Menjaga
Target Transisi Energi Todotua
Pasaribu: Sekretaris Dewan Pakar Seknas Jokowi |
MEDIA NDONESIA 20 Juli 2022
KONFLIK berlarut antara Rusia dan Ukraina menjadi
ancaman serius bagi transisi energi di
tataran global dan itu sudah mulai tampak di kawasan Eropa Barat.
Negara-negara di kawasan ini berencana kembali menggunakan sumber energi
fosil, dalam hal ini PLTU berbasis batubara, sebagai bentuk antisipasi
kemungkinan krisis pasokan energi (listrik), mengingat musim dingin segera
tiba. Jerman misalnya, yang selama ini dikenal sebagai
negara garda depan dalam transisi energi, terpaksa melakukan kompromi juga,
ketika harus mengaktifkan kembali sejumlah PLTU. Jerman perlu melakukan aktivasi PLTU setelah
perusahaan gas Rusia (Gazprom) menghentikan pasokan gas ke Jerman. Dengan kemampuan teknologi dan ketersediaan kapital,
negara-negara Eropa, seperti Jerman dan Inggris, mampu melakukan percepatan
transisi energi, dibanding umumnya negara berkembang di belahan Bumi lain. Gas alam cair, yang selama ini diimpor dari Rusia,
sejatinya adalah bagian dari skenario transisi energi Jerman, dari
pemanfaatan energi nuklir (PLTN) menuju energi baru dan terbarukan (EBT),
yang lebih ramah lingkungan. Sejumlah negara di kawasan Eropa Barat, seperti
Belanda, Austria dan Italia, juga melakukan langkah yang hampir sama. Belanda
telah mengumumkan bakal mencabut semua pembatasan penggunaan bahan bakar
fosil untuk sumber energi pembangkit listrik. Rata-rata negara di Uni Eropa
mendapat pasokan gas dari Rusia, sekitar 40% dari total kebutuhan yang ada. Menjaga target Konflik berlarut Rusia dan Ukraina, berdampak suram
pada skenario transisi energi, utamanya di Eropa Barat, kawasan yang selama
ini dikenal paling ekspansif, selain negara rumpun Skandinavia, dalam transisi
energi. UE membutuhkan suplai gas dari Rusia (dan Norwegia),
untuk memenuhi kebutuhan energi. Dua negara tersebut memiliki peran penting dalam
menopang transisi energi UE. Di sisi lain, konsumsi energi masyarakat UE juga
semakin tinggi saat pandemi covid-19, termasuk pada musim dingin yang akan
datang. Oleh karena itu, meski produksi renewable energy (energi terbarukan)
sudah dikembangkan oleh Eropa, energi itu masih belum mampu menjadi sandaran
kebutuhan energi. Wakil Kanselir yang juga Menteri Ekonomi Jerman
Robert Habeck (Partai Hijau) mengatakan Jerman akan lebih banyak mengandalkan
PLTU. Itu artinya akan lebih banyak PLTU yang aktif kembali, di atas
perkiraan selama ini sesuai peta jalan transisi energi. Habeck mengakui, memanfaatkan kembali PLTU adalah
langkah mundur dan sangat pahit, namun ini satu-satunya pilihan untuk
mengurangi konsumsi gas. Gas menjadi sumber energi di Eropa, setelah mereka
mulai mengurangi proporsi batubara, untuk mencapai netralitas karbon pada
2050, dan mengurangi emisi setidaknya 55% pada 2030. Menurut data laman open source, saat ini, sekitar
25% konsumsi energi Uni Eropa berasal dari gas alam, minyak bumi (32%),
energi terbarukan dan biofuel (18%), dan bahan bakar fosil padat (11%).
Sebanyak 41% kebutuhan gas Eropa dipasok Rusia, dengan Jerman sebagai
importir terbesar. Kendati kembali memanfaatkan batubara, Jerman tetap
menjaga ambisinya dalam transisi energi. Jerman tetap berkomitmen menutup
seluruh PLTU mereka pada 2030 mendatang, sebagai bagian dari mitigasi perubahan
iklim. Sesuai kebijakan sejak era Kanselir Angela Merkel
(2005-2021), gas alam cair, yang selama ini diimpor dari Rusia, sejatinya
adalah “jembatan” transisi energi Jerman, dari pemanfaatan energi nuklir
(PLTN) dan PLTU, menuju energi baru
dan terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan. Fenomena yang terjadi Jerman, juga terjadi di negara
lain, dengan kendala yang bisa jadi berlainan. Negara-negara yang selama ini
dikenal tangguh dalam komitmen meninggalkan batubara, ternyata masih
membutuhkan sumber energi yang acap kali disebut sumber energi “kotor”. Apa yang terjadi pada konflik Rusia-Ukraina, dengan
segala dampak buruknya, telah mengubah peta jalan transisi energi. Dalam konteks perubahan iklim di tingkat global,
beralih ke energi bersih adalah solusi terbaik bagi keberlanjutan planet Bumi. Atas berhentinya pasokan minyak dan gas
Rusia, dunia mengalami defisit energi. Untuk itu perlu segera dicarikan jalan untuk
mengatasi defisit energi hari ini, tetapi solusi yang diambil harus lebih
mengedepankan kepentingan dekarbonisasi jangka panjang, terkait mitigasi
emisi untuk menurunkan risiko krisis iklim. Menambah investasi bahan bakar fosil bukanlah solusi
bagi krisis energi. Sebaliknya, krisis energi saat ini justru bisa dijadikan
momentum untuk mempercepat transformasi energi terbarukan, termasuk transfer
teknologi dan pendanaam ke negara-negara berkembang, salah satunya adalah
Indonesia. Bila negara-negara berkembang, yang selama ini
selalu mengandalkan PLTU dalam pasokan energinya, harus menutup PLTU mereka
lebih cepat, karena dianggap sebagai penyumbang emisi GRK (gas rumah kaca),
perlu dipikirkan bagaimana para pelanggan tetap memperoleh akses listrik yang
bersih dengan harga terjangkau. Inspirasi bagi Indonesia Sesuai kebijakan Kanselir Angela Merkel (2006 –
2021), gas alam asal Rusia diposisikan sebagai “jembatan” menuju pemanfaatan
energi terbarukan secara menyeluruh. Pada titik itu, kita melihat sebuah paralelisme, dihubungkan dengan keberadaan
batubara di negeri kita. Bahwa akan tiba masanya, batubara akan diposisikan
sebagai “jembatan” sebagaimana gas alam di Jerman. Untuk menuju capaian nol emisi bersih (net zero
emission) pada 2060, pemerintah menegaskan batubara, bersama minyak dan gas
bumi, bakal dioptimalkan pemanfaatannya, sebelum energi terbarukan siap
menjadi tulang punggung pasokan energi di Indonesia. Gas bumi secara perlahan juga akan menggantikan
sejumlah PLTU, jadi tak berlebihan bila dikatakan peta jalannya mirip dengan
Jerman. Penting untuk dicatat, sikap tetap ambisius para
pemimpin Eropa terkait transisi
energi, kiranya bisa menjadi inspirasi bagi para pemangku kepentingan sektor
energi di Indonesia. Komitmen kuat pemimpin Eropa dalam transisi energi,
terutama Jerman, bukan jargon semata, namun berbasis riset dan data lapangan.
Situasinya tidak jauh berbeda dengan negeri kita,
dalam hal potensi EBT (energi baru dan terbarukan). Presiden Joko Widodo, dalam lawatan ke Jerman, akhir
Juni lalu, di sela-sela KTT G7 di Elmau, juga menyempatkan diri membicarakan
potensi pengembangan energi terbarukan dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz. Presiden Joko Widodo berharap, dengan kompetensi
Jerman dalam teknologi sektor energi
terbarukan yang sudah diakui komunitas internasional, Jerman bisa menjadi
mitra dalam mengelola potensi 474 gigawatt sumber EBT di Indonesia. Potensi EBT di Indonesia sangat melimpah. Seandainya
semua potensi tersebut dapat dimanfaatkan dengan optimal, termasuk penggunaan teknologi yang tepat,
cita-cita Indonesia untuk meninggalkan energi fosil bukan sekadar
wacana. Sementara di sisi lain, ketergantungan Indonesia
terhadap batubara boleh dibilang masih tinggi. Merujuk data 2021, peran
batubara dalam bauran energi primer pembangkit listrik sebesar 65,93%.
Sementara sumber energi terbarukan berkontribusi 12,73%. Adapun gas untuk energi pembangkit listrik berperan
sebesar 17,48%, dan sisanya menggunakan BBM. Pemerintah sudah memasang target bebas dari emisi
pada pembangkit listrik, utamanya PLTU berbasis batubara, pada 2060, bahkan
diusahan bisa lebih cepat lagi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014
tentang Kebijakan Energi Nasional, pada tahun 2025 diharapkan peran batubara
dalam bauran energi nasional turun menjadi 30%. Kemudian pada 2050, peran
batubara diturunkan lagi menjadi 25%. Sudah menjadi pengetahuan bersama, masalah mendasar
menuju emisi nol bersih 2060 adalah teknologi dan pendanaan. Transisi energi
perlu didukung transfer teknologi dari negara yang lebih maju, mengingat sumber energi terbarukan masih bersifat
intermiten. Seperti PLTB misalnya, bila angin tak bertiup kencang, tidak akan
menghasilkan daya listrik yang optimal. Kendala yang sama terjadi pada PLTS (panel surya)
dan PLTA, yang terakhir ini bisa berhenti operasi, apabila sungai surut saat
kemarau panjang. Hanya pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), yang
relatif stabil menghasilkan daya listrik. Teknologi diharapkan dapat menjadi solusi atas
intermiten sumber EBT. Dibutuhkan teknologi penyimpanan daya listrik (energy
storage) yang efisien dan berbiaya murah. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/508176/menjaga-target-transisi-energi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar