Menghindari
Resesi Ekonomi Umar
Juoro : Senior Fellow The Habibie Center |
KOMPAS, 21 Juli 2022
Banyak negara, terutama Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa, khawatir mengalami resesi, dengan peningkatan suku bunga
yang tinggi untuk mengatasi inflasi yang sudah telanjur tinggi. Inflasi di AS sudah 9,1 persen, di Uni Eropa 8,6
persen, dan Inggris 9,1 persen. Perkiraannya, bank sentral AS, The Fed, akan
menaikkan lagi suku bunga sebesar 1 persen. Namun, bank sentral Eropa dan
Inggris tidak seagresif The Fed dalam menaikkan suku bunga. Kekhawatiran
stagflasi (pertumbuhan negatif dan inflasi tinggi) juga terjadi. Sementara itu, harga komoditas minyak dan pangan
sebenarnya mulai terkoreksi turun. Harga minyak menjadi di bawah 100 dollar
AS per barel, harga gandum (dan CPO) juga mulai turun. Kekhawatiran resesi
dan terjadinya pasokan yang lebih besar dari produsen menurunkan harga
minyak. Pengecualian embargo gandum dan pupuk dari Rusia dan pembukaan
pelabuhan di Ukraina menurunkan harga gandum. Namun, hal ini masih belum menurunkan ekspektasi
inflasi. Ekspektasi inflasi masih tinggi karena besarnya aliran dana ke pasar
keuangan ketika suku bunga rendah berlangsung cukup lama, sejak krisis
keuangan global 2008. Dana dalam jumlah besar ini harus ditarik oleh bank
sentral di negara-negara maju untuk mengendalikan inflasi. Selain itu, gangguan rantai pasok produksi akibat
dari pandemi Covid-19 juga tidak bisa diatasi dengan cepat. Pengaruhnya, modal mengalir kembali ke AS, yang
menyebabkan mata uang—tidak saja di negara berkembang, tetapi juga negara
maju—mengalami pelemahan atau depresiasi cukup besar. Pasar modal, saham, dan
obligasi juga mengalami tekanan. Bahkan, harga emas dan kripto pun mengalami
penurunan dengan penguatan dollar AS. Implikasi bagi Indonesia Inflasi di Indonesia merangkak naik menjadi 4,35
persen, lebih tinggi dari batas atas dan suku bunga kebijakan Bank Indonesia
(BI) yang tetap 3,5 persen. Karena itu, nilai rupiah terdepresiasi menembus
Rp 15.000 per dollar AS. Perkiraannya, BI harus menyesuaikan suku bunga
kebijakan untuk stabilitas inflasi dan rupiah. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi masih cukup baik,
sedikit di atas 5 persen. Kredit perbankan tumbuh tinggi 9 persen dan neraca
perdagangan masih surplus. Ekspor komoditas memberikan keuntungan besar.
Kepercayaan konsumen juga masih cukup tinggi. Sektor utama manufaktur tumbuh
seiring dengan ekonomi. Akankah perkembangan ekonomi ini berlanjut menghadapi
kemungkinan resesi di negara maju? Pertama-tama yang harus diperhatikan adalah
keseimbangan dalam ekonomi nasional. Ekonomi tumbuh positif, dengan
keseimbangan neraca perdagangan yang baik. Namun, keseimbangan moneter dan
fiskal bisa goyah, dengan adanya kesenjangan antara inflasi dan suku bunga,
dan inflasi yang ditahan dengan subsidi besar energi, termasuk kompensasi
yang mencapai Rp 500 triliun. Tentu saja koreksi membutuhkan biaya. Peningkatan
suku bunga mengerem pertumbuhan kredit yang penting bagi pertumbuhan ekonomi.
Pengendalian subsidi menaikkan inflasi. Namun, koreksi ini harus dilakukan
supaya ekonomi berjalan dengan kekuatan sendiri dan berkelanjutan. Perusahaan butuh insentif Para pelaku usaha masih membutuhkan insentif dalam
masa pemulihan dari pandemi. Apalagi untuk industri yang bertransformasi
dengan pekerja yang lebih terampil dan teknologi yang lebih tinggi. Insentif
produksi dan investasi dalam bentuk pajak dan nonpajak sangat membantu. Dengan permintaan kredit yang tinggi, korporasi
tumbuh 10 persen dan UMKM 17 persen, perusahaan dalam nada ekspansi.
Kemungkinan kenaikan suku bunga kebijakan tak terlalu terpengaruh, dan justru
bisa mengarahkan ekspansi ke kegiatan dengan produktivitas dan imbal hasil
lebih tinggi. Industri dengan Indeks Manajer Pembelian (Purchasing
Managers’ Index/PMI) terus melakukan ekspansi di tingkatan 50,2. Pergeseran
rantai pasok global dari China memberikan peluang baik bagi industri di
Indonesia. Sektor perdagangan juga berkembang, terutama e-commerce.
Transportasi juga mendekati keadaan pulih setelah pandemi Covid-19.
Telekomunikasi dan informasi tetap tumbuh tinggi. Perusahaan keuangan dan non-keuangan pada umumnya
membukukan laba yang cukup baik pada tahun lalu dan pada semester pertama
tahun ini. Perusahaan yang utangnya harus direstrukturisasi sudah
melakukannya dengan kemudahan dari bank yang diminta Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). Tantangan mereka adalah melakukan penyesuaian
terhadap kenaikan harga bahan baku yang cepat atau lambat harus disampaikan
kepada konsumen. Di sini antara lain sumbangan dorongan inflasi. Menjaga konsumsi Selain kepercayaan konsumen yang cukup tinggi di
tingkatan 128 (di atas angka 100 berarti dalam zona optimistis), konsumen
masyarakat berpendapatan menengah dan tinggi masih besar tabungannya,
sebagaimana terlihat dari masih tingginya pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK)
di perbankan yang sekitar 9,9 persen. Konsumsi mereka, khususnya untuk barang tahan lama
(rumah dan kendaraan bermotor dan juga listrik), sebaiknya terus
difasilitasi, antara lain dengan insentif Pajak Penjualan Barang Mewah
(PPnBM), walau dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang lebih tinggi. Mereka
masih dapat menyesuaikan harga barang konsumsi dengan terjadinya inflasi. Bagi konsumen bawah, inflasi lebih tinggi sangat
memukul mereka. Karena itu, bantuan sosial dan subsidi terarah sangat
diperlukan dan ini semestinya mengompensasi pengurangan subsidi umum energi.
Jadi, Indonesia bisa menghindari resesi, bahkan dengan pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi, dengan kebijakan moneter dan fiskal yang dikoreksi,
insentif untuk produksi dan investasi, menjaga konsumsi, serta mengarahkan
bantuan sosial dan subsidi. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/20/menghindari-resesi-ekonomi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar