KKB dan
Pembangunanisme Papua Laode
Ida: Wakil
Ketua DPD RI 2004-2014, Komisioner Ombudsman 2016-2021 |
KOMPAS, 25 Juli 2022
Kekerasan
bersenjata yang dilakukan kelompok kriminal bersenjata di Papua kian
memprihatinkan. Korban jiwa manusia terus saja berjatuhan, baik dari kalangan
aparat TNI dan Polri maupun warga sipil. Dalam
rentang 4,5 tahun terakhir (2017-2022), menurut data yang dilansir dari
berbagai pemberitaan media, peristiwa penembakan yang dilakukan kelompok
kriminal bersenjata (KKB) sudah lebih dari 200 kali dengan korban meninggal
tak kurang dari 144 orang, termasuk 11 orang pada peristiwa 16 Juli lalu di
Kabupaten Nduga. Itu belum termasuk ratusan korban yang jiwanya masih
selamat. Tindakan
brutal tanpa perikemanusiaan oleh kelompok warga Papua yang dilabeli sebagai
KKB tentu saja tak boleh lagi diremehkan atau dianggap sebagai kelompok warga
yang sekadar melakukan tindakan kriminal, melainkan harus diposisikan sebagai
gerakan separatis yang masih terus eksis berjuang melanjutkan misi Gerakan
Operasi Papua Merdeka (OPM). Mereka memberi isyarat kuat atas stok personel
yang sulit diberantas, sebuah gerakan pembangkangan atau perlawanan terhadap
eksistensi pemerintahan Indonesia di Tanah Papua. Efektivitas
pembangunanisme Pertanyaan
kritis yang perlu jadi renungan: mengapa gerakan separatis (yang tindakannya
dilabeli sebagai KKB itu) masih saja eksis, padahal masyarakat Papua (dulu:
Irian Barat) sudah berada di pangkuan bumi pertiwi selama 59 tahun
(1963-2022)? Sementara
komitmen Jakarta terhadap bumi cenderawasih begitu kuat. Papua selama ini
telah dan terus diperlakukan secara afirmatif. Wujudnya, antara lain, berupa
kucuran dana pembangunan yang begitu besar dibandingkan porsi daerah-daerah
di luar Jawa pada umumnya. Demikian juga para kepala daerahnya dari
orang-orang asli Papua (semuanya diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua. Selama 21 tahun berlakunya UU Otsus, dana
yang digelontorkan di Papua berkisar Rp 150 triliun. Nilai yang lumayan
fantastis. Selain
itu, pemerintah tahun ini telah membuat langkah progresif dengan kembali
membentuk tiga provinsi (daerah otonom baru/DOB) di Papua, yaitu Provinsi
Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Begitu istimewanya Papua
di tengah usulan DOB dari daerah lain bertumpuk di kantor Menteri Dalam
Negeri dan Komisi II DPR yang belum berkepastian hingga sekarang. Kebijakan
pembentukan DOB itu tentu saja bertujuan untuk lebih mengoptimalkan pelayanan
kepada masyarakat Papua dengan memperbanyak pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
dan memperpendek rentang kendali yang pada ujungnya adalah peningkatan
kesejahteraan hidup masyarakat lokal Papua. Namun,
tampaknya pendekatan strategi pembangunan (melalui kebijakan khusus) yang
berorientasi kesejahteraan itu belum bisa secara efektif menjadikan semua
warganya puas, ”senang dan mengakui” berada dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI); setidaknya, mereka yang berada di ”barisan
perlawanan” yang disebut KKB itu. Dan karena para aktor KKB itu juga bagian dari
warga lokal, niscaya keberadaan mereka juga bagian dari keluarga besar warga
(orang-orang) asli Papua yang sudah saling mengenal satu sama lain, bahkan
hidup dalam sistem kekerabatan yang kental. Jika
kontestasi seperti dijelaskan di atas bisa diterima sebagai bagian dari
kebenaran faktual relasi kultural-emosional antara para aktor KKB dan para
warga (tokoh lokal), setidaknya mengandung tiga fenomena utama. Pertama,
para tokoh Papua (baik tokoh adat, tokoh agama, kepala suku, maupun para
pejabat pemerintah daerah) tak memiliki agenda untuk memengaruhi atau
menggiring para aktor KKB agar patuh pada kebijakan atau aturan pemerintah,
seraya kemudian bersama menikmati berbagai program dan hasil pembangunan yang
ada. Bahkan, mungkin saja proses pengaderan ”kelompok perlawanan” itu tidak
diatensi secara khusus atau dilakukan upaya persuasif ke arah pencegahan dan
lalu bergabung sebagai kekuatan bersama sebagai warga NKRI. Barangkali
terlalu larut dengan agenda menjalankan serta menikmati berbagai program dan
atau kue-kue pembangunan, termasuk menikmati jabatan-jabatan politik yang
ada, sehingga mengabaikan tugas substansial sebagai integrator sosial politik
lokal. Rupanya
para tokoh dan pejabat lokal itu menganggap penanganan ”gerakan separatis”
merupakan tanggung jawab eksklusif aparat TNI dan Polri. Padahal, seharusnya
jika diakui bahwa kelompok pembangkang itu adalah bagian dari warga lokal,
para pemangku kepentingan lokallah yang bisa lebih efektif mem-persuasinya,
bukan kekuatan dari luar daerah. Kedua,
terkait dengan pertama, relasi pemerintah pusat dan daerah di Papua hanya
sebatas pada agenda atau strategi pembangunanisme yang ukuran keberhasilannya
ditentukan oleh realisasi penggunaan anggaran yang dikucurkan wujud fisik
pembangunannya. Akibatnya, pemangku kepentingan daerah di tanah Papua hanya
sibuk menyelesaikan kewajiban administrasi pemerintahan dan pembangunan,
tanpa ada kewajiban khusus untuk kian meniadakan gerakan perlawanan yang
aksinya disebut KKB. Seandainya
ukuran keberhasilan pembangunan di setiap daerah di Papua juga ditentukan
oleh semakin hilangnya barisan aktor-aktor KKB, barangkali para kepala daerah
dan seluruh jajarannya akan bergerak terus mendeteksi, menemukan, sekaligus
mengajak para aktor KKB bergabung dengan saudara-saudaranya dalam rumah
Indonesia. Dan strategi inklusif seperti inilah sebenarnya yang harus
dilakukan dalam menggalakkan kebijakan berparadigma pembangunanisme di tanah
Papua. Tak
berdiri sendiri Ketiga,
Pemerintah Indonesia akan selalu kesulitan menghentikan barisan aktor-aktor
KKB selama mengaburkan substansi posisi atau sikap politik KKB. Para
aktor KKB harus terlebih dahulu diakui sebagai ”kelompok perlawanan rakyat
Papua” (baca: sempalan) di mana selama ini mereka terus diabaikan aspirasinya
atau bahkan mungkin hanya seolah-olah kelompok kriminal biasa saja. Padahal,
KKB tak berdiri sendiri, tetapi memiliki basis di tingkat lokal dan memiliki
jaringan atau dukungan dari pihak luar (termasuk orang-orang Papua asli yang
berada atau memperjuangkan aspirasi mereka di luar negeri). Problemnya,
pihak penguasa atau yang berwenang hingga saat ini sama sekali menutup diri
untuk dialog dengan aktor-aktor utama (sempalan) perlawanan atau pembangkang
terhadap hukum NKRI itu, baik yang berada di bumi cenderawasih maupun di luar
negeri. Berbeda
dengan proses penyelesaian damai di Aceh yang secara langsung melibatkan
Gerakan Aceh Merdeka hingga sampai pada penandatanganan kesepakatan dalam
pertemuan Helsinki tahun 2005. Dengan demikian, bukan mustahil kelompok
pembangkang di Papua merasa ”dibedakan” dengan proses penciptaan damai di
Aceh. Sekarang,
yang harus lebih disadari bahwa kalau menyelesaikan masalah kelompok
perlawanan (KKB) di Papua mengedepankan pendekatan keamanan atau menggunakan
kekuatan militer dengan semangat ”penegakan hukum pidana”, akan berpotensi
memunculkan isu sensitif, yaitu pembantaian etnik (ethnic cleansing). Dan
kalau hal itu terjadi, kita harus bersiap menghadapi solidaritas kolektif
yang berbasis ras (Melanesia) secara internasional. Karena itu, sekali lagi,
pendekatan dialogis merupakan cara yang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah
Indonesia. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/23/kkb-dan-pembangunanisme-papua |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar