Catatan Pinggir
Makna Korban dan
Pengorbanan dalam Mithos Meksiko Goenawan Mohamad : Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 9
Juli
2022
KORBAN adalah sebuah
negosiasi. Di tengah alam yang tak bisa dikendalikannya, manusia—entah sejak
kapan di ribuan tahun yang lampau—mencoba menawar untuk memperoleh kekuasaan
atas nasib. Ia menawar, sebab hidupnya
adalah paranoia di semua musim. Manusia ingin bebas dari
waswas itu, biarpun sementara. Ia mencoba membujuk keberuntungan agar datang
dan kemalangan enyah dari hidup. Manusia ingin—dalam keterbatasannya—sejenak
bertukar kendali dengan “yang transendental”, yang “entah”, yang tak
tersentuh. Dalam negosiasi imajiner itu ia bersedia memberikan korban,
“ber-korban”. Ia percaya bahwa kekuatan yang secara misterius ada di atas
kuasanya akan mau “dibayar” dan membalas budi. Lihatlah tzompantli.
Peninggalan bangsa Aztec yang ditemukan di wilayah Templo Mayor di Mexico
City ini sebuah rak besar yang memajang ribuan tengkorak manusia, yang
disunduk dan ditata berjejer seperti topeng-topeng tua yang suram. Mereka
korban. Tzompantli yang terbesar,
Hueyi Tzompantli (mungkin sepanjang 35 meter, selebar 14 meter, dan setinggi
5 meter), sebuah rekaman menakutkan dan membikin mual. Dalam El Economista
lima tahun yang lalu pernah disebut bangsa Aztec memasang puluhan ribu
tengkorak di atas sebuah pentas besar yang terbuat dari batu dan kapur
perekat. Di anak tangganya “beratus-ratus kepala mayat yang dipaut dalam
karang, dengan gigi merongos”. Mereka bukan hanya kisah
pembantaian. Mereka manusia yang harus sakit dan mati agar alam semesta
selamat. Di masa Aztec, seorang
tahanan—tentara musuh yang tertangkap—diperlukan. Ia akan disimpan sampai hari
yang ditentukan. Hari itu ia akan dibawa naik tangga tinggi piramida yang
menjulang di lapangan. Di lantai puncak, beberapa orang pendeta akan
menunggu. Dengan pisau yang amat tajam, dan dengan tangan yang terlatih,
salah seorang dari mereka akan menyobek dada si tahanan. Dada itu akan
dirogoh dan dari sana jantung yang masih berdegup direnggutkan. Setelah itu
sisa tubuhnya, jasadnya, akan dilontarkan ke bawah—untuk jadi santapan para
dewa dan manusia. Orang Aztec hidup dalam
bayang-bayang mithos yang penuh kekerasan: Dewi Coyolxauhqui dipancung adik
kandungnya, Huitzilopochtli. Alkisah, dewi itu merasa
tercemar, ketika ibu mereka secara ajaib hamil. Ia pun mengerahkan 400
saudaranya untuk membunuh sang ibu. Tapi anak yang dikandung lahir sebelum
rencana jahat itu terlaksana. Ia, Huitzilopochtli, anak ajaib yang sakti.
Bocah yang kelak akan jadi Dewa Perang ini melindungi ibunya. Ia kalahkan
para calon pembunuh yang 400 itu, dan akhirnya ia penggal kepala
Coyolxauhqui, kakaknya. Ia cincang tubuh perempuan itu, dan ia lemparkan
kepalanya jauh-jauh. Mithos ini berlumuran
darah. Tapi ujungnya sebuah cerita yang bahagia: kepala Coyolxauhqui jadi
bulan yang menerangi bumi. Dalam mithos ini, yang berencana jahat dan kalah
tak dijebloskan dalam neraka. Ia dicincang—seperti proses ritual Aztec yang
mengorbankan manusia. Tapi akhirnya ia, sang korban, mengalami metamorfosis:
ia menandai kecerahan. Korban adalah sebuah
negosiasi—juga inspirasi. Orang Aztec takut bila bencana alam terjadi, bila,
katakanlah, Dewi Coyolxauhqui dibinasakan lebih lanjut oleh Huitzilopochtli.
Untuk mencegah itu, perlu ada manusia yang menderita—seperti Coyolxauhqui:
dicincang. Diharapkan Dewi Bulan tak dicederai dan gelap tak mengungkung alam
semesta. Di situ “korban” dan
“pengorbanan diri” saling berkait. Tak mengherankan ada
seorang perupa Meksiko yang memuliakan Coyolxauhqui. Ia seorang Kiri yang
melukiskan buruh sebagai korban yang diisap kapitalisme—tapi dengan itu
Meksiko maju. Dengan teladan Coyolxauhqui, yang ditindas pun jadi suluh
penerang. Korban jadi suci. Seorang arkeolog juga
melihat bahwa dalam ritual Aztec pun manusia yang dikorbankan diperlakukan
sebagai pemberian yang layak bagi dewa-dewa—bahkan personifikasi para dewa
sendiri. Mereka diperlakukan dengan takzim. Seperti di zaman ini.
Mithos Coyolxauhqui masih bagian “dunia modern”: konon korban manusia di
Meksiko dimulai pada abad ke-14, abad Renaissance di Eropa dan Majapahit di
Nusantara. Di abad ke-21, korban (khususnya korban kesewenang-wenangan) bukan
hanya faktor pelengkap dalam negosiasi dengan nasib. Korban jadi ukuran
keadilan—bahkan jadi hakim dan sekaligus pendakwa. Posisi itu mungkin bisa
menghibur orang yang dulu dianiaya. Tapi tak setiap Coyolxauhqui sadar akan
bahaya yang termaktub dalam peran itu. Mereka yang pernah dizalimi tak dengan
sendirinya bebas dari cela; mereka juga bisa tak adil terhadap orang lain. Maka saya agak jeri
melihat metamorfosis dari korban jadi hakim, dari hakim jadi algojo. Saya
harap Coyolxauhqui, pemberi terang, selalu ingat akan dirinya semula: sebagai
korban—rasa sakit ketika leher dipenggal. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar