blokir karena pemakainya tidak
terlampau banyak. Perlu jeda waktu agak lama untuk sosialisasi masyarakat dan
juga memberi waktu pada FB selaku “pemilik “ Whatsapp untuk melakukan
pendaftaran PSE ke Kominfo," tutur Pratama. "Jadi
perlu syok terapi juga, karena selama ini mereka merasa lebih aman dan lebih
besar karena pemakai di Indonesia sangat banyak. Termasuk keberanian mereka
ini terutama FB untuk urusan pajak, dan FB juga enggan membuka kantor di
Indonesia. FB ini hanya membuka kantor yang diisi satpam untuk menerima surat
saja," tutur Pratama. Ia menilai,
masyarakat akan mengerti bila ada komunikasi antara pemerintah dengan FB
maupun Twitter. Ia menilai, pemerintah bisa mendorong pemberian penjelasan
untuk memenuhi syarat sehingga bisa beraktivitas di Indonesia. "FB
terutama akan rugi banyak karena pemakai di Indonesia sangat banyak.
Pengumuman dari pemerintah sangat penting, terutama untuk mengimbau para
pengiklan di FB dan Twitter untuk menghentikan iklannya sementara platform
tersebut diblokir," tutur Pratama. Dalam kasus
Google, ia menduga akan ada penolakan publik. Ia beralasan, Google telah
digunakan di perkantoran hingga instansi pemerintahan. Di sisi lain, Youtube
sudah menjadi alat mata pencarian bagi beberapa pihak. Hal yang paling parah adalah
kemungkinan smartphone Indonesia tidak beroperasi jika blokir berlaku. Ia menyinggung
soal kondisi Uni Eropa melarang Google memberikan aplikasi secara default di
ponsel Android yang beredar di Uni Eropa. Aturan tersebut berlaku tidak hanya
berkaitan pelanggaran monopoli, tetapi juga mengurangi ketergantungan publik
terhadap aplikasi Google. "Sekali
lagi pendekatan untuk Google ini memang agak berbeda. Sebaiknya negara tidak
kalah melawan Google cs, karena negara lain sudah tegas minimal dengan denda,
dan bila tidak membayar denda maka Google cs akan diblokir layanannya,"
tutur Pratama. Meski ada
respons positif dari segi penerapan Permenkominfo tersebut, Pratama tetap
menyoroti masalah dalam regulasi Permenkominfo. Ia khawatir ada sejumlah
pasal multitafsir seperti pasal 9 dan pasal 14 Permenkominfo tersebut yang
bisa melakukan penghapusan konten dan akses informasi dengan dalih ketertiban
umum atau meresahkan masyarakat. Ia membandingkan dengan negara lain yang
baru bertindak setelah ada kasus atau izin permintaan yang dikeluarkan
pengadilan. "Untuk
masalah ini sebaiknya Kominfo melakukan perubahan yang lebih detail tidak
ambigu serta tidak dianggap sebagai pasal karet, sehingga tidak menimbulkan
kontroversi. Bila tidak, selain akan menimbulkan polemik di masyarakat, ini
juga akan dijadikan alasan para PSE untuk tidak melakukan pendaftaran
PSE," kata Pratama. Pratama
memahami esensi upaya Kominfo sebagai langkah menertibkan layanan teknologi
luar yang kerap mengeruk uang dan data masyarakat secara leluasa tanpa
regulasi, terutama raksasa teknologi seperti Google dan Facebook. Namun,
pekerjaan tersebut tidak mudah. Ia menilai,
ancaman blokir tidak berarti para pengampu teknologi ini mau ikut aturan
pemerintah. Pemerintah perlu membangun aplikasi alternatif dan mengedukasi
publik jika aplikasi giant tech diblokir 100 persen. "Hal ini
penting agar upaya Kominfo ini dinilai sebagai usaha untuk keamanan dan
kesejahteraan bersama, bukan sebagai upaya “memata-matai” masyarakat. Karena
itu Kominfo juga harus mau membuka diri komunikasi dengan elemen masyarakat,
jangan mengulang pasal karet di UU ITE yang sudah membuat kontroversi tidak
berkesudahan," tutur Pratama. "Bila
benar diblokir pada 21 Juli mendatang, memang sulit membayangkan Google dan
WhatsApp yang membantu komunikasi dan pekerjaan masyarakat selama ini
tiba-tiba tidak berfungsi, belum lagi layanan Android yang based on Google.
Kalau terpaksa diblokir, masyarakat bisa menggunakan aplikasi seperti
Telegram, tentu dengan harapan tidak terjadi down. Masih banyak juga aplikasi
lain yang bisa dipakai, seperti iMessage bagi pemakai iPhone," tutur
Pratama. Ia
mengingatkan ada dampak buruk besar jika mempengaruhi hidup masyarakat,
bisnis hingga urusan lembaga negara, salah satunya urusan komunikasi dengan
negara lain via WhatsApp. Ia juga mengingatkan bahwa publik akan protes besar
jika Youtube, WhatsApp dan layanan komunikasi lain terganggu. "Tentu
ini akan menimbulkan protes besar di masyarakat karena Youtube, WhatsApp dan
layanan teknologi lain yang sering dipakai tiba-tiba tidak berfungsi. Kominfo
harus berkomunikasi dengan aparat untuk mengantisipasi terjadinya huru hara
akibat pemblokiran ini," tutur Pratama. ● |
Sumber
: https://tirto.id/ancaman-kominfo-blokir-google-wa-instagram-seberapa-serius-gucC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar