Sistem
Penamaan Kasijanto
Sastrodinomo:
Pekolom Independen |
KOMPAS, 12 Juli 2022
Filolog
kawakan Soebardi (1925-2001) sempat bingung mengisi dokumen resmi pada saat
studi di Australia pada 1960-an. Soalnya, ia diwajibkan membubuhkan nama
keluarga di belakang namanya sendiri. Padahal, seperti banyak orang Jawa
(Soebardi berasal dari Ponorogo, Jawa Timur), ia bernama tunggal sejak lahir. Ia
lalu menambahkan nama ayahnya, Soebakin, di baris depan nama lahirnya
itu—katanya supaya tetap dipanggil resmi ”Mister Soebardi”. Sejak itu, ia
memakai nama Soebakin Soebardi, termasuk dalam terbitan disertasinya, The
Book of Cabolek (1975). Cerita
”tersembunyi” itu saya dengar dari penyair Sapardi Djoko Damono (SDD,
1940-2020) yang kebetulan bertemu Soebardi di Canberra. SDD sendiri, sewaktu
mengikuti program fellowship pada 1970-an di East-West Center (EWC),
Universitas Hawaii, mengalami hal mirip, tapi tak sama. Administrator
di EWC sempat mengira ”Damono” adalah nama keluarga, padahal itu penggalan
ketiga nama SDD. Tak heran jika penamaan orang Indonesia kerap ”menyulitkan
orang Barat” (lihat lema ”Nama Orang” dalam Robert Cribb dan Audrey Kahin,
Kamus Sejarah Indonesia, 2012). Kendati
langka, kedua cerita kecil tersebut menyiratkan semacam ”tegangan” sistem
penamaan orang secara antarbudaya. Pada sebagian masyarakat Indonesia, sistem
itu terkesan tidak jelas, jika bukan tanpa sistem sama sekali, seperti
penamaan orang Jawa yang inkonsisten memakai nama keluarga tadi. Meski
begitu, berbagai unsur budaya luar—Hindu, Islam, Tionghoa, dan Barat—cukup
nyata berpengaruh terhadap penamaan orang di sini sejak dulu kala. Pengaruh
itu lebih terlihat pada pilihan kata dari aneka budaya itu yang diadaptasi
sebagai unsur nama. Bagaimana kata terpilih itu ”dirakit” sebagai nama yang
utuh, terserah pemilihnya. Di
Eropa hingga menjelang akhir Abad Pertengahan, nama orang umumnya juga
terdiri atas satu kata. Lantaran populasi orang terus bertambah, sering
terjadi duplikasi nama sehingga perlu diatur sistemnya. Penguasa
Romawi, contoh, menetapkan tiga unsur dalam penamaan orang: praenomen sebagai
nama kecil; nomen penanda asal klan; dan cognomen mengacu sebutan keluarga
(Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, 2010). Hingga kini, pola tiga unsur
itu lazim dipakai dalam sistem penamaan Barat; antropologis juga diadopsi
pada sebagian masyarakat di Indonesia. Bangsa
Tionghoa, menurut Danesi, merupakan yang pertama menerapkan sistem penamaan
di dunia. Syahdan pada 2852 sebelum Masehi, Kaisar Fuxi menitahkan penggunaan
nama diri orang Tionghoa yang terdiri atas tiga unsur secara berurutan: satu
nama keluarga di baris depan (menjadi khas Oriental; beda dengan Barat); satu
nama generasi di tengah; dan satu nama bebas sebanding nama Kristiani di
bagian belakang. Hingga kini sistem itu dianut oleh pewaris budaya Tionghoa
termasuk di perantauan (lihat juga kolom Hermina Sutami, ”Nama Tionghoa”,
Kompas, 10/5/2022). Dengan
membandingkan pengalaman historis ribuan tahun bangsa lain tersebut,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Pencatatan Nama
pada Dokumen Kependudukan (2022) bukanlah hal aneh. Intinya, peraturan itu
mengatur tata cara penamaan. Sejauh
tersurat dalam dokumen itu, tak tersua tanda-tanda akan merasuki ruang privat
terlalu dalam, misal ikut cawe-cawe memilihkan ”tema” nama yang boleh dan tak
boleh disandang—bandingkan dengan keputusan pemerintah pada awal Orde Baru
(1966) yang menggusur paksa nama-nama tradisi Tionghoa.● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/03/sistem-penamaan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar