Rabu, 13 Juli 2022

 

Sistem Penamaan

Kasijanto Sastrodinomo: Pekolom Independen

KOMPAS, 12 Juli 2022

 

                                                

 

Filolog kawakan Soebardi (1925-2001) sempat bingung mengisi dokumen resmi pada saat studi di Australia pada 1960-an. Soalnya, ia diwajibkan membubuhkan nama keluarga di belakang namanya sendiri. Padahal, seperti banyak orang Jawa (Soebardi berasal dari Ponorogo, Jawa Timur), ia bernama tunggal sejak lahir.

 

Ia lalu menambahkan nama ayahnya, Soebakin, di baris depan nama lahirnya itu—katanya supaya tetap dipanggil resmi ”Mister Soebardi”. Sejak itu, ia memakai nama Soebakin Soebardi, termasuk dalam terbitan disertasinya, The Book of Cabolek (1975).

 

Cerita ”tersembunyi” itu saya dengar dari penyair Sapardi Djoko Damono (SDD, 1940-2020) yang kebetulan bertemu Soebardi di Canberra. SDD sendiri, sewaktu mengikuti program fellowship pada 1970-an di East-West Center (EWC), Universitas Hawaii, mengalami hal mirip, tapi tak sama.

 

Administrator di EWC sempat mengira ”Damono” adalah nama keluarga, padahal itu penggalan ketiga nama SDD. Tak heran jika penamaan orang Indonesia kerap ”menyulitkan orang Barat” (lihat lema ”Nama Orang” dalam Robert Cribb dan Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia, 2012).

 

Kendati langka, kedua cerita kecil tersebut menyiratkan semacam ”tegangan” sistem penamaan orang secara antarbudaya. Pada sebagian masyarakat Indonesia, sistem itu terkesan tidak jelas, jika bukan tanpa sistem sama sekali, seperti penamaan orang Jawa yang inkonsisten memakai nama keluarga tadi.

 

Meski begitu, berbagai unsur budaya luar—Hindu, Islam, Tionghoa, dan Barat—cukup nyata berpengaruh terhadap penamaan orang di sini sejak dulu kala. Pengaruh itu lebih terlihat pada pilihan kata dari aneka budaya itu yang diadaptasi sebagai unsur nama. Bagaimana kata terpilih itu ”dirakit” sebagai nama yang utuh, terserah pemilihnya.

 

Di Eropa hingga menjelang akhir Abad Pertengahan, nama orang umumnya juga terdiri atas satu kata. Lantaran populasi orang terus bertambah, sering terjadi duplikasi nama sehingga perlu diatur sistemnya.

 

Penguasa Romawi, contoh, menetapkan tiga unsur dalam penamaan orang: praenomen sebagai nama kecil; nomen penanda asal klan; dan cognomen mengacu sebutan keluarga (Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, 2010). Hingga kini, pola tiga unsur itu lazim dipakai dalam sistem penamaan Barat; antropologis juga diadopsi pada sebagian masyarakat di Indonesia.

 

Bangsa Tionghoa, menurut Danesi, merupakan yang pertama menerapkan sistem penamaan di dunia. Syahdan pada 2852 sebelum Masehi, Kaisar Fuxi menitahkan penggunaan nama diri orang Tionghoa yang terdiri atas tiga unsur secara berurutan: satu nama keluarga di baris depan (menjadi khas Oriental; beda dengan Barat); satu nama generasi di tengah; dan satu nama bebas sebanding nama Kristiani di bagian belakang. Hingga kini sistem itu dianut oleh pewaris budaya Tionghoa termasuk di perantauan (lihat juga kolom Hermina Sutami, ”Nama Tionghoa”, Kompas, 10/5/2022).

 

Dengan membandingkan pengalaman historis ribuan tahun bangsa lain tersebut, Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Pencatatan Nama pada Dokumen Kependudukan (2022) bukanlah hal aneh. Intinya, peraturan itu mengatur tata cara penamaan.

 

Sejauh tersurat dalam dokumen itu, tak tersua tanda-tanda akan merasuki ruang privat terlalu dalam, misal ikut cawe-cawe memilihkan ”tema” nama yang boleh dan tak boleh disandang—bandingkan dengan keputusan pemerintah pada awal Orde Baru (1966) yang menggusur paksa nama-nama tradisi Tionghoa.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/03/sistem-penamaan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar