Demokrasi
Pemirsa Membaca Tontonan Politik Menjelang 2024 Ignasius Jaques Juru: Peneliti di Fisipol Universitas
Gadjah Mada; FB/IG: ignasius juru |
KOMPAS, 18 Juli 2022
Langkah
politik para elite kian rumit dalam mengelola kompleksitas beragam kepentingan
yang harus disolidkan menjelang Pilpres 2024. Kita belum bisa menebak ujung
dari hasil kalkulasi politik para elite tersebut. Tetapi, yang jelas, di
tengah ketidakpastiaan itu, sederet figur potensial tetap saja bergerak untuk
menampilkan citra diri seideal mungkin agar dapat memikat publik dan
menaikkan daya tawar. Diskusi arus utama terkait semua hiruk-pikuk politik
yang sedang berlangsung hanya terkunci pada beberapa hal berikut: pertama,
spekulasi arah koalisi; kedua, calon yang akan dipilih setiap koalisi;
ketiga, potensi konflik internal partai politik; dan keempat, elektabilitas
setiap figur potensial. Namun, dapat dipastikan, sebagian besar menganggap
semua hal tersebut sebagai normalitas dalam politik elektoral tanpa secara
kritis mendalami, sesungguhnya demokrasi seperti apa yang sedang kita jalani?
Sejauh mana semua ini justru berdampak buruk bagi segala upaya kita mendorong
demokrasi yang berkedaulatan rakyat? Demokrasi pemirsa Tentu terlampau ideal jika kita memahami semua
situasi di atas sebagai perwujudan bentuk demokrasi yang menandai hadirnya
kontrol populer. Tetapi sebaliknya, terlalu menyederhanakan juga jika kita
sama sekali memahami apa yang sedang terjadi di luar kerangka demokrasi. Demokrasi modern, dalam rumusan Claude Lefort (1988),
merujuk pada runtuhnya penanda yang pasti dalam politik, dissolution of the
markers of certainty. Artinya, demokrasi ditandai oleh tidak hadirnya model
politik yang tunduk pada nalar tunggal, tetapi menjadi ruang bagi beragam
artikulasi dan gerak bebas dari pelbagai kelompok politik. Dalam konteks ini,
demokrasi menjadi penanda kosong, empty signifier, yang di dalamnya siapapun
bisa meletakkan mimpi dan harapan mereka (Brown,2011). Namun, karena menjadi penanda kosong, demokrasi
berpotensi diisi oleh berbagai corak politik yang beragam. Manin (1997),
misalnya, melihat demokrasi dalam tiga perkembangan besar, dari model
parlementarisme Inggris sejak tahun 1832, kemudian berkembang menjadi
demokrasi kepartaian (party democracy) yang menjadi akibat langsung dari
berlakunya hak pilih universal tahun 1867. Pada era (demokrasi kepartaian) ini, demokrasi
ditandai oleh masuknya kelas bawah dalam politik dan menguatnya bentuk partai
politik massa. Namun, sejak era 1970-an, demokrasi cendrung berkembang ke arah
baru, yakni model audience democracy, demokrasi pemirsa. Demokrasi pemirsa menandai era baru politik yang
ditopang oleh perkembangan media dan melemahnya fungsi partai yang ideologis.
Yang terpenting dalam demokrasi pemirsa adalah supply-side politics, yakni
sisi politik yang diramu oleh para elite beserta pasukan konsultan dan
marketing politik untuk membangun “brand” politik yang siap dijual kepada
publik. Di sini, rakyat dipandang sebagai konsumen politik bagi segala jenis
produk politik yang dihasilkan dari kombinasi kerja para elite dan konsultan
politik. Kecenderungan demokrasi pemirsa ini sesungguhnya
cukup menjelaskan perkembangan politik di Indonesia saat ini. Laku politik
para elite yang hanya sibuk dengan urusan utak-atik formasi politik serentak
di dalamnya mendorong figur-figur potensial untuk terus memberi merek pada
diri demi menaikkan elektabilitas adalah bentuk politik yang membiak di atas
nalar dagang. Menjual beragam citra terbaik untuk dikonsumsi oleh massa
elektoral. Kerja pemasaran politik dan konsultan politik
menjadi sangat sentral di sini. Mereka perlu mengemas dan mendandani para
calon kandidat sesuai dengan fantasi ideal dari massa politik. Akibatnya,
identitas para calon kandidat dapat berubah-ubah sesuai keragaman segmen sosial. Calon kandidat bisa tampil sangat religius. Mereka
juga dapat tampil sebagai sosok sederhana. Di beberapa kesempatan, para calon
kandidat ini dapat tampil sebagai figur muda yang energik serta menjadi sosok
pekerja keras. Intinya, terjadi multiplikasi identitas dalam diri para calon
untuk mengisi fantasi ideal para konsumen elektoral. Selain konsultan dan kerja pemasaran politik,
kehadiran buzzer juga penting untuk terus mengisi celah politik identitas.
Mereka memainkan peran yang oleh Manin disebut sebagai upaya mengidentifikasi
pembilahan dalam masyarakat sehingga dapat mempertebal basis identifikasi
politik. Semua upaya politik ini kemudian diikuti sederet
kerja lembaga survei. Survei penting untuk dilakukan agar elite dapat melihat
statistik kelayakan para calon kandidat dalam bentuk elektabilitas. Setelah semua dilakukan, politik kembali ke meja
para elite untuk ditentukan siapa yang harus terus maju dan kemudian
memikirkan strategi-strategi elektoral yang jitu untuk memikat rakyat. Sekali
lagi, kandidat dengan segala janji yang diucapkan adalah barang dagangan yang
ditawarkan di pasar elektoral. Di sini, politik begitu jauh dari rumusan agenda
publik. Politik tidak lain hanya sekadar tontonan yang ditampilkan elite di
berbagai platform media. Kita menjadi pemirsa yang menunggu setiap langkah
catur politik dan memperhatikan gerak-gerik politik para elite di atas
panggung. De-demokrasi Demokrasi pemirsa memiliki dampak buruk bagi upaya
membangun demokrasi yang substansial. Jika demokrasi substansial dirumuskan,
sebagaimana yang didefinisikan oleh David Beetham (1999), sebagai kontrol
populer terhadap urusan publik berdasarkan kesetaraan politik, maka
kecenderungan demokrasi pemirsa di Indonesia sesungguhnya menyangkal semua
elemen substansial tersebut. Demokrasi pemirsa lebih cenderung membawa politik ke
arah de-demokrasi. Gejala de-demokrasi adalah gejala politik yang
menyingkirkan publik atau kekuatan populer sebagai elemen penentu dari proses
politik. Dengan kata lain, demokrasi pemirsa adalah demokrasi yang
mendepolitisasi peran publik dalam proses politik. Ada beberapa penanda dari ciri de-demokrasi dalam
model demokrasi pemirsa. Pertama, peran partai politik menjadi sangat
pragmatik. Partai menghindar dari upaya membangun basis ideologi yang jelas
karena berorientasi pada upaya politik menjaring semua segmen, catch all
party. Kedua, peran kader dan aktivis partai tergantikan
oleh peran sentral para konsultan politik, ahli media, dan para buzzer
politik. Ketiga, demokrasi pemirsa hanya melanggengkan potensi manipulasi
politik. Gerald Ford, Presiden ke-38 Amerika Serikat, pernah mengingatkan hal
ini. Keempat, demokrasi pemirsa mendeformasi politik
sekadar pertunjukan para elite dan sajian dari kerja-kerja marketing politik.
Kelima, dampak paling serius dari demokrasi pemirsa adalah demokrasi jenis
ini sudah pasti menghilangkan publik sebagai subyek aktif dalam segala proses
politik dan mengonversinya hanya sebagai audiens pasif yang menjadi target
kerja-kerja pemasaran dan geliat para sales politik. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/16/demokrasi-pemirsa-membaca-tontotan-politik-menjelang-2024 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar