Orientasi
Sistem Hukum Pidana Anugerah
Rizki Akbari: Dosen Hukum Pidana pada Departemen Kriminologi FISIP UI |
KOMPAS, 20 Juli 2022
Pemerintah
akhirnya membuka naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
yang telah lama dinanti publik, dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR pada
6 Juli 2022. Menurut pemerintah, draf terbaru ini berisi penyempurnaan
terhadap 14 isu krusial yang dipermasalahkan publik tiga tahun lalu. Selain
itu, pemerintah juga mengklaim telah memperbaiki teknik penyusunan RKUHP,
termasuk memperjelas pasal-pasal yang dianggap bermasalah serta melakukan
sinkronisasi dan harmonisasi dengan ketentuan pidana yang relevan. Di
sisi lain, DPR dan pemerintah bersepakat menyelesaikan RKUHP dengan
memberikan perhatian lebih kepada 14 isu krusial tersebut sebelum melanjutkan
level pembicaraan berikutnya. Pertanyaannya, apakah naskah terbaru ini bebas
dari masalah? Menyisakan
masalah Kritik
masyarakat sipil telah membuat perubahan dalam draf RKUHP. Melalui Pasal 302
RKUHP, misalnya, pemerintah mengoreksi ketidakjelasan delik penodaan agama
dengan membatasi konteks penghukuman kepada ”kebencian atau permusuhan
terhadap agama atau kepercayaan di Indonesia”. Pengaturan yang demikian
dianggap lebih menjamin kepastian hukum daripada rumusan sebelumnya yang
rentan multitafsir, seperti kasus Meliana (2018) yang dihukum karena
”mengeluhkan pengeras suara azan di masjid”. Begitu
juga Pasal 467 Ayat (2) RKUHP, terkait pihak yang tidak bisa dipidana apabila
melakukan aborsi terhadap janin yang berusia di bawah 12 minggu atau memiliki
kedaruratan medis, termasuk perlindungan korban tindak pidana. Meski
begitu, RKUHP tetap menyisakan sejumlah masalah. Pertama, pemerintah tidak
mengubah pendiriannya dengan tetap mempertahankan pasal penghinaan presiden/wakil
presiden (Pasal 218-219), penghinaan terhadap pemerintah yang sah (Pasal
240-241), dan penghinaan terhadap kekuasaan umum/lembaga negara (Pasal
351-352). Pendapat Eddy OS Hiariej mengonfirmasi hal ini, yang didasarkan
pada pertimbangan budaya, konstruktif, dan kebutuhan menjaga martabat
(Kompas, 7 Juli 2022). Perubahan
dilakukan sebatas menjadikannya ”delik aduan” dan memperjelas makna ”demi
kepentingan umum” sebagai pengecualian. Bahkan, opini tersebut keliru dengan
menyebut Belanda sebagai contoh yang dianggap tetap mempertahankan pasal
penghinaan tersebut. Belanda
justru telah menghapus ketentuan-ketentuan ini dalam hukum pidananya
(Staatsblad 2019, 187). Keluarga kerajaan, termasuk kekuasaan umum dan
lembaga negara, tidak lagi dilindungi berdasarkan status kenegaraannya.
Penghinaan yang dilakukan terhadap pihak-pihak tersebut menjadi bagian tindak
pidana pencemaran terhadap individu dalam Pasal 267 WvS (KUHP Belanda). Kedua,
model pemberlakuan pidana mati secara bersyarat dalam RKUHP tak sejalan
dengan prinsip hak asasi manusia serta mewarisi perspektif kolonial.
Seharusnya RKUHP lebih maju dengan menyesuaikan pada sistem pemidanaan
modern. Jika
RKUHP memilih mempertahankan jenis pidana ini, penjatuhan pidana mati harus
memberikan masa percobaan selama 10 tahun secara otomatis dan tidak
digantungkan kepada diskresi hakim seperti yang masih dicantumkan dalam Pasal
100 RKUHP. Selain
itu, konversi pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup harus tetap
dihitung sejak putusan berkekuatan hukum tetap, bukan sejak grasi ditolak
seperti yang dirumuskan Pasal 101 RKUHP. Grasi dalam konteks ini justru akan
memperbesar ketidakpastian hukum. Ketiga,
RKUHP tidak memberikan perhatian apa pun terhadap makar. Pasal makar banyak
dialamatkan ke warga Papua, dan begitu mudah ditemui penyalahgunaan
implementasinya (ICJR, 2017). ”Makar” ditafsir secara serampangan, seperti
yang digunakan terhadap banyak warga Papua seusai protes kasus rasial di
Asrama Surabaya (2019). Bahkan, pasal makar sering digunakan untuk menghukum
pihak-pihak yang melaksanakan ibadah, meniup terompet, dan menyanyikan lagu
rohani jika dilakukan di lingkungan yang dianggap separatis. Definisi
makar harus disesuaikan dengan konstruk orisinalitasnya dalam bahasa Belanda,
yaitu aanslag yang berarti serangan (Moeliono, 2021). Selain itu, terminologi
”makar” dalam Pasal 87 KUHP perlu dimaknai terbatas sebagai konteks penarikan
pertanggungjawaban pidana pelaku dalam delik tersebut. Tanpa batas yang
jelas, RKUHP akan terus melanggengkan praktik penegakan hukum yang
menimbulkan ketidakadilan dan keresahan di masyarakat. Sistem
hukum pidana Tiga
contoh masalah RKUHP tersebut tentu berdampak luas. Sejumlah hal mendasar
perlu dipertimbangkan sebelum mengesahkannya, terutama untuk menguatkan
sistem hukum pidana. Pertama,
undang-undang yang mengatur ketentuan pidana belum semuanya dimasukkan dalam
RKUHP. Dengan dianutnya sistem baru di RKUHP, pemerintah harus menyesuaikan
ulang seluruh ketentuan pidana yang terdampak dengan materi RKUHP. Tentu
bukan pekerjaan yang mudah. Kedua,
pembentuk hukum harus membenahi sistem legislasi agar mendukung penyusunan
undang-undang dengan model kodifikasi, seperti RKUHP. Hingga saat ini, belum
ada parameter apa pun yang bisa digunakan untuk menentukan tindak pidana yang
akan diatur di dalam KUHP ataupun di luar KUHP. Belum
lagi, ketidakjelasan institusi pemerintah yang menjalankan fungsi sebagai
clearing house dalam setiap perancangan undang-undang yang mengatur ketentuan
pidana. Kondisi ini berakibat pada menjamurnya ketentuan pidana di hampir
setiap undang-undang yang disahkan tanpa menimbang sistem secara koheren
mengenai keseriusan tindak pidana dan berat-ringannya ancaman pidana. Ketiga,
RKUHP juga harus mempertimbangkan pengelolaan perubahan operasionalisasi sistem
peradilan pidana. Tak sebatas sosialisasi, tetapi juga memastikan kesiapan
kapasitas sumber daya manusia dan sarana ataupun prasarana pendukung bagi
aparat penegak hukumnya. Keempat,
masa transisi dua tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 629 dan 632 RKUHP,
menjadi tidak realistis untuk memenuhi, bahkan memprioritaskannya, di saat
iklim politik menjelang Pemilu 2024. Perdebatan
demikian, sayangnya, tak mendalam dalam proses pembahasan RKUHP. Tanpa
orientasi dan strategi yang memenuhi prinsip pembentukan sistem hukum pidana
yang jelas, tak mengejutkan jika RKUHP justru terjebak mengulang masalah yang
sama. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/17/orientasi-sistem-hukum-pidana |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar