Tata
Kelola Filantropi Kita Masdar
Hilmy: Guru Besar dan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel
Surabaya |
KOMPAS, 13 Juli 2022
Munculnya kasus Aksi Cepat Tanggap belakangan ini membelalakkan
mata publik tentang lemahnya penerapan prinsip tata kelola yang baik dan
bersih (good and clean governance) dalam tradisi filantropi kita. Jika dibiarkan, fenomena malaadministrasi dan penyimpangan
keuangan semacam ini dapat menggerus kepercayaan publik (public trust)
terhadap keberadaan lembaga-lembaga filantropi yang ada. Ketidakpercayaan
publik akan semakin membuncah jika kasus tersebut terjadi di lembaga
filantropi berbasis agama. Seperti diketahui bersama, Aksi Cepat Tanggap (ACT) merupakan
salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia. Pada 2018 hingga 2020,
lembaga ini dilaporkan telah mengumpulkan dana masyarakat Rp 500 miliar. Sebagai perbandingan, lembaga lain seperti Dompet Dhuafa dan
Rumah Zakat dilaporkan media ”hanya” dapat mengumpulkan dana masyarakat Rp
375 miliar dan Rp 224 miliar. Selain itu, ACT juga telah menjadi front-liner
bantuan sosial di setiap peristiwa bencana alam di republik ini. Harus diakui, menyalurkan dana bantuan sosial melalui lembaga
filantropi sebenarnya merupakan tradisi yang relatif baru di kalangan
masyarakat kita. Pengorganisasian, pengadministrasian, dan pengelolaan dana
umat selama ini lebih banyak dilakukan secara mandiri, perseorangan, dan
partikelir (non-kelembagaan). Munculnya berbagai lembaga filantropi merupakan
tradisi baru yang sebenarnya cukup prospektif dalam rangka mengelola dana
umat secara lebih baik, transparan, dan akuntabel. Di sejumlah negara di Barat, eksistensi lembaga filantropi
merupakan tradisi yang telah mapan sejak lama. Salah satu di antara lembaga
filantropi paling mapan di Barat adalah The Salvation Army (The Salvos) yang
memiliki aset lebih dari 1,94 juta dollar AS. Sejak berdiri di London tahun 1865, lembaga ini telah malang
melintang dalam menghimpun dan menyalurkan dana kemanusiaan dari masyarakat
di seluruh dunia dalam rangka membantu korban bencana alam, membangun dan
memperbaiki fasilitas umum akibat perang, dan sebagainya. Tradisi memberi Munculnya tradisi filantropi di kalangan masyarakat mana pun
berawal dari tradisi memberi, berderma, dan berbagi yang sebagian besar
dimotivasi oleh ajaran agama. Islam, misalnya, sangat mengapresiasi tradisi
memberi atau berbagi kepada mereka yang membutuhkan sebagai wujud empati
sosial dan nilai-nilai kemanusiaan. Islam sangat mengaksentuasi pentingnya memberi ketimbang
menerima melalui doktrinnya yang sangat masyhur: ”tangan di atas lebih
baik/terhormat ketimbang tangan di bawah” (al-yad al-’ulya khayr min al-yad
al-sufla). Dari sini muncullah ajaran tentang pentingnya karitas, seperti
sedekah, zakat, wakaf, amal jariyah, dan jihad fi sabilillah. Di Indonesia, tradisi karitas dan filantropi telah terlembagakan
melalui sejumlah perangkat perundang-undangan, seperti Undang-Undang (UU)
Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU No 9/1961 tentang
Pengumpulan Uang atau Barang, dan Peraturan Pemerintah No 29/1980 tentang
Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Sebenarnya di dalam perangkat peraturan itu telah diatur secara
lengkap tentang penarikan, pengelolaan, dan penyaluran dana sumbangan yang
berasal dari masyarakat. Hanya saja, aspek penegakan hukum terhadap berbagai
bentuk pelanggaran dirasa masih lemah. Selain itu, secara sosial-budaya, bangsa kita tergolong
masyarakat pemurah yang gemar berbagi. Berdasarkan laporan World Giving Index
(WGI) tahun 2021, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara yang
paling dermawan di dunia dengan skor 69 persen. WGI adalah laporan tahunan
yang diterbitkan oleh Charities Aid Foundation yang menggunakan data dari
Gallup dan memeringkat lebih dari 140 negara di dunia berdasarkan tingkat
kedermawanan mereka dalam menyumbang. Pada 2021, mayoritas negara Barat yang biasanya masuk ke dalam
10 besar WGI mengalami penurunan peringkat secara signifikan. Amerika
Serikat, misalnya, hanya menempati peringkat ke-19 dunia, dari sebelumnya
menempati posisi kelima secara konsisten. Sementara Irlandia, Inggris, dan Singapura merosot dari
peringkat kelima dan keenam ke peringkat ke-26 dan ke-22. Penurunan peringkat
di negara-negara tersebut diduga akibat pandemi Covid-19. Laporan WGI di atas diperkuat oleh laporan survei Outlook
Filantropi 2022 bahwa kegiatan sosial berupa penyaluran dana filantropi di
Indonesia terus mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Pada
2020, jumlah dana filantropi yang disalurkan di negeri ini Rp 15,4 triliun.
Jumlah ini meningkat 23,05 persen (year-on-year/YOY) dibanding tahun
sebelumnya. Penyaluran dana filantropi pada 2019 juga meningkat 6,46 persen
(YOY) dari tahun 2018 dengan nilai Rp 12,52 triliun. Jika ditotal nilai
penyaluran dana filantropi kita diperkirakan mencapai Rp 38,9 triliun selama
periode 2018-2020. Jumlah ini merupakan angka yang cukup besar untuk konteks
penyaluran dana bantuan sosial di tengah situasi pandemi Covid-19. Akuntabilitas publik Dari sekian faktor yang menyebabkan keberhasilan Indonesia
mempertahankan posisinya sebagai bangsa pemurah, seperti membaiknya kondisi
ekonomi dan menguatnya peran lembaga filantropi, faktor ajaran agama
menempati peran yang dominan di balik itu semua. Konon, 80 persen dari total amal filantropi dimotivasi oleh
penerapan ajaran agama (sedekah, zakat, dan wakaf). Sementara sisanya (20
persen) didorong motivasi kemanusiaan semata. Persoalannya, menerapkan tata kelola yang baik dan bersih dalam
tradisi filantropi kita tidak semudah membalik telapak tangan. Hal ini
terjadi karena masyarakat kita sudah terbiasa dengan tradisi anonim (tidak
menyebut nama) dalam berderma. Mengeksplisitkan nama pemberi dalam berderma
dianggap dapat mengurangi keutamaan tindakan karitas kita. Budaya ini barangkali diderivasi dari hadis Nabi SAW: ”Ada tujuh
golongan yang akan dinaungi Allah SWT dalam naungan-Nya pada hari yang tidak
ada naungan selain naungan-Nya. Di antaranya, seseorang yang mengeluarkan
suatu sedekah, tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan
kanannya”. (HR Bukhari dan Muslim) Dalam konteks filantropi, tidak selayaknya anonimitas berderma
ditabrakkan dengan penerapan prinsip tata kelola yang baik dan bersih,
seperti transparansi dan akuntabilitas publik. Anonimitas berderma harus dimaknai sebagai bagian dari keikhlasan
kita dalam berderma, bukan terkait dengan pelaporan dan pengadministrasian
filantropi kita. Artinya, bisa saja anonimitas filantropi tidak secara
otomatis menjamin keikhlasan kita dalam berderma. Transparansi dan
akuntabilitas publik dalam filantropi mensyaratkan administrasi pelaporan
secara obyektif berdasarkan prinsip akuntansi yang rapi. Sebagai bagian dari akuntabilitas publik, lembaga filantropi
tetap bertanggung jawab memberikan laporannya kepada masyarakat penyumbang
tentang aliran dana yang masuk dan keluar. Di sinilah pentingnya pembenahan
tata kelola tradisi filantropi kita dalam rangka menjamin keamanan dana
sosial yang disalurkan melalui sejumlah lembaga filantropi yang ada. Jangan
sampai orang baik menjadi korban dari kebaikannya sendiri akibat absennya
penerapan prinsip tata kelola yang baik dan bersih dalam tradisi filantropi
kita. Semoga! ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/11/tata-kelola-filantropi-kita |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar