Benahi
Karut-marut Industri Sawit Hariadi
Kartodihardjo : Guru Besar Kebijakan Kehutanan,
Fakultas Kehutanan dan Lingkungan. IPB University |
KOMPAS, 22 Juli 2022
Pemerintah
telah menginstruksikan kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau
BPKP untuk mengaudit tata kelola industri sawit, dari hulu hingga hilir.
Langkah ini diharapkan bisa membenahi industri yang telah melibatkan 16,2
juta orang serta penghasil devisa mencapai 35 miliar dollar AS per tahun itu
(Kompas, 8/7/2022). Langkah
besar ini sangat diharapkan keberhasilannya, terutama jika dikaitkan dengan
upaya mengatasi persoalan di hulu. Misalnya untuk menghapus isu-isu utama
perkebunan sawit, seperti deforestasi dan pelanggaran HAM, ataupun persoalan
strukturalnya, seperti penggunaan kawasan hutan dan konflik lahan,
ketimpangan produktivitas antara perkebunan besar dan rakyat, serta masalah
peremajaan tanaman tua. Pelanggaran
di lapangan Untuk
mengenali berbagai persoalan di lapangan, baik yang bersifat umum maupun
spesifik, selama dasawarsa terakhir telah dilakukan beberapa studi dan telaah
kebijakan yang bisa digunakan sebagai ”pustaka” dalam menjalankan prakarsa
pemerintah ini. Termasuk mencermati hambatan pembuatan dan implementasi
kebijakan di masa lalu. Pertama,
persoalan pelaksanaan regulasi dan alokasi dana sawit. Studi mendalam
mengenai perizinan kebun sawit oleh KPK pada 2016 menemukan antara lain
adanya kelemahan sistem pengendalian perizinan, lambatnya pelaksanaan
industrialisasi yang dapat meningkatkan nilai tambah, lemahnya kebijakan
fiskal, lemahnya sistem pengendalian penerimaan pajak, dan tidak
teralokasikannya penggunaan dana perkebunan sesuai dengan peraturan
perundangan. Awal
2022, DPRD Riau melaporkan, alokasi dana untuk petani di Riau dari Badan
Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS ) hanya 4,75 persen, sementara
alokasi ke perusahaan besar sebesar 27 persen untuk luasan yang kurang lebih
sama. Semua persoalan mengenai lemahnya kapasitas pemerintahan yang ditemukan
itu hingga kini masih menggantung dan belum ada dorongan penyelesaian yang
semestinya. Kedua,
kebun sawit di dalam kawasan hutan negara. Audit oleh DPRD Provinsi Riau pada
2106/2017 dan upaya revitalisasi ekosistem Tesso Nilo di Riau oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2016-2018 menemukan antara
lain adanya indikasi sekitar 1,8 juta hektar kebun sawit di Provinsi Riau
berada dalam kawasan hutan negara. Di
provinsi ini juga terdapat potensi tak terbayarnya pajak dan penerimaan
negara bukan pajak hingga 40 persen lebih. Temuan sudah dibahas bersama
Kanwil Perpajakan Provinsi Riau, tetapi belum terpecahkan. Dalam
pelaksanaan revitalisasi ekosistem seluas 916.343 hektar juga ditemukan 201
lokasi kebun sawit di dalam kawasan hutan negara, baik dalam hutan produksi
maupun hutan konservasi. Sekitar separuhnya sudah selesai dilakukan
inventarisasi yang menghasilkan data siapa nama yang mengerjakan, berapa
luas, dan di mana lokasinya. Namun, hingga saat ini belum ada tindak
lanjutnya. Keterlibatan
pemda dan instrumen negara Pada
kondisi demikian itu, terdapat indikasi bahwa Pemerintah Provinsi Riau
membela keberadaan sawit di dalam kawasan hutan, melalui penataan ruang yang
ditetapkan berdasarkan Perda No 10/2018. Penataan ruang itu menyimpang karena
di dalamnya antara lain dinyatakan bahwa kawasan lindung gambut hanya seluas
21.615 hektar (0,43 persen) dari 4.972.482 hektar lahan gambut yang ada.
Melalui uji materi oleh kelompok masyarakat sipil, tata ruang itu telah
dibatalkan oleh MA melalui keputusan No 63P/HUM/2019. Ketiga,
evaluasi terhadap pelaksanaan moratorium berdasarkan Instruksi Presiden No
8/2018 mengenai penundaan dan evaluasi perizinan serta peningkatan
produktivitas perkebunan kelapa sawit menunjukkan bahwa pelaksanaan inpres
ini tak cukup berhasil. Dari 239 kabupaten yang punya kebun sawit, hasil
telaah Christine Sani pada 2021 menunjukkan hanya lima kabupaten yang
merespons kebijakan ini secara positif melalui kebijakan daerah. Belajar
dari telaah ketiga dan keempat itu, disarankan BPKP dalam melaksanakan audit,
tak hanya melakukan tinjauan kesesuaian administrasi perusahaan dengan cara
check list karena dapat ditemukan bahwa yang bermasalah justru instrumen
negara yang dijadikan standar penilaian. Tidak
dapat disangkal kemungkinan ada konflik kepentingan antara pemberi izin dan
perusahaan. Dalam kasus penataan ruang itu, dapat disebut sebagai korupsi
dengan menggunakan instrumen negara (state capture corruption), di mana acuan
dasar tata ruang—jika tak dibatalkan MA—sudah berisi pengaturan ruang yang
dapat menguntungkan pihak tertentu. Pelanggaran
HAM berat Keempat,
kasus pelanggaran HAM. Kajian Amnesty International pada 2016 menemukan
adanya pelanggaran HAM berat, termasuk kerja paksa dan pekerja anak,
diskriminasi jender, serta praktik kerja eksploitatif dan berbahaya, yang
berisiko pada kesehatan pekerjanya. Pelanggaran
yang teridentifikasi bukanlah insiden terisolasi, melainkan akibat dari
praktis bisnis sistematis oleh anak perusahaan dan pemasoknya, terutama
terkait rendahnya upah, penggunaan target dan upah borongan, ataupun
penggunaan sistem hukuman finansial dan lainnya yang kompleks. Pekerja,
terutama perempuan, dipekerjakan berdasar perjanjian kerja lepas, membuat
mereka rentan terhadap pelanggaran. Kelima,
soal tata kelola perusahaan. Terkait kondisi perusahaan dan siapa pemiliknya,
Auriga pada 2017 menelaah sembilan perusahaan emiten sawit di Bursa Efek
Jakarta. Telaah ini mengaitkan antara saham publik dan penguasaan lahan,
jejak pembiayaan perbankan, kepemilikan saham silang, rangkap jabatan, serta
pelaksanaan regulasi sistem sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan Indonesia
(ISPO) dan penggunaan lahan gambut untuk kebun sawit yang dilarang dalam
peraturan perundangan. Hasil
kajian ini menjadi bagian pembahasan dari studi KPK. Bahkan sudah menjadi
bagian dari rencana aksi, tetapi belum dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh
Ditjen Perkebunan. Kelima,
tanggung jawab lembaga keuangan. Sudah dilakukan investigasi terhadap sumber
keuangan perusahaan sawit yang di dalam wilayah kerjanya terindikasi terjadi
kebakaran hutan dan lahan. Dalam telaah TuK (2020), ada 20 grup perusahaan
sawit dan hutan tanaman yang terindikasi. Juga 21 nama bank papan teratas
yang mendanai, beserta jumlah kredit yang dikucurkan. Hasil
telaah ketiga, keempat, dan kelima itu dapat menjadi bahan penelusuran,
bagaimana perusahaan bisa mempunyai kekuatan untuk menjalankan hal-hal yang
nonprosedural, dan dapat berlangsung begitu lama. Perlu
ditelusuri bagaimana kekuatan itu bekerja untuk memengaruhi lembaga pemberi
izin sehingga sangat lemah pelaksanaan pengawasannya di lapangan. Termasuk
perlu dipertimbangkan hasil-hasil kajian lain yang mengungkap dan menjawab
mengapa lembaga keuangan di Indonesia umumnya belum mampu menjalankan
kebijakan pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance), sebagaimana yang
diharapkan masyarakat global melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Ketujuh,
kebijakan realokasi secara khusus. Sejumlah kelompok masyarakat sipil bersama
pemda saat ini telah dan sedang mengaudit 54 perusahaan sawit di delapan
kabupaten seluas 941.757 hektar di Papua dan juga 24 perusahaan di tujuh
kabupaten seluas 682.075 hektar di Papua Barat. Secara
umum hasil audit merekomendasikan pencabutan ataupun perbaikan korektif
perusahaan sawit akibat berbagai pelanggaran yang dilakukan. Juga terdapat
kebijakan daerah untuk mengembalikan lahan yang telah dicabut ke masyarakat
adat. Pencabutan izin ini berada dalam kewenangan bupati. Tak
serius Kedelapan,
ketidakcukupan isi peraturan perundangan. Telah dipelajari oleh beberapa
lembaga bahwa solusi yang ditawarkan, misalnya terkait keberadaan kebun sawit
di dalam kawasan hutan, melalui beberapa peraturan pemerintah turunan UU
Cipta Kerja, tidak mudah dijalankan. Hal
itu antara lain karena adanya batasan teknis, seperti luas dan lokasi yang
tak sesuai kondisi di lapangan, besarnya pembiayaan sebagai konsekuensi dari
pemetaan lapangan yang rinci, serta kelemahan pelaksanaan eksekusi yang
selama ini harus dilakukan setelah keputusan diambil. Di sini tampak pula
perlunya segenap diskresi karena ada persoalan di lapangan yang tidak dapat
diselesaikan akibat kekakuan isi peraturan perundangan yang ada. Audit
yang akan dilakukan BPKP tentu punya lingkup tertentu sesuai tugas pokoknya.
Namun, persoalan yang dihadapi pada masa sebelumnya bukan hanya soal
informasi dan data bagus yang belum tersedia seperti disebut Menko
Kemaritiman dan Investasi, sebagai salah satu alasan mengapa audit harus
dilakukan (Kompas, 8/7/2022), melainkan juga lambat dan bahkan tak adanya
keputusan dan tindakan setelah solusi sudah ditetapkan. Perlu
upaya lebih dan kesungguhan pemerintah dan pemda untuk membenahi karut-marut
ini. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/21/benahi-karut-marut-industri-sawit |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar