Single Image Dahlan Iskan : Mantan CEO Jawa Pos |
DISWAY, 22 Juli 2022
TIGA
hari terakhir saya terusik oleh single image ini. Itu istilah medsos. Saya
menyebutnya video –tapi memang bukan video. Di
tayangan itu ada suara yang sedang bercerita: tentang jenderal polisi bintang
dua. Namanya bukan Ferdy Sambo, tapi satu kata: Fembo. Ia punya istri bukan
bernama drg Putri Candrawathi, tapi namanyi juga satu kata: Aswati. Diceritakan
–dengan suara penyiar TV yang empuk– Fembo-Aswati sudah punya anak. Sudah
jarang bersentuhan. Masing-masing punya kesibukan tinggi. Sang suami sering
pergi. Ditemani polisi wanita yang masih sangat muda. Juga cantik. Ada
namanyi di situ. Ketika
sang istri lagi pergi, di perjalanan, dia ingat wanita itu. Geram. Cemburu.
Panas. Dia curhat ke sopir. Sampai
menangis. Panjang. Nelangsa. Menderita. Sampai menaruh wajahnyi di
pundak sang sopir. Diceritakan,
sang sopir kikuk. Dan seterusnya. Seterusnya. Seterusnya. Sampai suatu hari
sopir itu disergap di dalam kamar sang istri. Oleh sang suami. Diseret
keluar. Dihajar. Babak belur. Habis. Lalu ditembaki. Lalu diatur skenario
penyelamatan. Di
akhir single image itu ada disclaimer: "Ini hanya cerita fiksi. Kalau
ada kemiripan nama dengan kejadian di dunia nyata itu hanya kebetulan". Saya
merenung agak panjang selesai menonton itu. Bagaimana bisa seseorang
mengunggah single image seperti itu. Ini dunia baru media. Saya tidak kenal
sama sekali yang seperti itu. Nama
pengunggahnya Yogyasmoro. Itu nama di YouTube. Entah siapa aslinya. Di pojok
kiri atas terlihat logo gedung abstrak beratap merah. Ada gambar bendera
berkibar di atas atap itu. Lalu ada tulisan Police di bagian bawah gambar
gedung. Seorang
wartawan beneran tidak akan bisa bersaing dengan model media seperti itu.
Jangankan informasi sampai ke soal nangis di pundak, wartawan tidak bisa
dapat keterangan yang paling sepele sekalipun: di mana HP milik si sopir. Kalau
itu memang karya fiksi mengapa begitu
miripnya. Kalau itu bukan fiksi, dia/ia harus mendapat hadiah jurnalistik
Adinegoro. Berarti pembuat single image itu mendapat informasi dari sumber
terdekat dengan peristiwa itu. Ia/dia adalah bagian dari orang dalam. Tapi
Yogyasmoro menegaskan itu fiksi. Judulnya: Tamatnya Karir Sang Jenderal
Polisi. Bisakah
karya seperti itu dituntut? Tentu. Karya apa pun bisa dituntut. Tapi siapa
yang akan menuntut? Tentu
pihak yang merasa dirugikan. Siapa yang dirugikan? “Yang
dirugikan pers dan masyarakat luas," jawab Ilham Bintang, wartawan
senior pemilik media Cek&Ricek.
Ternyata ia sudah lebih dulu melihat
single image tersebut. "Berarti pers kita bisa dianggap bohong selama
ini," tambah aktivis perfilman Indonesia itu. Tapi
pers tidak akan menuntut Yogyasmoro. Menurut pendapat saya, yang dirugikan
paling besar adalah keluarga jenderal itu. Atau keluarga sopir. Tapi kan ada
disclaimer bahwa itu fiksi? Fiksi
atau bukan masih harus kita tunggu perkembangan penanganan kasus tembak
menembak polisi, di rumah polisi, di dunia nyata, di Duren Tiga Jakarta, 8
Juli lalu. Siapa
tahu jalannya cerita persis seperti di single image fiktif itu. Dan kalau
benar maka jadilah fiksi itu fakta. Bahwa
media model seperti itu disebut single image saya juga baru tahu dari Ilham
Bintang. Yakni gabungan antara suara, teks, dan gambar. "Yang seperti
itu bikinnya mudah sekali," kata Ilham. Gambar
yang disertakan di situ memang bukan foto-foto dari peristiwa nyata. Ilustrasi gambarnya
adalah sketsa mirip tokoh-tokoh cerita di Duren Tiga. Pengusutan
peristiwa Duren Tiga itu sendiri kelihatannya tidak misterius lagi. Irjen
Polisi Ferdy Sambo sudah dinonaktifkan dari jabatannya: kepala Divisi Profesi
dan Pengamanan Kepolisian Negara. Bahkan dua pejabat polisi lagi ikut
dicopot: Brigjen Pol Hendra Kurniawan, Karo Paminal Propam. Lalu Kompol Budhi
Herdi, Kapolres Jakarta Selatan. Sudah
pula ada keputusan untuk dilakukan otopsi ulang. Kubur Brigadir Polisi Yosua
akan dibongkar. Kubur itu sekitar 2 Km dari rumah orang tuanya di desa Suka
Makmur, di pedalaman Jambi. Keluarga
korban memang menghendaki itu. Pengacara keluarga, yang juga masih anggota
keluarga, sudah diterima Mabes Polri. Keinginan itu dikabulkan. Pengacara
juga sudah membuat pengaduan dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua. Sejak
awal keluarga juga minta agar adik Yosua bisa dipindahtugaskan ke Jambi.
Yosua memang punya adik seorang anggota Polri. Namanya Mahareza Hutabarat.
Selama ini Mahareza bertugas di Mabes Polri. Di bagian pembinaan masyarakat.
Kini ia sudah di BKO-kan di Polda Jambi. Pihak keluarga sempat sangat
mengkhawatirkan keselamatan sang adik di Jakarta. Permintaan
itu langsung disampaikan ke Kapolda Jambi Irjen Pol A Rachmad Wibowo. Yakni
saat Kapolda berbelasungkawa ke rumah duka di Desa Suka Makmur. Saat
itu hari pertama setelah mayat tiba. Kapolda datang secara pribadi. Kapolda
menyetujui. Ia bilang akan membantu memindahkan sang adik. "Sekarang
keluarga kami tenang," katanya. Jenazah
Yosua sendiri tiba di kampung Suka Makmur tanggal 9 Juli. Berarti sehari setelah ia tewas. Waktu
jenazah tiba ayah-ibu-adik-kakak Joshua tidak ada di rumah. Mereka masih
dalam perjalanan jauh dari Padang Sidempuan, Sumut. Jenazah
tiba sekitar jam 15.00. Ayah-ibu-adik-kakak baru tiba tiga atau empat jam
kemudian. Tiga
hari sebelum hari duka itu keluarga memang melakukan perjalanan ke Sumut.
Mereka pakai mobil Rush hitam milik sendiri. Tujuan
pertama mereka ke Silangit, dekat Danau Toba. Jauh sekali. Lebih 25 jam
perjalanan. Mereka ke makam kakek-nenek Joshua dari pihak ibu. Dari
Silangit mereka ke Padang Sidempuan. Tujuh jam perjalanan. Mereka ke makam
kakek-nenek Yosua dari pihak ayah. Di
wilayah barat Sumut itu mereka juga mengadakan kebaktian. Di tengah kebaktian
itulah kakak sulung Yosua menerima telepon dari adiknyi di Jakarta. Itulah
telepon duka: Yosua meninggal. Si
sulung menjawil badan Sang ayah. Agar Sang ayah mau menerima telepon dari
Jakarta. "Ada berita duka," ujarnyi. Sang
ayah lagi khusyuk kebaktian. "Nanti saja. Masih kebaktian," ujar
Samuel, sang ayah, tanpa memahami itu soal nasib anaknya. Sesaat
kemudian ganti adik bungsu yang menjawil Sang ayah. "Terima telepon ini.
Yosua meninggal," ujar si bungsu. Kebaktian
pun diakhiri. Mereka langsung naik mobil kembali ke Jambi. Perjalanan yang
amat jauh. Mereka tidak sempat menyambut jenazah di bandara Jambi. Bahkan
telat pula sampai rumah. Perjalanan itu memakan waktu hampir 20 jam. Setelah
sampai rumah keluarga ingin segera membuka peti jenazah. "Ada
anggota Polri yang menyampaikan ke kami peti jenazah tak boleh dibuka,"
katanya kepada Andri Brilliant Avolda, wartawan Jambi Ekspres, grup Disway. Namun
Samuel ngotot. Ia cari alasan: untuk menambah formalin. Agar tidak cepat
busuk. "Saat
itu ada keluarga yang ahli menyuntikkan formalin. Akhirnya dibolehkan
dibuka," ujar Samuel. Setelah
melihat jenazah itulah keluarga langsung memotret bagian tubuh Joshua yang dianggap janggal.
"Kami lihat rahang bergeser.
Perut sudah dijahit. Ada luka sayatan di jari," katanya. Itu
akan terlihat kembali kalau kuburan dibongkar dan mayat diotopsi kembali.
"Kami siap membongkar kuburan. Tapi belum ada kepastian kapan dilakukan.
Pengacara kami juga belum diberi tahu," ujar Samuel kemarin. Saya
penasaran dengan single image itu. Akankah jadi perkara hukum. Atau akan jadi
fakta. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar