Tim Pengacara
Beberkan Foto Dugaan Penyiksaan di Tubuh Brigadir Yosua (3) Penyaji Berita : Tim Kumparan |
KUMPARAN.COM,
18 Juli 2022
“Kami melaporkan tindak
pidana pembunuhan berencana, pencurian dan penggelapan handphone, serta
penyadapan ilegal, peretasan, dan dugaan tindak pidana komunikasi,” kata sang
pengacara, Kamaruddin Simanjuntak. Ia lantas menunjukkan
foto-foto luka di tubuh Yosua yang diduga berasal dari penganiayaan. Dengan
tegas ia mengatakan, Yosua bukan hanya diberondong tembakan, tapi juga
disiksa. Berikut pemaparan lengkap
Kamaruddin Simanjuntak beserta tim pengacaranya dalam wawancara dengan
kumparan, Minggu (17/7). Temuan
apa saja yang Anda dapatkan setelah berkomunikasi dengan keluarga Yosua? Keterangan yang diberikan
Polri berbeda dengan fakta yang ditemukan keluarga. Begitu jenazah almarhum
[Brigadir Yosua] tiba di Jambi, keluarga pertama-tama diperintahkan [polisi]
untuk tidak memegang handphone, tidak memfoto, tidak memvideokan. [Yang memerintahkan itu]
rombongan polisi dari Jakarta, baik yang dipimpin oleh Kombes, Propam Mabes
Polri, maupun Brigadir Jenderal dari Karo Paminal. Ketika Karo Paminal
Brigadir Jenderal Hendra datang ke sana, rombongan polisi masuk dan langsung
menutup pagar sekolah karena keluarga itu tinggal di lingkungan sekolah. Tanpa izin, mereka
langsung membuka pintu rumah. Begitu Jenderal [yang mengantar jenazah] masuk,
pintu langsung ditutup, jendela atau gorden ditutup, lalu ia memerintahkan
tidak ada perekaman. “Turunkan handphone, tidak
boleh merekam karena ini aib,” kurang lebih begitu katanya. Jadi mereka
menyebutnya “aib”. Jadi dari awal keluarga
merasa sangat ditekan, bahkan seperti dianggap kelompok teroris. Dan walau peti jenazah
sudah diserahterimakan, tapi dijaga terus supaya jangan sampai dibuka.
Padahal mestinya polisi bisa pergi, kecuali misal ada upacara kepolisian,
maka ada polisi ditugaskan pada hari atau jam pemakamannya. Tapi ini kan tidak ada
upacara kepolisian. Jadi mengapa polisi terus menjaga peti itu agar jangan
sampai dibuka? Lalu sewaktu ibu almarhum
bertanya bukti tembak-menembak, ia dimarahi. Ketika ayah almarhum bertanya
“Dari jarak berapa Yosua ditembak? Rekaman CCTV-nya mana?”, dimarahi juga.
Jadi intinya yang boleh bicara hanya Jenderal atau Kombes polisi, sedangkan
orang tua almarhum hanya bisa menerima informasi. Tidak boleh bertanya, hanya
boleh mendengar. Keluarga merasa sangat terintimidasi
dan berpikir ini sangat tidak logis. Mereka ini tersangka teroris atau
bagaimana? Kok diperlakukan seperti itu saat suasana duka? Jadi
kejanggalan apa saja yang sejauh ini Anda himpun? Dalam surat pengantar
jenazah almarhum, disebutkan bahwa Yosua—yang jenazahnya ada di dalam peti
yang mereka antar—ini berumur 21 tahun. Nah, karena jenazah dalam peti
disebut berumur 21 tahun, tentu keluarga semakin ingin tahu: jenazah siapa
itu? Karena umur Yosua bukan 21 tahun, melainkan 28 tahun. Itu sebabnya mereka ingin
membuka peti jenazah. Tapi seluruh petugas kepolisian yang ada di sana terus
menghalangi seolah-olah peti ini benda keramat yang tidak boleh dibuka.
Padahal, keluarga Yosua ini orang Batak yang punya tradisi mengulosi orang
yang meninggal. Pokoknya, peti jenazah
dijagain dan ditungguin terus supaya enggak dibuka. Akhirnya, keluarga dengan
dalih menambah formalin untuk mengawetkan jenazah supaya bisa dikubur Senin,
11 Juli 2022—karena kan diduga matinya Jumat, 8 Juli—memanggil petugas medis
untuk memasukkan formalin [ke tubuh Yosua] sehingga dibukalah petinya dan
dibukalah baju Yosua. [Untuk memasukkan
formalin], keluarga minta izin polisi untuk membuka peti jenazah. Polisi
keluar sebentar dari rumah, dan keluarga buru-buru membuka baju Yosua. Berikutnya, mereka kaget
karena menemukan luka di sana sini, tapi bukan bekas peluru. Ternyata ada
bekas sayatan di bibir, hidung, leher, bawah mata jenazah, belakang kepala.
Sampai dijahit dua-tiga kali. Padahal yang dirilis oleh Karo Penmas Polri
adalah [kematian karena] tembak-menembak. Tapi, nyatanya, semakin
dibuka seragam polisi yang dipakaikan ke jenazah, terlihat ada sayatan dan
luka akibat benda tajam. Dibuka bajunya di bagian atas, terlihat pundaknya
hancur diduga bukan karena peluru, tapi karena penganiayaan. Dagingnya hampir
terkelupas dan bahkan masih mengeluarkan darah saat itu. Berlubang besar
kayak robek karena benda tajam. Kemudian di telinga dalam
bengkak, dan di belakang telinga ada robekan kurang lebih satu jengkal.
Robekan ini diduga digolok atau dibacok. Mungkin ketika dia duduk, ditancap
dari belakang, makanya robek di belakang telinga. Kalau robekan yang sudah
dijahit dari bawah leher sampai bawah pusar ini karena autopsi. Tapi, selain
bekas peluru di tangan dan dada; di perut kiri dan perut kanan, juga di bawah
ketiak, ada lebam-lebam biru bekas penganiayaan, diduga karena benda tumpul. Di jari-jari juga ada
tanda bekas dianiaya. Jari manis dan kelingkingnya patah dan luka-luka. Kedua
jari ini dirusak, dan bukan oleh peluru. Saat dibuka celananya, di
kakinya, di bawah betis, ada lagi luka tusuk karena senjata tajam, tembus
sampai ke urat nadi. Lebar lubangnya kurang lebih dua buku jari. Ini mungkin
karena sangkur atau popor senjata atau badik. Yang jelas bukan karena peluru. Memang di tubuh Yosua ada
7 lubang berwarna hitam, katanya itu lubang peluru. Tapi ada bekas senjata
tajam. Ini memerlukan investigasi: siapa yang menyayat-nyayat Yosua? Luka-luka itu membuat
keluarga tidak percaya dengan penjelasan Karo Penmas bahwa [kematian Yosua]
karena tembak-menembak. Apalagi penembak yang satu lagi (Bharada E) tidak
kena satu peluru pun. Timbul pertanyaan: apakah
Yosua disiksa dulu? Disiksa, disayat-sayat, dan dipukuli baru ditembak; atau
ditembak dulu baru disiksa? Itu harus terjawab. Kalau
dia ditembak dulu, lalu mati, baru disiksa… loh, mayat kok disiksa? Kalau disiksa dulu—disayat
matanya, dipukuli sampai babak belur bahunya, disayat leher dan kakinya—baru
ditembak, berarti pelakunya psikopat. Bagaimana
keterangan resmi pada hasil autopsi? Kapolres Jakarta Selatan
memohon autopsi ke RS Polri—ditandatangani stafnya atas nama dia. Di situ
tidak dirinci apa saja luka-lukanya, bekas tembakannya, dan bekas
penyiksaannya. Hanya ditandatangani dalam keadaan kosong. Yang disebut hanya
jenazah ditemukan pukul 17.00. Saat kami tanyakan ke
keluarga apakah ada yang memberi izin autopsi, ibu, bapak, tante, dan adik
perempuannya menyatakan tidak. Tapi adik lelakinya yang juga polisi
menandatangani lembaran kertas. Adiknya ini dipanggil Karo Provos, lalu
memerintahkan dia untuk pergi ke RS Polri. Di sana adiknya tidak melihat
mayat abangnya, tapi disodori kertas untuk ditandatangani. Perkiraannya, itu
kertas permintaan autopsi. Lalu keluarlah abangnya
sudah dalam peti yang kemudian dikirim ke Jambi. Apakah
hasil autopsi hanya menyebut adanya luka tembak? Tidak, tidak ada. Tidak
ada penjelasan apa-apa dari pihak rumah sakit sampai sekarang.
Tembak-menembak itu hanya keterangan—atau pendapat—dari Karo Penmas Mabes
Polri. Saya yakin Karo Penmas tidak di TKP. Jadi mungkin dia mendapat
keterangan dari orang lain. Saya rasa dia juga tidak memeriksa mayatnya. Dalam surat permintaan
visum et repertum, tidak dijelaskan apa-apa saja yang luka. Semua kolomnya
kosong, kecuali namanya: Nofriansyah Yosua, laki-laki kelahiran Jambi, 1994.
Di sini umurnya ditulis benar—28 tahun. Tetapi rincian tentang apa yang
terjadi, tidak dijelaskan. Kepala Kepolisian Resor
Metro Jakarta Selatan mengosongkan saja kolom-kolom itu. Keterangan tempat
kejadian perkara pun tak ada, kecuali ditulis: korban ditemukan mati di
alamat tersebut di atas—mungkin maksudnya ya di Duren Tiga—pada 8 Juli 2022
jam 17.00. Tapi, di sertifikat
kematian, yang mati adalah laki-laki berusia 21 tahun. Padahal yang dimohon
untuk visum et repertum adalah laki-laki kelahiran 1994. Nah, ini kan ada
perbedaan antara 28 tahun dan 21 tahun. Dalam sertifikat kematian pun nomor
KTP-nya tidak ditulis. Dokter yang membuat surat
keterangan kematian itu, dari tanda tangan yang tercantum, adalah dr. Arif
Wahyono, Sp.F. Ini
bukan tembak-menembak. Ini penganiayaan. - Samuel Hutabarat, ayah Yosua Apa
lagi yang menurut Anda tidak sesuai prosedur? Ada penghilangan barang
bukti seperti dekoder CCTV di TKP, ada kemungkinan perusakan TKP, tidak
memasang police line, tidak melibatkan Inafis persis sesudah peristiwa
terjadi. Seharusnya saat mayatnya
masih di sana, Inafis mengecek segala macam—dari jari sampai kaki. Lalu mayat
yang katanya tertelungkup itu dipotret. Seharusnya kan begitu. Di Jakarta,
petugasnya sudah ahli semua. Tapi kalau ada intervensi, keahlian bisa hilang. Inafis
(Indonesia Automatic Fingerprint System) adalah unit khusus kepolisian yang
mengumpulkan bukti-bukti di TKP untuk membantu proses penyidikan suatu
perkara. Inafis
baru datang ke rumah Irjen Sambo untuk olah TKP pada hari yang sama dengan
dipasangnya police line di sana, yakni Selasa malam, 12 Juli—empat hari
sesudah kematian Brigadir Yosua. Selain itu, tidak ada
penangkapan. Seharusnya semua orang di rumah itu ditangkap dulu 1 x 24 jam
untuk dimintai keterangan, baik Kadiv Propam maupun istrinya. Setelahnya,
baru penyidik boleh memulangkan mereka kalau tidak menemukan bukti. Penyidik bisa juga membuat
perintah penahanan 20 hari, lalu diperpanjang 40 hari untuk kepentingan penyelidikan.
Tapi kenapa tidak dilakukan? Padahal ada peristiwa kematian di rumah itu. Supaya penyidikan berjalan
baik, idealnya Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo dinonaktifkan dulu. Jadi,
menurut Anda Irjen Sambo seharusnya ditahan dulu di hari kejadian karena
rumahnya menjadi TKP? Untuk
kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang
melakukan penangkapan. -
Pasal 16 ayat 1 UU Hukum Acara Pidana (KUHAP) Perintah
penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. -
Pasal 17 KUHAP Perintah
penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau
terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang
cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti
dan atau mengulangi tindak pidana. -
Pasal 21 ayat 1 KUHAP Kemudian soal TKP, ada dua
kemungkinan: di rumah atau di mobil. Mengapa kami bilang bisa
di mobil dalam perjalanan antara Magelang dan Jakarta? Begini logikanya, pagi jam
10.00 WIB, Yosua masih berkomunikasi dengan ayah ibunya yang sedang berziarah
ke Sumatera Utara dari Jambi. Dia bilang, “Mak, saya mau mengawal balik ke
Jakarta.” Nah, kalau bermobil dengan
kecepatan tinggi, Magelang-Jakarta itu sekitar 7 jam. Jadi kalau berangkat
dari Magelang jam 10.00 pagi, dia baru sampai di Jakarta jam 17.00 WIB.
Tetapi dalam permohonan autopsi Kapolres Jaksel ke RS Polri, dia sebut
menemukan mayat jam 17.00 WIB. Lah, lalu peristiwa tembak-menembaknya kapan? Sebelum jam 17.00
seharusnya kan [Yosua] masih dalam perjalanan—di mobil. Tapi katanya pukul
17.00 itu Kapolres tiba di tempat (rumah dinas Irjen Sambo) dan sudah melihat
ada mayat [Yosua]. Berarti baku tembaknya kapan, dong? Jangan sampai ada yang
mengarang cerita. Maka dari itu, mobilnya
juga harus disita dan diperiksa oleh penyidik. Rumah diperiksa, mobil pun
diperiksa. Apa
yang akan dilakukan keluarga Yosua berikutnya? Kami akan melaporkan
tindak pidana dugaan pembunuhan berencana dan penganiayaan yang menyebabkan
kematian orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 340 KUHPidana juncto Pasal 338
KUHP juncto Pasal 351 ayat 3 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 tentang dugaan
penyertaan dan atau perbantuan. Pada
KUHP, Pasal 340 dan 338 masuk dalam Bab XIX tentang Kejahatan terhadap Nyawa,
Pasal 351 masuk dalam Bab XX tentang Penganiayaan, dan Pasal 55 masuk dalam
Bab V tentang Penyertaan dalam Tindak Pidana. Barang
siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang
lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun. -
Pasal 340 KUHP Barang
siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. -
Pasal 338 KUHP Jika
mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. -
Pasal 351 (1) Dipidana
sebagai pelaku tindak pidana: 1.
mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan perbuatan; 2.
mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau
dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang
lain supaya melakukan perbuatan. -
Pasal 55 ayat (1) KUHP Kami juga melaporkan
tindak pidana pencurian atau penggelapan handphone, karena tiga handphone
almarhum sampai sekarang belum tahu ada di mana, tapi ternyata sudah diretas
dan dipakai memblokir hubungan dengan keluarganya—orang tuanya,
kakak-adiknya. Kami pun melaporkan tindak
pidana peretasan karena [pelaku] meretas handphone ayah-ibunya dan
kakak-adiknya; juga tindak pidana telekomunikasi, yaitu dugaan penyadapan
atau perekaman tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri. Sebelumnya,
Brigadir Yosua kan justru dilaporkan istri Irjen Sambo, Putri Candrawathi, ke
Polres Jaksel atas dugaan pencabulan dan ancaman tindakan kekerasan? Nah, itu sudah ada framing
dari Ferdy Sambo dan kawan-kawannya, seolah-seolah mereka ini korban. Ini
aneh, sebab pembunuh Yosua belum ditangkap, kematiannya belum terungkap, tapi
kok mereka (keluarga Sambo) yang dilindungi? Seharusnya yang dilindungi
itu korban dan keluarga korban. Seharusnya keluarga disediakan rumah aman
supaya terlindungi. Jangan sampai muncul persepsi bahwa kalau pangkat tinggi
mendapat perlindungan berlapis-lapis, tapi tidak untuk yang pangkat rendah. Kan kita sama di hadapan
hukum. Pangkat tinggi atau pangkat rendah sama saja. Jangan karena yang ini
[cuma] brigadir, lalu mendapat perlakuan semena-mena yang menyalahi hukum dan
HAM. Anggota tim pengacara
keluarga Yosua, Johnson Panjaitan, juga menggarisbawahi relasi kuasa tak
seimbang dalam penyelidikan kematian sang ajudan. Berikut pernyataan Johnson
dalam perbincangan dengan kumparan, pada kesempatan yang sama: Yosua ini kan pangkatnya
brigadir, dan peristiwa ini terjadi di rumah seorang perwira tinggi yang
menjadi atasannya. Dalam kasus ini, ada hubungan kuasa tak seimbang, karena
kejadiannya di rumah [Kadiv Propam] Ferdy Sambo, di mana bawahannya dituduh
selingkuh dengan istrinya, lalu terjadilah tembak-menembak. Baik almarhum maupun
keluarganya berada di posisi bawah. Di sini, Kapolres sebagai penyidik
mengatakan bahwa Pak Sambo datang lebih dulu ke sana, membuat laporan, lalu
ada olah TKP, dan dibuatkan autopsi—yang dokumen perizinannya ditandatangani
oleh adik Yosua [yang juga bertugas di Mabes Polri] karena diperintahkan oleh
atasannya. Dia tanda tangan tanpa
tahu dan tanpa lihat [kondisi kakaknya]. Ini hubungan tidak setara, lalu
dijadikan dasar seolah proses sudah sesuai prosedur hukum, padahal tidak
fair. Yang tembak-menembak
polisi, yang melaporkan atasannya, yang memeriksa juga polisi. Kalau pangkatnya bripka
mana bisa seenak-enaknya, sedangkan yang bertanggung jawab, atasannya, bisa
seenaknya. Katanya Kadiv Propam
adalah garda terdepan untuk menjaga citra polisi. Citra mana yang dijaga?
Wong tembak-menembak kayak film koboi. Prosesnya juga enggak karu-karuan. Kalaupun
anak saya salah, masa harus ditembaki seperti ini? - Orang tua Yosua, berkata kepada
pengacara ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar