Transisi
Pembelajaran Jarak Jauh ke Jarak Dekat Romeyn
Perdana Putra : Peneliti BRIN Eks Puslitjak Pendidikan Kebudayaan Balitbang
Kemendikbudristek |
KOMPAS, 21 Juli 2022
Pada masa dua
tahun pertama pandemi Covid-19 (2020-2021), para peserta didik, tenaga
pendidik, dan pihak pengelola pembelajaran dipaksa untuk shifting to digital
atau melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Semua dipaksa masuk ke dunia
perdigitalan. Berbagai persoalan dan rintangan tak kurang-kurang harus
diatasi bersama. Walaupun pada akhirnya kita mengakui bahwa terjadi learning
loss dan cultural loss selama berlangsungnya PJJ. Beberapa contoh kasus learning loss: putus sekolah,
pernikahan dini, terjadi anak SD kelas IV yang kembali tidak dapat membaca.
Mahasiswa akhirnya melakukan plagiasi karena alasan ”belajar mandiri” sudah
sangat membebani aktivitas mereka. Guru dan dosen gagap untuk berinovasi dalam metode
pembelajaran jarak jauh. Walaupun teknologinya sudah tersedia, seperti Zoom,
Google Meet, Google Classroom, learning management system (LMS), dan sistem
informasi manajemen (SIM) pembelajaran yang dikelola mandiri oleh
sekolah/kampus. Secara keadaban pun terjadi perbedaan pakem
bagaimana sepatutnya pembelajaran daring. Walaupun remeh, pembukaan kamera
dan mikrofon siswa justru menjadi hal penting dalam adab digital belajar-
mengajar. Dalih koneksi dan gawai tak mumpuni menjadi pembenaran siswa untuk
tidak terlibat dalam diskusi pembelajaran, bahkan alpa (hanya menyumbang nama
dalam kotak PJJ). Pada akhirnya, PJJ menjauhkan kesantunan dalam kegiatan
belajar-mengajar (KBM). Belajar tatap muka bergawai Awal masuk sekolah dimulai pada Juli ini.
Pemerintah, walaupun dengan narasi berhati-hati, telah ”memperkenankan”
belajar tatap muka. Bagaimana nasib LMS, SIM, dan aplikasi belajar online
(daring) yang selama dua tahun ini telah mengalami difusi yang membanggakan? Data menyebutkan, terjadi peningkatan jumlah user
(pengguna) media digital. Tahun 2021 naik dari 53 persen menjadi 73 persen
pengguna internet dari 247 juta populasi. Pengguna aktif media sosial naik
menjadi 61,8 persen pengguna, sedangkan pengguna telepon genggam telah
mencapai 345 juta (lebih dari 125 persen, karena satu orang memiliki lebih
dari satu nomor telepon genggam). Data ini diperoleh dari Communication &
Information System Security Research Center tahun 2019-2021. Namun, rupanya hal tersebut tidak lantas membuat
masyarakat serta-merta menerima adopsi teknologi untuk pembelajaran. Ketika
sebuah sekolah swasta di selatan Jakarta memberikan fasilitas gawai tablet
untuk peserta didik baru (siswa kelas I SD), misalnya, dalam percakapan
Whatsapp Group riuh rendah orangtua siswa menentang pembelajaran menggunakan
buku elektronik tablet (e-book). Mungkin hitung-hitungan cost-benefit dari pihak
sekolah: daripada anak didik membeli paket buku cetak yang nilainya mencapai
Rp 1 juta, kenapa tidak diberikan buku elektronik dengan tablet yang selisih
harganya kecil. Membawa buku pelajaran cetak, buku tulis, kotak pensil, dan
bekal makanan dari rumah tentu akan memberatkan siswa dalam berangkat dan
pulang sekolah. Di luar dari alasan kepraktisan, orangtua murid
menolak keras ide tersebut. Dengan alasan bahwa anak-anak sudah bermain gawai
selama di rumah, penggunaan buku elektronik tidak melatih motorik siswa
akibat kemudahan teknologi. Belum lagi alasan radiasi layar gawai yang
dianggap merusak mata. Terakhir, risiko keamanan bagi siswa membawa gawai
berharga pergi-pulang sekolah menjadi pertimbangan orangtua murid. Belum sempat sosialisasi tentang belajar tatap muka
bergawai ini berlangsung, orangtua murid sudah menyesalkan inovasi dan ide
pembelajaran bergawai ini kepada pihak sekolah. Sebagian wali murid terkesan
mengancam membatalkan memasukkan anaknya ke sekolah swasta tersebut. Tentu difusi inovasi teknologi gawai dalam
pembelajaran merupakan area perdebatan dalam dunia pendidikan. Untuk
memperkecil cakupan opini dari tulisan ini, kita perkecil pada satuan
pendidikan berakses sinyal Wi-Fi berlimpah gratis, siswa yang telah terbiasa
dengan pembelajaran daring tanpa kendala gawai, dan tenaga pendidik inovatif
(adopter) dalam difusi teknologi. Adopsi difusi teknologi pembelajaran Pada 2021, penulis, dalam keterbatasan penelitian
turun lapangan akibat PPKM pandemi, mencoba mendalami permasalahan budaya
belajar jarak jauh tersebut. EM Rogers (1962) telah lama mendiskusikan teori
klasik difusi inovasi. Rogers membagi kategori bagaimana dari waktu ke waktu
sebuah ide atau produk mendapatkan momentum dan menyebar ke tingkat populasi
atau sistem tertentu, yang pada hasil akhirnya orang mengadopsi ide,
perilaku, atau produk baru. Dapat dikatakan paksaan akibat pandemi bertentangan
dengan teori Rogers. Adopsi tidak berlaku serta-merta, tetapi bertahap.
Pengalaman kita belajar jarak jauh tidak mengalami proses berkelanjutan itu.
Akibatnya, orangtua peserta didik langsung dengan tegas menolak ide belajar
dengan gawai dalam pembelajaran tatap muka (PTM). Walau telah dua tahun
berpengalaman dengan PJJ. Kurva difusi dapat menggambarkan kondisi tersebut.
Ada beberapa karakteristik sasaran inovasi diangkakan dalam kurva difusi,
yaitu innovator hanya 2,5 persen, early adopters 13,5 persen, early majority
34 persen, late majority 34 persen, dan laggards 16 persen. Hanya sedikit
sekali (2,5 persen) yang mau mengadopsi ide-ide baru dalam prinsip difusi.
Laggards atau kaum tertinggal adalah orang-orang yang terikat tradisi
cenderung konservatif. Paparan di atas meninggalkan beberapa pekerjaan
rumah dari kementerian terkait pendidikan (Kemendikbudristek dan Kemenag) dan
juga Kemenkominfo dalam difusi inovasi teknologi dalam pembelajaran. Pertama,
menjawab kekhawatiran orangtua dalam keamanan dan kenyamanan bergawai oleh
peserta didik. Kedua, menetapkan secara geografis, ekosistem seperti apa saja
yang boleh menjadi innovator dan early adopters dari pembelajaran tatap muka
bergawai ini. Ketiga, menjamin bahwa konten sehat dan ramah anak tersedia
selama melayari dunia perdigitalan. Pandemi memang belum sepenuhnya usai. Namun, semua
tantangan dan keraguan akan perubahan tentu perlu dijawab dengan bijak oleh
orangtua, peserta didik, dan pengelola pendidikan. Semoga kita selalu dapat
memberikan yang terbaik bagi para penerus bangsa ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/19/transisi-pembelajaran-jarak-jauh-ke-jarak-dekat |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar