RKUHP dan Masa Depan
Living Law di Indonesia Mohammad Farid Yacoeb : Advokat/Founder
FWLS Law Firm dan Kairos Institute Indonesia |
TEMPO.CO, 19 Juli 2022
Ibarat menunggu prajurit pulang
perang (dibaca: ketidakpastian) akhirnya pemerintah menyatakan final atas
RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pada tanggal 4 Juli 2022
dan telah diserahkan ke DPR RI pada tanggal 6 Juli 2022, hal ini sontak
menimbulkan pro serta kontra dari sebagian masyarakat terkait beberapa pasal
yang masih bias baik secara tekstual maupun dalam bentuk penerapan delik. Penulis akan mencoba untuk
mengkaji sekaligus memberikan pandangan subjektif terkait peran hukum
masyarakat adat dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, sebagai
masyarakat multikultural Indonesia memiliki berbagai macam bentuk
aturan-aturan adat yang beragam dari teknis pengaturan waris dalam keluarga,
urusan dagang, hingga sanksi terhadap suatu peristiwa yang melanggar norma adat
tersebut. Pada prinsipnya hukum adat
tidak secara eksplisit memisahkan mana bagian dari hukum perdata dan mana
bagian dari sebuah hukum pidana. Seiring berjalannya waktu, masyarakat adat
sendirilah yang menganggap tindakannya merupakan bagian dari hukum positif,
sebagai contoh ialah sebuah sanksi denda untuk seseorang yang telah melanggar
ketentuan adat pada suatu wilayah adat berupa “harta” yang terkadang kita tak
tau persis apa tolok ukurnya hingga masyarakat adat dapat menyimpulkan
besaran dari nilai atau barang atas denda tersebut. Dalam RKUHP yang telah
diserahkan pemerintah kepada DPR RI pada Pasal 1 Ayat (1) masih tertuang azas
legalitas sebagai pondasi pertama dari ratusan pasal dalam KUHP semenjak awal
diundangkannya yakni pada tahun 1946, namun yang menarik dalam RKUHP ini
ialah pemerintah pada Pasal 2 Ayat (1) secara gamblang mengadopsi living law
ke dalam hukum positivisme Indonesia, menurut Barda Nawawi Ariefdalam buku
“Beberapa Pokok Pemikiran Dalam Aturan Umum Konsep KUHP Baru” beliau menyatakan
“bahwa konsep KUHP baru ini merupakan karateristik asas legalitas menurut
pandangan dan pemikiran orang Indonesia yang tidak terlalu formalistic dan
terpisah-pisah”. Dari pandangan ahli di
atas RKUHP ini dibentuk bertujuan agar penegak hukum dalam menjalankan tugas
profesi diharapkan dapat memprioritaskan orientasinya kepada keadilan
dibandingkan kepastian hukum secara tekstual, sebab hal ini menyumbangkan
resiko terbesar dari menumpuknya perkara di Mahkamah Agung yang notabene
sederhana dan harusnya dapat terselesaikan dengan restorative justice. Menjawab isu terkait Pasal
2 Ayat (1) RKUHP di mana sebagian kalangan Praktisi dan Akademisi hukum
beranggapan bahwa pasal tersebut telah menyimpangi prinsip asas legalitas
yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (1) RKUHP dikarenakan Pasal2 Ayat (1) secara
tidak langsung telah mengakomodir aturan-aturan adat hingga memperluas makna
asas legalitas di dalam RKUHP tersebut, akan tetapi hal-hal yang berhubungan
dengan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisional suatu daerah
sesungguhnya telah diatur dalam konstitusi UUD (Undang-Undang Dasar) 1945
Pasal 18B Ayat (2) yakni “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masihhidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalamundang-undang”. Dengan berlandaskan
konstitusi sudah jelas dan mutlak bahwa eksistensi dari masyarakat hukum adat
ini sesungguhnya telah diselamatkan terlebih dahulu oleh konstitusi negara
Republik Indonesia sendiri, artinya bukan tanpa alasan pemerintah
menggandengkan asas legalitas dengan living law di dalam RKUHP yang mana
tujuannya tak jauh dari memberi peran masyarakat adat Indonesia dalam
pembaharuan serta penegakan hukum pidana nasional kedepan. Secara historis aturan
adat kerap hanya bersumber dari kebiasaan yang telah turun-temurun diterapkan
oleh masyarakatnya sendiri, dalam hal ini jika kita menyigi prinsip hukum
pidana yakni asas lex scripta (hukum pidana itu harus tertulis) dan lex certa
(hukum pidana itu harus jelas) dibandingkan dengan aturan adat jelas sangat
tak selaras sebab hukum adat sendiri mayoritas tidak tertulis bahkan antara
Pidana dan Perdata pun hukum adat tidak mendikotomikannya secara jelas. Dalam praktiknya pemisahan
tersebut terjadi hanya atas dasar kebiasaan saja sebagai contoh ketika
seseorang melakukan perzinahan ada yang dihukum dengan denda sejumlah uang
sebagai bentuk hukuman pidana dan atau dipaksa menikah agar menimbulkan suatu
hubungan hukum baru antara laki-laki dengan perempuan secara keperdataan. Oleh karena masyarakat
adat tidak secara jelas dan tertulis dalam menerapkan hukum yang bersumber
dari kebiasaan tersebut maka RKUHP dalam bagian penjelasan Pasal 2 Ayat (1)
menyatakan bahwa “…Untuk memberikan dasar hukum mengenai berlakunya hukum
pidana adat (delik adat), perlu ditegaskan dan dikompilasi oleh pemerintah
yang berasal dari Peraturan Daerah masing-masing tempat berlakunya hukum
pidana adat….” Hal ini menurut penulis sengaja dituangkan oleh pemerintah
agar tetap menjaga marwah konstitusional RKUHP dalam pembaharuan hukum pidana
nasional serta guna mempertegas bagaimana eksistensi hukum pidana adat tanpa
bertolak belakang dengan asas lex scripta dan lex certa. Dapat kita tarik kesimpulan
bahwa maksud dari RKUHP mengadopsi living law dan mengawinkannya dengan asas
legalitas ialah demi kepentingan masyarakat adat yang kerap terisolir oleh
perkembangan hukum positif di Indonesia, serta dengan adanya peran hukum
masyarakat adat yang masuk ke dalam hukum positif pidana Indonesia justru
menjadi suatu bentuk pembenaran secara konstitusional. Selanjutnya aturan ini
juga berguna untuk mengakomodir kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam
penyelesaian sebuah peristiwa hukum yang melanggar norma-norma hukum pidana
adat, hadirnya RKUHP juga membantu para penegak hukum agar lebih mengemukakan
keadilan dibanding kepastian hukum terutama majelis Hakim yang menangani
perkara-perkara hukum pidana adat bisa terbantu dalam upaya menemukanhukum
(rechtvinding) dengan memanfaatkan peran judge made law agar Putusannya kelak
dikemudian hari dapat menjadisumber hukum yurisprudensi dan berguna untuk
hukum di masa mendatang (ius constituendum). ● Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1613641/rkuhp-dan-masa-depan-living-law-di-indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar