Merdeka Belajar dan
Kualitas Pendidikan Tinggi Mukhamad Najib :
Atase Pendidikan KBRI Canberra dan Guru
Besar Manajemen IPB University |
JAWA POS, 19 Juli 2022
DALAM
Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 4 pada tahun 2030 disebutkan,
negara harus menjamin kualitas pendidikan inklusif dan merata untuk semua.
Sementara target pemerintah dalam SDGs ke-4 memastikan kesetaraan akses
terhadap pendidikan tinggi, teknis, dan kejuruan yang berkualitas.
Pertanyaannya, sudahkah kualitas pendidikan merata di Indonesia? Sudahkah
kesetaraan akses pendidikan berkualitas dirasakan seluruh mahasiswa? Jika
belum, bagaimana solusinya? Statistik
pendidikan tinggi (2020) menunjukkan, terdapat 4.593 perguruan tinggi di
Indonesia. Angka ini didominasi perguruan tinggi swasta (PTS) sebesar 66,27
persen. Sementara perguruan tinggi negeri (PTN) hanya 2,66 persen. Sisanya
perguruan tinggi agama dan perguruan tinggi kedinasan di bawah kementerian
dan lembaga negara. Berkaitan dengan kualitas, hanya 4 perguruan tinggi yang
terakreditasi unggul, 50 baik sekali, 464 dalam kategori baik, dan sisanya
terakreditasi C atau B. Sangat
sedikitnya perguruan tinggi terakreditasi unggul dan baik sekali
menggambarkan kesenjangan kualitas pendidikan antar perguruan tinggi. Hal itu
menjadi persoalan mengingat belajar di perguruan tinggi berkualitas merupakan
hak setiap mahasiswa. Kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) menjadi
solusi yang ditawarkan pemerintah. Pertanyaannya, dapatkah MBKM mendorong
pemerataan akses pendidikan berkualitas? Kebijakan MBKM Sejak awal
tahun 2020 pemerintah meluncurkan kebijakan MBKM. Kebijakan tersebut diklaim
sebagai kerangka untuk menyiapkan mahasiswa menjadi sarjana tangguh, relevan
dengan zaman, dan siap menjadi pemimpin dengan semangat kebangsaan yang
tinggi. MBKM memberi hak mahasiswa untuk belajar di luar program studinya.
Dengan program itu, mahasiswa memiliki kesempatan satu semester atau setara
20 SKS untuk belajar di luar program studinya. Melalui MBKM
mahasiswa di suatu perguruan tinggi bisa merasakan pembelajaran di perguruan
tinggi lain. Pemerintah bahkan memfasilitasi mahasiswa yang ingin belajar di
kampus top dunia selama satu semester. Pada tahun 2021 sebanyak 700 mahasiswa
belajar di 38 kampus terbaik dunia di 18 negara. Pada tahun 2022 jumlah
tersebut ditingkatkan dan melibatkan juga mahasiswa vokasi. Mereka dapat
kuliah dan praktik kerja di perguruan tinggi luar negeri dan industri
mitranya. MBKM merupakan
kebijakan strategis dan bersifat antisipatif terhadap masa depan yang penuh
ketidakpastian. Pendidikan yang memerdekakan, menurut Freire (1968), tidak
hanya membekali siswa untuk bisa beradaptasi, tapi juga berintegrasi dengan
perubahan. Lebih dari sekadar menyelaraskan diri, berintegrasi adalah
kemampuan menciptakan pilihan-pilihan baru yang lebih baik. Dengan kemampuan
adaptasi, manusia survive. Dengan kemampuan berintegrasi, manusia akan mampu
menciptakan pilihan masa depan yang sesuai dengan keinginannya. MBKM dan Pemerataan Kualitas Saat ini
kualitas 4.593 kampus sangat beragam. Tentu tidak mudah memperbaiki ribuan
kampus dalam waktu singkat. Sementara hak mahasiswa atas pendidikan
berkualitas tetap harus dipenuhi segera. Dalam konteks ini, MBKM dapat
menjadi jembatan. MBKM memungkinkan mahasiswa dari kampus berakreditasi
rendah belajar di kampus berakreditasi tinggi. Sehingga mahasiswa dari kampus
berakreditasi rendah tetap dapat menikmati akses pendidikan berkualitas. MBKM dapat
menjadi terobosan dalam mempercepat pemerataan kualitas pendidikan. Mahasiswa
dari kampus berakreditasi rendah, ketika selesai mengikuti MBKM, akan membawa
pengetahuan dan pengalaman baru. Hal tersebut bermanfaat untuk perbaikan di
kampus asalnya. Adanya program dosen berkegiatan di kampus lain dalam payung
MBKM juga memungkinkan terjadinya perbaikan kualitas perguruan tinggi
berakreditasi rendah. Dosen dari
kampus berakreditasi rendah dapat magang di kampus berakreditasi tinggi.
Mereka bisa belajar tata kelola kampus, pengembangan keilmuan, dan metode
pembelajaran. Hal itu dapat menjadi bekal dosen untuk melakukan perubahan di
kampus asal. Demikian pula sebaliknya, dosen dari kampus berakreditasi tinggi
diberi insentif lebih jika berkegiatan di kampus di bawahnya. Keberadaan
mereka bermanfaat dalam proses transfer pengetahuan dan pengalaman. Sehingga
menginspirasi dan menstimulasi dosen dan pimpinan di kampus berakreditasi
rendah untuk berbenah. Beberapa Tantangan Meski secara
umum MBKM tampak memberikan harapan, ada beberapa tantangan dalam
implementasinya. Pertama, keengganan kampus ranking tinggi bermitra dengan
kampus di bawahnya. Kampus dengan akreditasi/ranking yang baik umumnya hanya
mau melakukan perjanjian MBKM dengan kampus yang tingkatannya sama. Hal itu
menyebabkan proses afirmasi terhadap kampus berakreditasi/ranking rendah
tidak terjadi. Guna
memberikan akses yang setara bagi mahasiswa dan meningkatkan pemerataan
kualitas, kampus berakreditasi/ranking tinggi haruslah mau berbagi. Kualitas
pendidikan bagi semua anak bangsa harus menjadi misi semua perguruan tinggi,
termasuk yang sudah unggul. Mereka jangan hanya ”mengamankan” ranking mereka,
tapi juga harus mau membantu kampus berakreditasi rendah dalam meningkatkan
kualitasnya. Itulah semangat gotong royong yang harus dihidupkan demi
kemajuan pendidikan nasional. Kedua, tidak
adanya dana bagi mahasiswa untuk MBKM. Tidak semua mahasiswa dapat mengikuti
MBKM di kampus yang kebetulan berada di luar kota karena kendala biaya.
Mahasiswa luar Jawa yang kebetulan orang tuanya tidak mampu tentu akan sulit
mengikuti MBKM di kampus yang ada di Jawa. Padahal, disadari, kampus
berkualitas banyak terkumpul di Pulau Jawa. Saat ini pemerintah memiliki
beasiswa mobilitas internasional. Untuk suksesnya MBKM, perlu juga beasiswa
mobilitas untuk mobilitas dalam negeri. Selain itu,
industri perlu didorong untuk terlibat dalam program MBKM. Penyediaan
beasiswa oleh industri sesungguhnya bukanlah biaya, melainkan investasi bagi
masa depan bangsa dan tentu juga investasi bagi masa depan industri sendiri.
Dengan MBKM akan lahir sumber daya manusia unggul yang dibutuhkan untuk
memajukan industri. Sehingga pada akhirnya manfaat MBKM akan kembali lagi
kepada industri. Ketiga, kampus kurang
mendukung. MBKM mendorong dosen berkegiatan di luar, bahkan mendorong magang
di kampus top 100 dunia. Namun, ada kampus yang melihat mobilitas dosen
sebagai beban karena dianggap meninggalkan pekerjaan utama. Dalam hal ini,
perubahan cara pandang pimpinan kampus diperlukan. Kualitas kampus
sesungguhnya tidak hanya terletak pada fasilitas fisik, tapi juga sumber daya
manusianya. Bahkan, investasi pada dosen jauh lebih strategis dalam
mendongkrak kualitas. Mobilitas dosen untuk berkegiatan di lembaga top dunia
haruslah dipandang sebagai investasi. Oleh karenanya perlu difasilitasi,
bukan malah ”dimusuhi”. ● Sumber
: https://www.jawapos.com/opini/19/07/2022/merdeka-belajar-dan-kualitas-pendidikan-tinggi/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar