Pasal
Penghinaan, Hukum, dan Demokrasi Zainal
Arifin Mochtar: Ketua Departemen HTN FH UGM,
Anggota Constitutional and Administrative Law Society |
KOMPAS, 13 Juli 2022
Salah satu rancangan undang-undang yang
banyak mendapat kritik saat ini adalah RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Betapa tidak, RUU ini memang punya
pergulatan sejarah yang sudah cukup panjang. Berbagai versi dengan ratusan
kontroversi mengiring puluhan tahun pembahasannya. Kiranya, rancangan
terakhir yang paling menarik. Terlepas dari begitu banyak kemajuan dan
terobosan yang dibuat di RUU ini, tentu punya ruang kritik. Terutama terkait
begitu banyaknya ancaman pidana yang diberikan dalam kaitan dengan hak
menyatakan pendapat, khususnya terhadap negara dan aparatnya. Tulisan ini berangkat dari asumsi dasar,
tidaklah mungkin membuat aturan hanya berbasis perspektif pidana. Meski RUU
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berada di ranah hukum pidana, tentu
harus sadar dan melek pada paradigma hukum lain, termasuk konteks negara hukum
dan demokrasi itu sendiri. Penghinaan presiden Seharusnya, kita berangkat dari fakta,
RUU KUHP telah mencari dan mencoba melakukan terobosan. Soal penghinaan ini,
sebenarnya terobosan yang diharapkan adalah mencari perspektif baru. Semisal,
menjadikannya ranah perdata karena sangat berkaitan erat dengan relasi
individual. Ini pula sebabnya mengapa begitu banyak
negara, seperti Togo, Afrika Barat, Kroasia, Ghana, Uganda, Timor Leste, dan
Belanda, yang telah menghapus ketentuan pidana penghinaan dan hijrah menjadi
perdata (Lobby Loekman dkk). Di beberapa negara, pilihan perdata
menjadi yang utama. Hanya dalam kondisi teramat khusus, akan dijadikan
pidana. Pun, tatkala mau dipertahankan sebagai delik pidana, prinsip equality
before the law sebagai prinsip negara hukum demokratis harus diperhatikan. RUU KUHP ini, seiring penjelasan
Wamenkumham Eddy OS Hiariej dalam tulisan di Kompas (”Penghinaan dalam Hukum
Pidana”, 2/6/2022), abai bahwa makin merosotnya Indeks Demokrasi Indonesia
salah satunya karena adanya ancaman represi atas kebebasan berekspresi. Tentu
saja menambah aturan berpotensi menindas kebebasan berekspresi dan di
ujungnya kian melemahkan indeks demokrasi. Menggunakan aturan ala lese majeste yang
memang masih ada di beberapa negara sebagai pembenaran untuk menerapkan di
Indonesia juga tak tepat. Aturan itu sebenarnya merupakan bentuk hukum
monarki, yang masih dipertahankan di negara-negara yang punya tradisi monarki
yang demokrasinya (terkadang) dipadukan dengan demokrasi parlementer. Mengapa demikian? Raja atau ratu adalah
simbol negara yang tidak dipilih secara demokratis, tetapi diturunkan secara
hereditas. Berbeda dengan posisi kepala negara yang dipilih melalui pemilu
secara demokratis, meniscayakan kritik dan ekspresi. Dalam sistem presidensial,
presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dan karena itu melekat
kemungkinan untuk dikritik secara langsung apa yang ia lakukan. Posisinya malah semakin bisa berganda,
rakyat bukan hanya selaku warga negara, tetapi juga selaku pemilih. Relasi
yang ada adalah warga negara dan juga sebagai pemilih yang memiliki relasi
langsung dengan presiden yang dipilihnya. Itu sebabnya, negara dengan
demokrasi presidensial tidak banyak yang menggunakannya. Harus diakui, Pasal 218-220 beserta
penjelasan di RUU KUHP tidak ”sekejam” Pasal 112 Hukum Pidana Thailand. Benar kritik dan penghinaan coba
dipisahkan melalui bagian penjelasan bahwa parameter tidak dipidana jika
dilakukan untuk kepentingan umum, yakni melindungi kepentingan masyarakat
yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak demokrasi, misalnya melalui
kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Tetapi,
konstruksi ini sebenarnya berpotensi ”karet” karena parameter penggunaannya
akan menjadi diskresi aparat penegak hukum (APH). Contoh sederhana, soal batasan bahwa itu
kepentingan masyarakat. Tetap di ujungnya akan diserahkan kepada APH. Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) seharusnya jadi pembelajaran. UU ITE yang dimaksudkan
berbeda malah memangsa begitu banyak korban salah sasaran dan kemudian
memaksa negara mengeluarkan semacam prosedur penggunaannya, karena sifat
”karet”-nya. Sering kali, masalahnya bukanlah pada pemahaman publik yang
tidak mampu membedakan kritik dan penghinaan, tetapi problem di APH yang acap
kali rabun membedakannya karena kecenderungan berpihak kepada penguasa. Didie SW Ketika dipertahankan, tetapi menjadi
delik aduan, ini cukup menarik dan memang sejalan putusan MK. Akan tetapi,
jika membaca putusan MK, sebenarnya bukanlah wajib membuatnya dalam satu
pasal tersendiri, melainkan sangat bisa diarahkan ke delik aduan yang
diberlakukan umum. Itu sebabnya, mengapa tak disamakan saja dengan delik
penghinaan secara umum yang berlaku untuk semua dan bukan hanya presiden dan
wakil presiden. Logika yang dibangun Hiariej—bahwa
presiden dan wakil presiden adalah primus interpares dan karena itu harus
dibedakan seperti ketika membedakan pembunuhan atas presiden yang jadi delik
makar dan bukan pembunuhan biasa—tentunya kurang tepat. Dalam makar, yang dipidanakan tentunya
adalah permulaan pelaksanaannya. Belum lagi, mengapa dikategorisasikan makar
dengan dicegah di permulaan pelaksanaannya, karena potensi besar merusak
jalannya kehidupan bernegara secara langsung ataupun tak langsung. Jauh
berbeda dengan penghinaan atas presiden, yang nyaris tidak berimplikasi
apa-apa kecuali atas diri pribadi presiden. Juga ketika menyatakan penghinaan atas
kepala negara lain adalah alasan untuk tetap adanya pasal ini, terasa tak
tepat. Sebenarnya, pasal penghinaan atas kepala negara lain merupakan
penjagaan atas relasi antarnegara yang resiprokal. Itu pun sebenarnya perlu
penerjemahan lebih lanjut. Semisal, jika ada penghinaan dan kritik atas
kepala negara lain, tetapi merupakan sikap yang menjiwai Pancasila dan UUD
1945, apakah tetap merupakan hal yang harus dipidanakan? Misalnya, kritik keras kepada negara
yang masih melakukan tindakan penjajahan atas negara lain, maka kritisi atas
itu adalah bagian dari doktrin dasar negara ”kemerdekaan adalah hak segala
bangsa” dan ”penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”. Apakah mungkin
seseorang dipidana dengan konstruksi demikian? Yang paling khusus, jika memang para
pembantu Presiden yang mengagregasi pasal ini dengan keyakinan pada Presiden
Joko Widodo dan menilai ia tidak akan menggunakan pasal ini secara
serampangan, ini pun seakan kekeliruan diagnosis. Siapa yang bisa menduga presiden
selanjutnya bukan seorang demagog atau malah otoriter sejati? Dengan pemilu
yang ramah kepentingan oligarki, mendapatkan presiden model ini kelihatannya
bukan mustahil. Dengan seketika ia memiliki senjata yang dengan mudah ia
gunakan untuk membunuh semangat demokrasi dan ”anak-anak” yang bernaung di
bawahnya. Terlebih tatkala ia menguasai APH dan kelembagaan peradilan, ia
akan mudah menggunakan kesemua pasal itu untuk membonsai kebebasan
berekspresi. Penghinaan lembaga Pasal 351 RUU KUHP memberikan ancaman
pidana kepada siapa saja yang melakukan penghinaan atas kekuasaan umum atau
lembaga negara, lebih khusus jika itu mengakibatkan kerusuhan di masyarakat,
maka dipidana lebih ”keras”. Dalam penjelasan dikatakan bahwa ini
digunakan demi memberikan kehormatan pada kekuasaan umum atau lembaga negara.
Kekuasaan umum atau lembaga negara ini meliputi, antara lain DPR, DPRD,
Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, atau pemerintah daerah. Bunyi penjelasan itu sebenarnya
menjelaskan apa yang ada di relung kesadaran para penyusun RUU KUHP ini
karena kelembagaan yang disebut secara langsung itu lembaga yang kerap
bermasalah dan menjadi sasaran kritik. Apalagi dengan kalimat ”antara lain”,
menjadi sedemikian luasnya kekuasaan umum atau lembaga negara ini. Salah satu
tafsir lembaga negara tentu saja adalah lembaga negara ataupun lembaga di
bawah presiden dan lembaga lain yang menjalankan fungsi pemerintahan, baik di
pusat maupun di daerah. Artinya, hampir seluruh jabatan dalam lingkup
pemerintahan di pusat dan di daerah akan mendapatkan konteks perlindungan
ini. Bayangkan, kemungkinan banyaknya perkara atas ini. Serupa dengan catatan atas penghinaan
presiden, mengapa tidak dijadikan delik aduan biasa saja? Toh putusan MK
sudah memaksudkan, selain delik aduan juga mendasarkan pentingnya pemahaman
penghinaan ini pada orang yang menjabatnya dan bukan pada kelembagaannya.
Jika menjadi delik penghinaan biasa, akan sama dan lebih setara (equal)
dengan seluruh rakyat biasa. Pertanyaan menarik malah bisa
dilayangkan, bagaimana jika pejabat yang melakukan penghinaan atas orang
biasa dan menimbulkan kerusuhan? Soal kerusuhan ini juga menarik. Pidana
bisa melonjak dua kali lipat dari ancaman jika menimbulkan kerusuhan. Apa
yang menjadi parameter dan magnitudo kerusuhannya? Jika ada bentrokan dengan
aparat, apakah itu sudah dianggap kerusuhan? Belum lagi, kalau kerusuhan itu
direkayasa, seperti menurut salah satu laporan investigasi NarasiTV, terjadi
dalam kasus kerusuhan di depan Bawaslu, Mei 2019. Kala itu ada sekelompok
orang dengan seragam yang terorganisasi menciptakan kerusuhan dan hingga saat
ini belum terungkap pelakunya. Apakah adanya rekayasa kerusuhan semacam ini
bisa jadi alasan ”mengerasnya” ancaman pidana yang ada? Apalagi dikaitkan dengan pasal lain yang
tidak kalah mengancam, semisal pidana terhadap demonstrasi dan unjuk rasa
tanpa pemberitahuan, yang menimbulkan gangguan. Dalam perspektif demokrasi
yang lebih deliberatif, negaralah yang harus menciptakan ruang bagi aspirasi.
Adanya mekanisme pemberitahuan sebelum melakukan unjuk rasa harusnya dimaknai
sebagai permintaan bagi negara untuk memberikan rasa aman bagi orang yang
menyampaikan pendapat dan bukan untuk menyaringnya. Sering kali pemberitahuan itu dijadikan
alasan untuk menahan unjuk rasa. Menggunakan alasan gangguan bagi orang lain
untuk membenarkan larangan atas aspirasi. Keranjang sampah? Dalam tulisan terdahulu, ”Legislasi nan
Menyebalkan” (Kompas, 20/10/2020), saya sudah menyinggung gejala negara yang
seakan-akan boleh ugal-ugalan, membuat sampah demokrasi dalam bentuk aturan.
Kemudian mengatakan bahwa biarkan MK yang akan menentukan benar atau
tidaknya. Ada dua alasan utama tentu saja. Pembentuk
UU tidaklah layak bertindak sembrono membuat sampah dengan alasan ada
keranjang dalam bentuk MK. Ini tidak fair karena seakan menegasikan kewajiban
bagi pembentuk UU untuk memperlakukan UU secara sakral dan menegakkan
demokrasi dengan membentuk UU yang menghargai negara hukum demokrasi itu
sendiri. Kedua, gejala kondisi MK ini tengah
mengkhawatirkan. Di tengah kepungan UU yang buruk, MK seakan abai dan malah
tidak selesai dengan dirinya sendiri. MK yang diharapkan menjadi penjaga
demokrasi malah dalam beberapa hal lebih berperan dan terjebak dalam
pertarungan nonhukum dan kepentingan yang ada di tubuh MK itu sendiri. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/11/pasal-penghinaan-hukum-dan-demokras |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar